Minggu, 20 Juli 2008

Potret Bocah Pesantren [Auto Biografi]



PENDAHULUAN
S

ebenarnya bayang bayang kehidupan Pesantren sudah menghantu dalam jiwaku sejak aku masih kecil.Kelas lima Madrasah. Karena Guruku Pak Soleh sering berce rita tentang kehidupan Pesantren di sela beliau sedang me ngajar.

Pesantren yang sering beliau ceritakan adalah Pesantren Kalijaran , karena beliau agakan lama nyantri di sana .
.”Saya di Kalijaran paling senang pada waktu menghapal HUWAL HABIEB[1] bersama sama”, demikian salah satu ungkapan beliau yang aku hapal. Aku yang ketika itu ma
sih bocah tidak begitu memahami apa yang beliau cerita
kan tentang Pesantren. Lebih lebih ketika beliau bercerita tentang ngaji di Pesantren , ada istilah sorogan , bando
ngan , ngasah- ngasahi , semuanya aku tidak nalar,apalagi paham.
Tetapi anehnya hatiku sangat tertarik dengan Pesantren,bah
kan sejak itu aku sering bercerita kepada teman sebaya, bahwa aku kepengin nyantri.

Keinginan itu menguat ketika aku sedang membantu ayahku di sawah.Ayah banyak bercerita tentang kehidupan Pesantren ketika itu. Dan aku baru tahu bahwa ayahku ternyata alumni Pesantren.
“Apa Bapak pernah hidup di Pesantren ?” , aku bertanya.
”Oh…..ya pernah” , jawab Ayah.
“Begini ceritanya” , Ayahku bercerita , ”Dulu para sese-
puh desa ini , tepatnya tahun 1933 bercita cita mempunyai Masjid , Pondok Pesantren , dan Madrasah dalam satu lokasi. Sesudah membangun Masjid dipanggillah seorang Ulama Besar dari daerah Banjarnegara , namanya Kyai Muchtar [2] (?).
Beliau sangat sakti,konon kalau marah keluarlah seekor harimau dari lubang telinganya.Sayang sekali,baru satu tahun keluarga beliau tidak kerasan di sini,padahal segala fasilitas dipenuhi,di samping dibuatkan rumah beliau juga diberi sawah satu bau . Karena keluarganya tidak kera san , bersama mereka , beliau pulang ke Banjarnegara.
Kepulangan Kyai Muchtar memunculkan ide para sese
puh , bahwa cita citanya ingin membangun Pesantren dapat terwujud apabila yang jadi Kyai itu putra desa sendiri. Sejak itulah Bapak supaya belajar di Pesantren de
ngan biaya urunan anggota perjanjen Bapak nyantri di Pondok Pesantren Purwanegara,Pengasuhnya Kyai “ Ach
madi”.
“ Bapak lama nyantri di Purwanegara ?" , tanyaku .
“ Ah......... tidak ,baru lima tahun bapak disuruh pulang, mungkin ketika itu bapak sudah dianggap mampu untuk mengasuh Pesantren.Akhirnya Bapak nurut pulang dan dijodohkan dengan putri Pak Lurah*,ya mBokmu itu.
Kemudian dengan dukungan para sesepuh bapak mendirikan sekolah Arab,yang akhirnya sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyyah.Dan sejak itu pula terkuburlah cita cita para sesepuh untuk mendirikan Pondok Pesantren",de
mikian ayahku mengakhiri ceritanya.

Apa yang diceritakan ayahku dan Pak Soleh Guruku , sa –
ngat mempengaruhi jiwaku , berkeinginan hidup di Pesan -
tren . Bahkan sempat membawaku bertingkah laku gaya Pesantren , seperti suka berpeci dan bersarung seharian .
”Kaya anak baru disunat”, olok teman sebayaku . Aku tetap suka berpeci dan bersarung , walaupun tidak umum , kecuali di waktu sekolah .

Setiap hari terbayang dalam hatiku , bagaimana senangnya
hidup di Pesantren , betapa senang , andaikata aku bisa belajar di Pesantren , betapa senang , andaikata aku bisa membaca kitab gundulan , seperti yang pernah diceritakan oleh Pak Soleh guruku . Namun semua itu , hanyalah maya di balik bayang-bayang . Karena ketika itu , tidaklah
mungkin aku pergi ke Pesantren. Sebab , aku masih bocah
kecil . Kelas lima Madrasah .



Bocah Pesantren ( yang lagi megang kepala )
Tubuhnya kurus karena rajin belajar.




BAGIAN PERTAMA


P
ada tahun 1968 keluargaku mendapat cobaan berat Ayahku gagal dalam Pemilihan Kepala Desa.
Seluruh hartanya terkuras habis untuk biaya, kecuali rumah yang ditempati. Para tetangga lemparkan pandangan hina kepada ayah,bahkan dari keluargapun ada yang melakukan
seperti itu.

Walau ketika itu aku masih kecil, tapi aku sudah dapat merasakan derita kedua orang tua . Kedengarannya sum
bang apabila dikatakan seorang carik desa kesulitan makan
Namun kenyataan begitulah.

Ada pengalaman pahit yang dirasakan oleh keluargaku . A
ku tahu persis. Hari itu orang tuaku tidak punya beras , wa
lau hanya sebutirpun.
Rasa malu menghipit dada untuk mencari hutangan ke kanan kiri , karena mereka tidak akan menghiraukan . Ma-
ka perut ayah sekeluarga , dibiarkan kosong , tak terisi nasi .
Ditambah lagi adikku Lukiyah Mahfudz sakit parah , iapun dibiarkan menahan rasa sakitnya . Kembang- kempis nafas
nya tersendat . Kornea matanya melirik ke kanan dan ke kiri menerawang pandangan kosong. Sebentar sebentar bibirnya yang tipis bergerak seolah berucap Selamat Tinggal untuk semua.
Jam duabelas malam nafas adikku semakin pelan dan pe
lan,pelan sekali.Dan ....akhirnya iapun dengan tenang me
mejamkan mata untuk selamanya.
Air mata kedua orang tuaku memaksa untuk mengalir membanjir di pipi.Demikian juga yang lain.Tangis tragis malam itu memecah kesunyian.
Dari peristiwa ini — alhamdu lillah — membangkitkan rasa iba para tetangga yang tadinya berat untuk menyapa.
Satu persatu mereka datang untuk berta’ziah.
Adalah merupakan tradisi di desaku, orang berta’ziah – khususnya kaum ibu – membawa beras sebagai buah tangan.Sejak itulah.ayahku dapat mengisi perut anak anaknya kembali. Seolah adikku mengorbankan diri demi orang tua dan saudara saudaranya yang hari itu bernafas dengan perut kosong.
.............selamat jalan lukiyah adikku....................


***

Pada umumnya penderitaan seseorang mendorongnya un-tuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Demikian halnya yang dialami oleh kedua orang tuaku.
Setelah ditimpa cobaan dahsyat, aku melihat kedua orang tuaku sangat perihatin. Setiap malam mereka bangun untuk bertahajjud.Sambil mentengadahkan kedua tangan air mata bening dialirkan setetes - setetes. Setiap hari Senin dan Kamis berpuasa. Setelah usai Shalat Shubuh, dengan tartil-nya ayahku membaca Al-Qur’an.
Ada dua cara Ayahku membaca Al-Qur’an . Pertama , dibuat hatam dalam satu minggu. Dan kedua,dibuat hatam dalam satu bulan.
Disamping itu ada beberapa Suratan Al-Qur’an yang tidak pernah lupa dibaca oleh ayah, setiap pagi pasti dibacanya. Bahkan dibaca paling awal. Artinya sebelum beliau membaca suratan yang urut beliau membacanya paling awal. Suratan suratan itu ialah : Surat Yasin, Surat Ar-rohman, Surat Al-waqi’ah, dan Surat Tabaarok.
Sangking seringnya membaca Surat Yasin, ayahku sampai menghapalnya. Bahkan ayahku pernah mengigau baca Surat Yasin dalam tidurnya.
Suatu malam , ketika sunyi lengang , terdengar ada sese-orang membaca Surat Yasin. Jelas sekali suara itu suara ayah. Tetapi ketika aku menengok kamarnya , beliau se-dang tidur. Hatikupun bertanya tanya , adakah ayah sedang tidur atau tiduran. Aku mau mendekati, tidak berani. Maka aku biarkan beliau membacanya hingga selesai.
Keesokan hari aku menanyakannya kepada ayah, tapi ayah tidak merasa membaca Surat Yasin pada malam itu. Dari keterangan ayah , aku menarik kesimpulan bahwa tadi malam ayah mengigau baca Surat Yasin. Sambil geleng kepala aku berkata dalam hati , “ Bapakku orang hebat dapat membaca Surat Yasin dalam tidurnya”.

Keperihatinan orang tuaku sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari hari. Semua anak mau menerima kenyataan hidup. Hidup apa adanya. Walau kanan kiri sudah punya motor, satupun dari mereka tidak ada yang minta motor. Demikian halnya dalam bidang pakaian , boleh dikata mereka sangat ketinggalan , tetapi di dalam jiwa mereka ada optimis menghadapi realita hidup, mereka tidak malu berpakaian apa adanya, walaupun sebagai anak carik desa yang pada waktu itu sebagai pangkat tertinggi setelah Kepala Desa.

Disamping berkah keprihatinan, ayah juga banyak memberi contoh dalam kesederhanaan hidup.
Aku pernah melihat dengan kedua mataku bagaimana cara ayah makan.”mBok......aku digeruskan terasi dan garam, kemudian ditetes jelantah [3]”, kata ayah kepada simBok apabila tidak ada lauk.
SimBokpun menghidangkan daharan sesuai permintaan ayah. Dengan lahapnya — Aku melihat dengan kedua mata kepalaku — ayah makan , seolah beliau makan de-ngan lauk sate kambing muda.
Dari sikap ayah yang seperti inilah, kemungkinan jiwa makan apa adanya tumbuh dalam hati anak anaknya.
Kadangkala aku senyum sendiri, ketika ingat adikku Haib, apabila mau makan , dan tidak ada lauk , dia pasti buka almari dan mengambil gula kelapa untuk lauk makan nasi. Apa tumon ???, ada orang makan dengan lauk gula kelapa.
Aku sering sering senyum sendiri ketika ingat masa kecilku yang semakin jauh dan menjauh dibawa oleh peredaran waktu. Sangat lucu .

***

Tahun 1969 aku sudah kelas enam madrasah. Aku lebih semangat belajar. Sebagaimana anak anak seusiaku, pagi hari aku belajar di sekolah, dan sore hari usai shalat magh-rib aku pergi mengaji.
Tempat pengajianku tidak terlalu jauh dari rumah. Kurang lebih 750 meter. Tepatnya di mushola Pak Sholeh guruku.
Waktu itu Pak Sholeh mengajariku kitab Qothrol ghoest. Kitab Gundulan [4]. Dan sejak itu pula aku mulai mengenal cara cara orang membaca kitab.
Usai pengajian aku pulang bersama teman teman. Jalan ka-ki berramai - ramai sambil membawa obor kembang randu [5]. Setiap anak pegang satu obor. Dari kejauhan indah se-kali, lebih lebih dibarengi dengan alunan bacaan sholawat badar bersama. Meskipun tidak terpimpin, namun rapih teratur. Sungguh kenangan masa kecilku yang sulit dilupa-kan. Mengasyikkan.
Usai shalat Isya aku mesti harus sudah di rumah. Panta-ngan bagi ayah, apabila aku dolan malam. Biasanya aku mendengarkan ayah mengajar Ilmu Nahwu. Entah berapa jumlah muridnya. Aku lupa. Tapi yang aku ingat Pak Lik-ku Muhajir selalu mengikuti pengajian ayah.
“Coba......,wawu sebagai tanda i’rab rofa’ dalam berapa tempat ?!”, demikian kata ayah ketika suatu malam me-nguji kepada para murid. Mereka diam.........dan .....diam , satupun tidak ada yang menjawab. Karena tidak ada yang menjawab, aku nyelethuk sambil tiduran,"Dalam dua tem-pat, yaitu dalam Jama’ mudzakar salim dan Asma’ul Khomsah. Mendengar suaraku Ayahpun menengok ke a-rahku dan bertanya, "Lho....kamu kok bisa Sul............,Apa kamu di sekolah sudah diajari kitab Jurumiyyah ?”. Aku menggelengkan kepala pertanda belum.”Ooooh...”, jawab Ayah. Aku tidak tahu persis maksudnya , tapi ada dugaan dalam pikiranku bahwa ayah merasa kagum kepadaku sebagai bocah kecil yang hanya mendengarkan pengaji-annya sambil tiduran bisa menjawab pertanyaannya. Se-dangkan yang mengaji dengan serius tidak.

Mungkin ini adalah rasa kagum Ayah kepadaku yang keti-ga kalinya.

Rasa kagum pertama ketika aku baru lahir. Aku lahir malam hari. Ketika itu dari wajahku memancarkan sinar terang sampai menerangi langit langit rumah (?)[6]. Itulah sebabnya namaku diawali dengan kata Syamsu yang punya arti matahari. Tetapi anehnya , keesokan hari – menurut ayah — wajahku hitam dan jelek. “Yah....walaupun jelek rupa, siapa tahu baik akhlaknya”, demikian ayah berharap [7].
Rasa kagum kedua ketika aku disapih. Aku sering mena-ngis malam hari. Anehnya - keterangan dari ayah - aku tidak mau diam dari menangis, sebelum dibawa ke Masjid dan ditidurkan di Mihrab [8] .
Pernah suatu malam ayah melempar aku ke tempat tidur lantaran sangat marah kepadaku. Karena pada malam itu aku menangis terus menerus , apabila dibawa ke Masjid dan dimasukkan ke dalam Mihrab , diamlah aku. Tetapi ketika dibawa pulang , aku menangis lagi. Hampir sema-laman ayah tidak tidur lantaran bolak balik dari rumah ke Masjid.
Sebenarnya kejadian yang dianggap aneh oleh ayah , me-nurut pikiranku sendiri, mungkin untuk menyadarkan be-liau supaya dengan ikhlas dalam menerima amanat Alloh SWT yang berupa anak, baik laki atau perempuan.
Dan supaya mau mensyukuri anugrahNya , walaupun ber
tentangan dengan kemauan dan nurani ayah.
Ada diceritakan ketika aku masih dalam kandungan , ayah sangat berharap bayi yang akan lahir adalah bayi perempu
an. Ma’lum waktu itu ayah baru punya anak perempuan satu dan diberi nama Sholichah. Adalah sangat wajar apabila ayah berpengharapan besar untuk punya anak perempuan lagi.. Sangking besarnya berpengharapan , a-yah bersumpah serapah ,”Andaikata bayi yang dikandung lahir laki – laki , maka saya tidak akan memyentuhnya ” .
Namun kehendakNya berbicara lain. Maka lahirlah po -nang jabang bayi laki laki. Aku .

***

Ujian Madrasah Ibtidaiyyah telah usai. Tinggal menunggu pengumuman. Setengah bulan lagi.
Selama menunggu pengumuman, kebimbangan untuk me-langkahkan kaki ke jenjang pendidikan berikutnya timbul tenggelam dalam hati. Bingung . Karena melihat keadaan orang tua yang memprihatinkan. Di samping tidak ada biaya , yang dibiayai bukan aku saja , kedua kakak dan tiga orang adikku. Adalah terlalu berat bagi orang seperti kedua orang tuaku yang harta bendanya terkuras habis dalam Pemilihan Kepala Desa.
Di sisi lain aku ingin sekali belajar di Pesantren. Betapa senang aku punya hati , apabila aku belajar di Pesantren . Setiap hari bangun pagi , usai shalat shubuh mengaji Al-Qur’an bersama teman teman, sore hari mengaji lagi, dan apabila mau tidur menghapal syair syair berbahasa Arab.
Seperti yang pernah diceritakan Pak Soleh Guruku.
Kebimbangan ini berlangsung saban hari sampai ada pengumuman lulusan . Alhamdu lillah aku lulus.
Seperti biasanya , sesudah menerima Ijazah , teman teman mendaftarkan diri ke sekolah yang mereka sukai. Ada yang ke es-em-pe , ada yang ke em-te-es , tapi ......ada pula yang tenang tenang saja lantaran tak berpenghaharapan untuk melanjutkan sekolah. Tidak ada biaya.

Nampaknya kebimbangan yang ada dalam hatiku dike -tahui ayah. Maka ayahpun memanggilku.
“Teman temanmu sudah pada mendaftar sekolah lanjutan, tapi kamu kok belum, maumu bagaimana ?”, kata Ayah setelah aku duduk di kursi yang ada di depannya.”Saya ingin ngaji di Pesantren Pak”, jawabku lugas .”Ya boleh , tapi harus nyambi sekolah”, kata Ayah mengabulkan kemauanku.
Mendengar ucapan ayah aku tertegun. Diam . Sebab kemauanku ngaji murni , tidak nyambi nyambi sekolah.
“Pokoknya harus nyambi sekolah,kalau kamu tidak mau lebih baik kamu sekolah saja,tidak usah di Pesantren",kata ayah tegas ketika melihat aku nampak kurang setuju.
Terjadilah kebingungan dalam hati ketika aku tidak boleh di Pesantren keacuali nyambi sekolah. Aku tidak tahu apa yang dikehendaki ayah. Padahal beliau itu adalah alumni Pesantren. Tetapi aku akhirnya meyakini kemauan ayah pasti baik. Mungkin aku supaya jadi santri yang pinter ngaji dan mampu mengarahkan pandangannya ke depan. Dalam rangka mengikuti kemauan ayah akupun mengi -yakan dengan anggukan kepala.
Nampaknya ayah sangat lega ketika melihat aku menyetu jui kemauannya.”Kalau begitu, Bapak akan mencari berita, Pesantren yang dekat dengan sekolahan”, Ayah mengakhiri perbincangan, dan ... akupun pergi bermain .


***

Hatiku berbunga bunga waktu ayah memberi tahu aku a -kan diajak ke Kalijaran Purbalingga. Tujuannya untuk me-lihat Pesantren yang ada di sana. ” Bapak dengar kata -nya Pondok Kalijaran dekat sekolah Tsanawiyah, malah sudah berstatus negeri”, penjelasan ayah dalam menjawab pertanyaanku mengapa harus ke Kalijaran.”Disamping itu ya.....”, Ayah melanjutkan penjelasannya,”bapak di sana punya kenalan Kyai Yahya , dia sering bertemu dengan Bapak di Pasulukan Sokaraja , dan anaknya , Sanah , menjadi murid bapak waktu di Madrasah Tsanawiyah Kholidiyah Sokaraja. Yang kedua Bapak Ridwan teman sekolah bapak , menurut kabar burung , dia sekarang menjadi Kepala Desa Kalijaran , apa benar apa tidak , soalnya bapak sudah lama banget tidak pernah jumpa. Jadi.....di sana, kamu bisa bapak titipkan kepada mereka”.
Sebenarnya banyak sekali yang diceritakan ayah. Aku tidak menghapalnya, lantaran aku kurang antusias mende -ngarkan . Yang ada dalam benakku hanyalah rasa senang akan dipondokkan. Walaupun dengan syarat nyambi seko lah . Tidaklah mengapa , yang penting aku jadi mondok.

Hari itu, Ahad 26 Desember 1969. Aku dan Ayah berang-kat ke Kalijaran Purbalingga .
Jam enam pagi kami berdua keluar dari rumah. Dengan hati berbunga, kami berjalan menembus embun pagi. Sampai di Ampel Gading kami menunggu Bus jurusan Bobotsari. Sangat dirasa lama , tak ada bus jurusan Bo -botsari lewat. Walau begitu, kegirangan yang ada dalam hati tiada padam. Senang dan senang.
Kurang lebih dua jam kami menunggu bus.”Pak...itu bus jurusan Bobotsari !”, abang becak memberitahu kepada ayah sambil mengacungkan telunjuk jarinya ke arah bus ”MUTIARA” yang sedang melaju ke arah kami. Ketika bus sudah dekat , ayah melambaikan tangannya , buspun berhenti tepat di depan kami. Dan kamipun disuruh masuk oleh mas kondektur. Kami berdua duduk bersebelahan. Buspun kembali melaju.
Sungguh ketika itu aku baru pernah naik bus. Karena aku tidak pernah menempuh perjalanan jauh.
Senang sekali. Kulihat pepohonan di pinggir jalan seolah berlari cepat berlawanan arah dengan laju bus. Semilir angin pagi dirasa menyejukkan badan. Sebentar-sebentar terdengar suara kiri........kiri, yang keluar dari mulut mas kondektur setiap kali menurunkan dan menaikkan penu -mpang.
Jam 09:30 , bus “MUTIARA”tua sampai di Bobotsari.
Di koplak bus Bobotsari , aku dan ayah mencari mobil Power jurusan Karanganyar. Lama sekali. Sebab mobil power ketika itu baru berangkat apabila sudah penuh pe -numpang. Padahal untuk bisa penuh, perlu waktu lama, karena mesti menunggu para pedagang dari pasar. Kami berdua menunggu dan menunggu hingga penuh. Walaupun rasa dahaka dan lelah harus dirasakan oleh kami berdua. Tidaklah mengapa.
Jam sebelas mobil baru berangkat. Pelan sekali. Mungkin karena muatannya terlalu berat , atau mesinnya sudah tua, dan atau mungkin sebab keduanya. Perjalanan Bobotsari — Karanganyar yang berjarak kurang lebih 6 KM me -merlukan waktu satu jam atau lebih. Di samping itu jalan Bobotsari — Karanganyar berbatu batu, dan harus menyeb rang dua sungai besar. Sungai Klawing dan Laban.
Jam duabelas seperempat, baru sampai di Karanganyar. Mobil Power berhenti di dekat pasar. Kami berdua turun.
Dari pasar kami berjalan ke arah timur. Menuju rumah Kyai Yahya , teman ayah.
“Maaf Pak....rumah Kyai Yahya shi di mana ?”, Ayahku bertanya kepada salah seorang yang sedang menunggu mobil di simpang tiga jalan. Dengan mengacungkan ujung telunjuknya orang itu menjawab, "Dari sini ke utara terus, nanti Bapak melihat KUA , nah rumah yang dekat KUA, itulah rumah Kyai Yahya".
Aku dan ayah pun berjalan sesuai dengan petunjuk orang tadi. Benar , dekat KUA ada sebuah rumah menghadap utara. Kami mendekati pintunya. Di depan pintu persis , ayah berucap salam. Namun dari dalam tidak ada jawaban. Sepi . ”Mungkin sedang pada pergi”, bisik hatiku. Entah berapa kali ayah berucap salam , dan entah berapa lama kami berdiri di depan rumah Kyai Yahya.
“Eh.....Pak Carik”. Suara halus tiba tiba terdengar dari dalam. Suara anak gadis berkulit kekuningan dan rambut terurai di atas bahu .”Ini mungkin yang bernama Sanah, yang pernah diceritakan oleh ayah”, pikirku. Karena begitu melihat ayah , ia nampak sudah mengenalnya. De -ngan pelan ia membuka pintu dan mempersilahkan masuk kepada kami. ”Silahkan masuk Pak !”, katanya.
“Pak Kyai ada ?”, tanya Ayah usai dipersilahkan duduk oleh gadis itu.”Sedang Pengajian , sebentar lagi pulang”. kata gadis itu kembali. Kemudian ia masuk ke dalam.
“Itu tadi putri Kyai Yahya, namanya Sanah, dulu ia sekolah di Tsanawiyah Cholidiyah, waktu itu Bapak mengajar Ilmu Tajwid, Kitab Tukhfatul Athfal”, penjelasan Ayah kepadaku.Akupun menganggukkan kepala,walaupun sejak tadi aku sudah menduganya.
Dua puluh menit sudah, aku dan ayah menanti kehadliran Kyai Yahya. Sambil membasahi tenggorokan yang sejak tadi kering, Ayah banyak bercerita tentang kehidupan Pesantren. Nampaknya apa yang diceritakan ayah meru -pakan pesan yang harus aku perhatikan. Pelan pelan aku menulisnya dalam lembaran hati yang masih bersih dan polos. Sekata demi sekata aku tata rapih dan akan ku -jadikan bekal kelak apabila aku sudah benar benar hidup di Pesantren.
“Assalamu ‘alaikum..”, Tiba tiba terdengar ucapan salam dari halaman rumah.”Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh”, jawab Ayah spontan.
Dibarengi suara pintu menggerét , tiba tiba , “Eh.....Kyai Asymuni”, Kyai Yahya menyapa.
Aku sempat kaget ketika Kyai Yahya menyapa ayahku dengan sebutan “Kyai”. Mas’alahnya selama ini di desaku tak pernah aku dengar seorangpun menyapa ayahku de -ngan sebutan seperti itu. ”Kenapa yaaa..?” , pertanyaan sekilas muncul dalam hatiku.”Oh....mungkin tradisi di Pasulukan, memanggil siapa saja dengan sebutan Kyai”, jawabku pada diri sendiri.
Aku melihat Kyai Yahya dan Ayahku saling berpelukan lambang keakraban. Nampaknya dalam hati mereka ada rasa kapang[9] mendalam, karena sudah lama tidak ber -jumpa. Kemudian keduanya duduk berdampingan.
Usai saling menanyakan kesehatan keluarga keduanya ,Ayah mengutarakan maksud kedatangannya.”Begini Kyai Yahya”, Ayah memulai pembicaraannya.”Saya bermaksud akan memondokkan anak saya ini di Pondok Kalijaran, namanya Syamsul Qodri, rencananya nyambi sekolah di Tsanawiyah, saya mohon Pak Kyai Yahya ikut mengawasi dari kejauhan, eh...wong bocah kadangkala sok ngawur, supaya ngaji malah bermain ke rumah teman”.
Dengan antusias Kyai Yahya mendengarkan sambil me -nganggukkan kepala mengiyakan.”Kamu sering sering datang ke sini, kalau kekurangan sesuatu, datang saja ke sini”, Kyai Yahya berucap sambil memandang kepadaku. Aku hanya diam.
Selanjutnya ayahku dan Kyai Yahya berbincang panjang lebar. Dari mas’alah keluarga sampai pengalaman-pengala
man tempo dulu . Aku tidak begitu memperhatikan per -bincangan mereka.

Jam lima sore Ayah berpamitan . Setelah berjabat tangan dan bersautan salam, aku dan ayah meninggalkan rumah Kyai Yahya. Meneruskan perjalanan. Menuju rumah Ba -pak Ridlwan Kepala Desa Kalijaran.
Sampai di rumah Bapak Ridwan, kami berdua disambut langsung oleh beliau.”Aih..mas Turbi[10], kata pak Ridwan.
Kebiasaan Pak Ridwan dalam menerima tamu, yang sering di ruang belakang. Maka aku dan Ayahpun diajak ke sana. Kami bertiga duduk bersanding meja bulat terbuat dari kayu.
Ketika aku melihat ke arah belakang, aku melihat motor motoran seperti Vespa. Dasar anak anak, melihat mainan langsung tertarik. Aku melihatnya lama tiada henti.”Itu mainannya Mohamad dan Mator”. Kata Pak Ridwan sambil menengok ke arahku.
Setelah menanya kesehatan masing masing , ayah mengu -tarakan maksud kedatangannya.
Sebagaimana kepada Kyai Yahya, akupun dipasrahkan kepada Bapak Ridwan oleh ayah.”Nah..begitu, satu satu anaknya ada yang mondok”, pak Ridwan mene -gaskan,”Kalau begitu..”, lanjutnya.”Nanti bermalam di sini,besok pagi sowan ke rumah Kyai Hisyam”. Sejenak pembicaran dihentikan, karena Pak Bau Patah yang put -ranya itu memberitahu ada tamu di depan.Pak Ridwanpun beranjak dari duduknya untuk menemui tamu yang baru datang di ruang depan. Tidak lama.
“Kira kira jam berapa sowan Kyai Hisyam?”, tanya Ayah usai Pak Ridwan duduk kembali.”Ba’da Subuh”, jawab Pak Ridwan singkat.
Lama dua orang sahabat ini berbincang bincang.Tak ada waktu berhenti kecuali waktu shalat dan makan sore.
Sudah jam sembilan malam. Mereka masih saja bercerita. Entah apa saja yang diceritakan,aku yang masih bocah kecil tidak terlalu memperhatikan.Hanya satu dua yang aku hapali. Nampaknya yang banyak diceritakan moment time di sekolah dulu.
“Kalau sudah ngantuk,kamu tidur dulu Sul !”, kata Ayah.”Iya sana”, kata Pak Ridwan sambil menunjuk ke kamar yang telah disediakan oleh beliau. Di ruang bagian dalam.Akupun beranjak dari duduk, berjalan pelan menuju kamar yang ditunjuk oleh Pak Ridwan.
Dalam keremangan lampu teplok[11] aku rebahkan tubuh di atas ranjang yang serba putih. Ya....serba putih.Dari kain seprei sampai bantal guling berwarna putih.
Pemandangan yang seperti ini sangat menyulitkan aku untuk memejamkan mata. Bahkan setiap kali melihat bantal guling,dalam benakku terbayang ‘mayat yang suka makan anak kecil’, seperti yang aku dengar dalam dongeng teman sebayaku. Serasa aku melihat mayat membujur di sampingku. Aku ketakutan. Dan akhirnya akupun terisak menangis.
Nampaknya isak tangisku terdengar dari luar. Maka ayah bangkit dari duduknya , kemudian mendekati aku.”Kena -pa kamu menangis Sul..?”, tanya Ayah. Aku hanya diam membisu.
Demi aku, ayah memotong perbincangan dengan Pak Ridwan. Masuk ke kamar dan tidur di sampingku. Sepi...

Kumandang adzan shubuh dari Masjid sebelah timur ru -mah Pak Ridwan terdengar, dan membangunkan aku dari kenyenyakan tidurku semalam.”Paak..!?”. kataku lirih membangunkan ayah yang masih dalam kelelapan .”Sudah subuh...”, kataku lagi. Ayahpun bangun dan me -ngajakku berwudlu. Kemudian aku dan Ayah sama-sama mengambil air wudlu, dan melakukan shalat shubuh ber -jama’ah.
Jam 05:30 aku dan ayah dipersilahkan minum dan sarapan pagi yang telah dipersiapkan oleh ibu Ridwan[12]Usai sa -rapan pagi , ayahku berbincang - bincang lagi dengan Ba -pak Ridwan. Hanya sebentar.Kemudian ayah pamit akan sowan ke rumah Kyai Hisyam.
“Mungkin nanti saya akan langsung pulang ke Sokaraja, Jadi tidak kembali lagi ke sini”. Kata Ayah.”Lho ..... .... ... .bagaimana shi ?”, tanya Pak Ridwan dengan penuh keakraban.”Yaa....kapan kapan kan kita dapat berjumpa lagi. Saya titip anak saya ini untuk diawasi ,mbok malas ngaji”, demikian kata Ayahku sambil berjabat tangan. Setelah barsaut salam, pergilah kami berdua.

Aku dan ayah sowan ke rumah Kyai Hisyam lewat jalan yang ada di belakang rumah Bapak Ridwan. Jalan itu curam dan sepi, di sebelah kirinya tanah kuburan. Kulihat batu-batu nisan kubur berderet rapi laksana barisan tentara yang disiapkan oleh komandannya. Diam tak bergerak.
Terlihat dua bangunan sederhana bersebelahan.”Itu bangu-nan Pondok”, kata Ayah sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah timur.”Namanya Pondok apa?“,ta -nyaku.” Bapak tidak tahu namanya, yang bapak ta -hu‘Pondok Kalijaran’, tanpa nama”, jawab Ayah.
Kami berdua menuju ‘ndalem’[13] melintasi depan Pondok. Terdengar para santri sedang menghapal”Huwal Habieb bersama sama. Persis seperti apa yang diceritakan Pak Sholeh guruku. Sungguh menyenangkan. Apalagi ketika dilantunkan terjemahannya yang berbahasa Jawa. Sangat syahdu.
Sampai di bawah pohon mangga depan madrasah,”Itu Rama Kyai Hisyam”, kata Ayah bernada lirih kepadaku, sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah dalam madrasah. Akupun mengarahkan pandangan ke sana, teta pi tidak dapat melihat beliau. Karena aku bocah kecil bertubuh pendek.
Di depan pintu ‘ndalem’ sebelah timur, kami berdiri. ”Assalamu ‘alaikum...assalamu ‘alaikum”, dua kali Ayah berucap salam. Nampaknya suara Ayah tidak kedengaran dari dalam. Dan....”Assalamu ‘alaikum”, ucapan salam ayah yang ketiga kalinya.”Wa ‘alaikumus salam warohmatulloh wabarokatuh”, suara lembut dari dalam rumah menjawab. Dengan pelan seorang perempuan ber -umur dan berbaju putih membuka pintu. Kemudian oleh beliau kami dipersilahkan masuk dan duduk. Setelah di -tanya dari mana, kami berdua supaya menunggu Romo Kyai yang sedang aktivitas di madrasah. Kamipun me -nunggu.
Tak lama kemudian, aku mendengar suara ‘déhém’ penuh wibawa dari luar.”Pasthi Romo Kyai”, pikirku. Benar dugaanku , beliau Romo Kyai. Sungguh ketika itu aku baru pernah berhadapan dengan seorang ‘Ulama Besar. Aku yang ketika itu masih bocah dapat membaca dari ketajaman sinar yang memancar dari wajahnya, bahwa beliau adalah orang yang sangat luas ilmunya. Dari cara berpakaian , aku dapat membaca beliau orang yang sangat ikhlas dan banyak berpasrah diri. Aku sangat kagum “Saking pundi nggih ?”[14], kata beliau sesudah duduk di samping Ayahku.
“Saking Sokaraja”[15], jawab Ayah penuh takdzim dan hormat.
Kemudian mereka saling menanyakan kesehatan masing - masing.”Ngaten Romo”[16], Ayah mengawali maksud dan tujuan sowan.”Dalem sowan punika , angka setunggal sila
urahim,wondenten angka kaping kalih dalem bade titip lare kapurih ngahos dumateng panjenengan” [17] “Sinten naminipun ?” [18], Beliau menanyakan namaku.”Syamsul Qodri”, jawab Ayah.
Kemudian aku dipasrahkan kepada beliau oleh Ayah seba -gaimana umumnya orang tua yang memondokkan anak -nya. Dan beliaupun menerima aku sebagai santrinya de -ngan kedua tangannya yang penuh barokah.
Selama aku ada di depan beliau sepatah katapun tak ada yg
keluar dari mulutku. Diam membisu. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti. Mungkin kewibawaan beliau yang mengunci mulutku dari barkata - kata.
Di balik diamku, yang ada rasa senang dan gelora jiwa berbangga. Senang karena cita citaku mondok akan segera direalisasikan. Bangga karena aku akan menjadi santri seorang ‘Ulama besar yang keluasan ilmunya tidak bertepi.
Usai bersautan salam, kami berdua meninggalkan rumah Romo Kyai Hisyam . Pulang .
Kami berdua jalan kaki dari Kalijaran ke Bobotsari. Karena ketika itu terlalu lama menunggu kendaraan umum. Sungguh suatu perjalanan yang sangat melelahkan bagi seorang bocah sekecil aku.
Dalam rangka mengusir lelahku, ayah banyak bercerita sepanjang jalan. Cerita dunia Pesantren. Dan di setiap sela ceritanya, ayah banyak memberi pesan sebagai bekalku kelak apabila aku sudah benar benar hidup di Pesantren.
“Kamu harus rajin belajar, baik di Pondok maupun di sekolah, kamu tidak boleh sering bermain ke rumah teman,
kamu harus berperihatin,jangan seperti di rumah”, demiki
an salah satu pesan ayahku yang kuhapal. ” Kamu kiranya-
betah tidak di Pondok Kalijaran ?”, tanya Ayah kepadaku
waktu menyebrangi sungai ‘Laban’.”Betah !”, jawabku singkat.
“Di Pondok ya Sul.", Ayah memulai ceritanya lagi.Kadang
santri baru itu dicoba oleh santri lama.Dalam dunia Pe-
santren namanya ‘Pendadaran’“. kata Ayah sambil sedikit
senyum senyum,mungkin ingat ketika ayah menjadi santri
baru di Pondok Purwanegara Banjarnegara.”Maksudnya?
“, tanyaku di sela ceritanya.”Maksudnya ya untuk nyoba santri baru betah apa tidak di Pondok”, kata Ayah menje
laskan.”Oooh............”, kataku paham.
Tidak terasa kami sudah sampai di koplak bus Bobotsari. Kami langsung masuk ke dalam bus jurusan Purwokerto. Buspun melaju bersama bayang-bayang Pondok Kalijaran yang sebentar- sebentar melintas di sudut hatiku.





BAGIAN KEDUA
T


anggal 30 Desember 1969. Jam:10.30. Aku, ayah. uwak Haji Muslim, dan mas Parno, sampai di Pondok Kalijaran. Kami ber-empat sowan ke ‘ndalem’. Tidak lama. Karena Romo Kyai akan tindakan. Usai berbincang-bincang secu -kupnya kamipun segera keluar.
Aku dan mas Parno didaftarkan oleh Ayah. Dan saat itu a -ku baru tahu nama Pondok Kalijaran yang sebenarnya, setelah ayah menanyakannya kepada Pak Yusuf , salah satu pengurus yang menulis nama kami berdua dalam Buku Induk.
PONDOK - PESANTREN “SUKAWARAH” KALIJARAN.
Nama yang cukup keren, walaupun aku tidak tahu persis ma’nanya. Mungkin kata ‘Sukawarah’ bermula dari kata’Suka' dan 'Wewarah’ yang artinya ‘Suka memberi pelajaran’, atau ada kemungkinan dari kata ‘Suka' dan 'Bermusyawarah’ yang punya arti ‘Senang Rembugan’, dan atau dari kata ‘Sokawera’, karena Pondok itu ada di dukuh Sokawera. Entahlah, aku tidak tahu asal muasalnya.
Sesudah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, ka
mi dicarikan kamar untuk tempat tinggal. Semua perbe kalan, dari pakaian sampai ketupat yang ada dalam tum -bu[19] dibawa ke kamar yang ditunjukkan oleh salah satu teman.
Kemudian kami diajak oleh Ayah sowan ke rumah Ba -pak Tubaji, Kepala Madrasah Tsanawiyah Karanganyar. Karena beliau belum pulang, kami disuruh supaya me -nunggu.”Sebentar lagi Bapak pulang”, kata Ibu Tubaji sambil meletakkan minuman di atas meja tuanya.
Kurang lebih hanya seperempat jam kami menunggu. Tiba
tiba , ”Eh....ada tamu....”, kata Pak Tubaji sambil senyum ramah.”Dari mana yaa...?”, katanya lagi , sesudah duduk di kursi depan Ayahku.”Dari Sokaraja”, jawab ayah.
Sesudah menanyakan kesehatan masing masing, dan sedi -kit berbincang mas’alah keluarga , ayahku menyampai kan maksud kedatangannya. Mendaftarkan aku dan mas Parno sebagai siswa sekolah yang yang dipimpin oleh Pak
Tubaji. M Ts A I N. Kependekan dari “ Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri “.Nama sekolah yang cukup berwibawa didengar waktu itu. Sebab, di Jawa Te -ngah baru ada dua Tsanawiyah Negeri. Di Babakan Tegal , dan Karanganyar Purbalingga.
“Begini...Pak”, Pak Tubaji memberi penjelasan,” Sebenar
nya pendaftaran sudah ditutup,bahkan sudah test”. Ayahku terperanjat mendengar penjelasan Pak Tubaji.
Aku bisa membaca dari raut wajahnya.” Bagaimana yaa”, keluh ayah.”Begini saja, nanti saya usahakan supaya anak bapak bisa masuk, dan ditest sendirian “, demikian Pak Tubaji melegakan hati Ayah.
Setelah dianggap cukup, Ayah dan Wak Haji Muslim berpa
mitan. Pulang. Aku dan mas Parno mengantar mereka sampai di simpang tiga Karanganyar.

***

Aku sekarang sudah resmi menjadi santri Pondok. Pondok Pesantren “SUKAWARAH“ yang terletak di sebuah pedu -
kuhan yang amat sepi dan sunyi. Pedukuhan Sokawera. Desa Kalijaran. Kecamatan Karanganyar. Kabupaten Pur -balingga. Propinsi Jawa Tengah.
Sebagaimana santri baru yang lain, aku belum diperkenan
kan mengikuti kegiatan Pondok, khususnya pengajian.” Kamu mulai ngaji besok hari Rabu”,kata mas Khaerudin teman sekamarku yang berasal dari desa Maribaya. Aku-pun mengiyakan saja. Tidak protes. Walaupun hati ini ingin sekali tahu sebabnya.”Mengapa ngaji harus dimulai hari Rabu ???”, hatiku bertanya dan bertanya.
Untuk mengisi waktu,aku memperbanyak mengenali dan
mempelajari lingkungan. Maksudnya supaya aku bisa membawa diri.
Apabila tiba waktu ngaji, aku melihat-lihat para santri yang sedang belajar membaca kitab kepada santri senior.
Hatiku kadang melambung tinggi dengan setumpuk cita ci
ta, ketika melihat para santri berangkat ngaji. Dengan peci hitam yang necis,baju berlengan panjang,membawa setum
puk lembaran kitab tebal,dan berjalan anggun penuh wiba
wa.”Kapan aku bisa seperti itu ?”, bisik hatiku lirih.
Lebih lebih pada waktu santri senior sedang mulang ngaji
‘sorogan’ ba’da maghrib. Ada yang di kamar, dan ada yang di Jerambah Pondok, menggunakan gaya masing masing, mereka membaca kitab dengan lantunan yang disukai. Cara mengajar merekapun berbeda beda. Ada yang menerangkan isi kitab yang dibaca dengan lugas dan tuntas, tetapi ada pula yang hanya membaca , kemudian ditirukan oleh muridnya.
Mungkin ini adalah keunikan Pesantren. Tidak ada aturan
pasti dalam mengajar. Sehingga — aku pernah melihat —
ada yang mengajar sambil mengangguk anggukkan kepa
la , dan akhirnya tertidur di tempat mengajar. Sangat lucu.
Satu dua hari, aku di Pesantren tidak ingat rumah. Namun di hari yang ketiga, pikiranku terbang melayang ke rumah. Entah sebab apa, aku tidak mengerti. Mungkin karena aku masih bocah, jadi tidak gampang berpisah dari orang tua. Atau mungkin perasaan orang tuaku yang belum tega melepas diriku merantau di negeri orang, kemudian perasa
an itu menembus ke dalam perasaanku.
Bayang bayang keluargaku satu persatu muncul dalam piki
ranku ketika aku rebahkan kepala. Mau tidur.
Terutama kedua orang tuaku yang dirudung malang. Tampak jelas dalam remang malam, Bapak dan simBok berjalan beriringan memakai tudung [20] bambu yang lusuh.
Aku tahu, sebenarnya mereka pergi ke sawah lama lama ha
nyalah sekedar untuk menghibur hati yang telah hancur,
dan untuk menghindar dari gunjingan tetangga dan keluar
ga yang kadang kadang sangat menyakitkan. Aku tahu itu semua ketika masih di rumah. Mereka berbisik lirih membicarakan kegundahan yang melanda jiwa.
“tabahlah Bapakku......tabahlah simBokku...”, hatiku berbisik pelan, dengan berpengharapan suara hati ini dapat didengarkan oleh mereka.
“percayalah.....kelak para putra akan menghapus deri
ta yang membeban dalam kehidupan.Percayalah ayahku...........Percayalah simBokku....Percayalah”.

***
Hari Rabu aku mulai ngaji dan mengikuti kegiatan Pondok
Semua kegiatan aku ikuti kecuali ngaji ‘Bandongan’ kepa
da Romo Kyai. Karena santri yang mengikutinya harus mendapat idzin dari beliau. Biasanya didawuhi[21] langsung.
“ Ngaji sorogan harus dimulai dengan Kitab safinah ”, de
mikian saran Achmad Shoim teman sekamarku, ia berasal
dari Desa Krajan Pakuncen dan duapuluh hari lebih awal
datang ke Pondok Kalijaran.
Kebetulan sekali aku bawa kitab Safinah dari rumah.Jadi ti
dak repot membelinya.Dan kebetulan pula aku di rumah su
dah pernah ngaji kitab itu. Gratul gratul [22] .
Setiap ba’da Maghrib yang mengajar ngaji sorogan
cukup banyak. Semua santri senior ditugasi mengajar. Ramai sekali. Sebagian besar mereka mengajar di dalam kamar, kecuali yang sudah berkemampuan tinggi dalam membaca kitab, maka ia bertugas mengajar di Jerambah Pondok.
Dari kamar ke kamar aku datang dan pergi untuk mengaji .
Yang terakhir aku ngaji di Jerambah.Kepada Bapak Muza
mil putra kandung Romo Kyai , dan kepada Bapak Sujari
putra menantu beliau.
Kegiatan yang lain adalah Yasinan dan Barzanjen .
Setiap malam Jum’at semua santri berkumpul. Kadang di
madrasah, kadang di jerambah. Untuk membaca Surat Yasin bersama. Sesudah dibacakan do’a oleh Imamnya ,diadakan Khithobah. Latihan pidato. Secara bergilir. Yang mendapat tugas berpidato santri santri senior. Santri yang masih bau kencur seperti aku, hanyalah sebagai pendengar.
Kegiatan ‘membaca barzanji' diadakan setiap malam Selasa. Karena malam itu biasanya Romo Kyai tindakan (pergi). Selesai pembacaan Barzanji keluarga nDalem memberi berbagai bagai wejangan kepada para santri. Kadang Bapak Musta’iedz, kadang Bapak Sujari.
Wejangan Bapak Musta’iedz biasanya berkisar mas’alah belajar.”Jadi santri apabila ingin pandai, harus rajin belajar”, katanya.
Kalau Bapak Sujari wejangannya berkisar adab atau etika santri.”Dadi bocah Pondok...”[23], kata Bapak Sujari menggunakan dialek Banyumasan asli.”Nek lunga lunga kudu kuplukan” [24], lanjutnya. Semua santri diam men-dengarkan. Kecuali santri yang gede gede. Satu dua ada yang senyum senyum. Aku sendiri tidak tahu makna senyuman itu. Tiba tiba, “Kejaba aku,aku kiyé mantune Kyainé[25], demikian Pak Sujari berkelakar. Gerr....semua santri tertawa, termasuk aku yang masih bau kencur di Pesantren, meskipun tidak tahu maksudnya apa yang dikatakan Pak Sujari itu.
Di samping itu, setiap Jum’at pagi semua santri supaya bersih bersih lingkungan.Resék-Resék istilahnya. Kegiatan ini dimaksudkan supaya para santri membiasakan serba bersih. Bersih lahir, bersih batin.
Ba’da shubuh Pak Yusuf berkeliling mengajak para santri supaya membersihkan lingkungan Pondok. Merekapun keluar memunguti sampah yang berserak di sekitar Pondok dan nDalem. Tapi dari sekian banyak santri ada juga yang bandel. Sudah berapa kali Pak Yusuf menyuruh keluar, tetap saja di kamar.
“Eh....bocah sing ala ala pada metu,resěk resěk,sing bagus
bagus nang kamar bahě “ [26] , kata Pak Yusuf menyindir karena kesal. Dengan sindiran seperti itu, santri yang ada di dalam kamar merasa tidak enak,maka merekapun keluar ikut bersih bersih lingkungan, walau ada beban di hati.

Dengan mengikuti kegiatan kegiatan Pondok, sedikit demi
sedikit aku dapat melupakan rumah. Lebih lebih setelah a
ku mengikuti kegiatan sekolah yang aku jalani setiap pagi.
Jarak sekolahku sekitar 1500 meter dari Pondok. Kira kira.
Karena aku belum pernah mengukurnya secara pasti.Jarak
yang cukup melelahkan bagi anak sekecil aku.
Setiap pagi, setelah ngaji Al-Qur’an kepada Romo Kyai,
aku berangkat sekolah.Dengan perut kosong aku melang
kahkan kaki.Jarang sekali aku makan pagi ketika itu.Bukan
lantaran tidak ada makanan.Masalahnya karena bekalku sa
ngat terbatas. Jadi tidak ada anggaran untuk membeli makan pagi. Mau masak pagi, jelas tidak bisa. Tergesa.
Jam setengah satu aku baru pulang dari sekolah.Ba’da shalat Dzuhur aku baru masak,sebab tidak ada yang mema
sakkan nasi untuk aku.
Ada satu kenangan mematri di hati.Sulit untuk dilupakan.
Waktu itu musim penghujan.Seperti biasanya aku masak u
sai Shalat Dzuhur.Dengan perutku yang kosong sejak pagi,
aku mencari kayu bakar di tanah pekuburan.Memang aku
lagi nasib, aku hanya menemukan ranting ranting kecil , itupun tidak banyak.Tentu saja tidak cukup untuk masak. Maka akupun memunguti daun daun jambu kering di sebelah selatan Pondok.Ketika aku membuka tutup panci,datang angin besar bersama gerimis, akibat hembusan angin itu masuklah abu daun jambu itu ke dalam panci masakku. Karuan saja nasi yang ada di dalamnya berubuah warna. Putih keabu-abuan. Akupun tetap memakan nasi itu."Dari pada kelaparan", kata hatiku menghibur diri.
Meskipun di pondok hidupku serba susah,aku tetap menja
laninya dengan sabar dan tabah.Karena hatiku tertuju pada
satu cita cita.Ingin bisa membaca kitab.Maka lapar dan dahaka di Pesantren tidak pernah aku rasa.
Keinginan bisa membaca kitab selalu bersarang di sudut su
dut hatiku.Bahkan kadang membawaku terbang melayang
jauh di tengah mega hayalku setiap kali aku melihat santri
senior menjinjing kitab tebal berjilid akan ngaji ‘bandongan’kepada Romo Kyai.
Ketika keinginan itu terbang melayang, datanglah seorang laki laki dalam tidurku. Dia berbaju warna coklat muda, berpeci hitam, dan bersarung Samarinda.
Orang itu dengan ujung jarinya menulis kata”Jakarta” dan “Cirebon” di tengah hamparan langit biru berbintang ge
mintang.” Apakah kamu ingin pandai seperti aku ?”, kata
lelaki itu. Namun belum sempat aku menjawabnya, aku ter
jaga dari tidurku.
Malam kedua , orang itu datang lagi dengan pakain seperti
kedatangannya waktu malam pertama. Dia menyuruh aku
supaya mengambilkan sepotong daging kambing.Dengan rasa ‘tawadlu’ dan hormat , akupun melaksanakan perintah
nya.Kemudian sepotong daging yang aku serahkan dima
sukkan ke dalam mangkok berisi air bening. Dengan seksa
ma aku memandangi mangkok itu. Lama kelamaan air yang ada di dalamnya mendidih panas,dan sepotong daging kambing tadi menjadi matang.”Apakah kamu ingin pandai seperti aku ?”, lelaki itu bertanya. Aku belum sempat mengiyakan, aku terjaga dari tidurku.
Malam ketiga lelaki itu mendatangi aku lagi. Dia melontar
kan kepadaku pertanyaan sama seperti pada malam pertama dan kedua. Ketika itu aku menjawab dengan tegas “Iya”.
Kemudian orang itu menyodorkan segelas air putih kekuning-kuningan dan menyuruh aku supaya meminum
nya. Tanpa banyak pikir aku melakukan perintahnya. Minum air itu. Rasanya persis air zam zam. Dan.. aku terjaga dari tidur.
Malam keempat orang itu datang dengan pakaian dan gaya
yang sama.Kali ini dia mengajarkan wirid kepadaku. Kata
demi kata aku menirukan ucapannya. Setelah itu dia memberikan secarik kertas kepadaku. Dan.......akupun terja
ga. Subhanalloh aku bertasbih. Sungguh kejadian yang sangat aneh terjadi. Mungkin seumur hidupku hanya satu kali. Ternyata di samping tidurku ada secarik kertas dan bertuliskan wirid yang diajarkan dalam tidurku . Kemudian
kertas itu aku ambil dan kusimpan di sela lembaran kitab.Anehnya kertas itu setelah tiga hari menghilang .Ke
mudian muncul lagi.Kejadian menghilang dan munculnya
kertas itu berulang ulang. Kemudian do’a wirid yang tertu
lis dalam kertas itu aku salin ke dalam buku catatan Ilmu Hikmahku.Sejak itu kertas tersebut menghilang dan tak pernah muncul lagi.
Apa yang aku alami di balik mimpi – mimpi tidurku ada kemungkinan akibat dorongan dari keinginanku jadi orang
pandai.Dapat membaca ‘Kitab Salafi’ yang dikenal dengan
nama ‘Kitab Kuning’[27].





BAGIAN KETIGA

B

etapa cepat peredaran waktu.Tidak terasa aku sudah hampir tiga tahun hidup di Pesantren Ka lijaran, dan aku sudah duduk di kelas tiga M Ts A I N Karanganyar.Padahal serasa masih segar dalam ingatan ku ketika aku menangis di atas bebatuan sungai kuning .Ketika aku ditakut takuti akan dikhitan oleh temanku Ngalimun asal desa Sokawera Cilongok.
Hari Jum’at sekitar jam:10.00 aku mandi di sungai Kuning
Sendirian.Tiba tiba datang temanku ‘Ngalimun’ dan meng
hampiri aku.”Sul......kamu akan kukhitan dengan Gobẻd”[28] , katanya.Karuan saja aku ketakutan.Akupun me
nangis, sampai shalat Jum’at dilaksanakan aku masih me-nangis di atas batu sungai kuning, Aku tidak mau pu-lang,walau teman teman mengajakku pulang, bahkan be-berapa orang tua juga mengajak pulang.
Masih segar dalam ingatanku , ketika perutku melilit kesa
kitan gara gara pagi hari makan sambal tanpa nasi.
Pagi itu sungguh aku lapar sekali. Untuk mengganjal perut
ku, sambal sisa kemarin terpaksa aku makan, tanpa nasi. Tidak banyak.Cuma satu sendok teh.Nampaknya perutku tidak kuat. Lama kelamaan terasa panas dan sakit.
Dengan perut yang sakit aku tetap berangkat sekolah.Di bawah pohon pisang aku terjungkal dan muntah. Lega.
Pokoknya semua peristiwa yang aku alami ketika aku masih duduk di kelas satu belum terhapus dari memory ingatanku .
Sungguh waktu ini berjalan sangat cepat, secepat jarum jam yang diputar oleh pemilikya .


***


Mestinya di kelas tiga aku harus lebih rajin belajar. Karena
akan menghadapi Ujian Akhir Tahun Pelajaran.Tetapi aku justru sebaliknya.Tambah malas.
Untung Pak Jari sangat telaten.Setiap pagi selalu mengon
trol anak Pondok yang nyambi sekolah.Apabila beliau mengetahui ada anak pondok yang tidak berangkat sekolah
,beliau tidak segan segan memancarkan sinar matanya dari tengah bulatan kornea.
Pagi itu aku sangat berat untuk melangkahkan kaki ke sekolah.Berat sekali.
Dalam rangka menghindar dari pengawasan Pak Jari,aku menyelinap di balik pintu pawrệstện [29] masjid.”Pasti Pak Jari tidak tahu”, hatiku berbisik. Entah dari siapa beliau tahu aku bersembunyi di balik pintu pawrệstện.Tiba tiba.....
“sul...sul,supaya berangkat sekolah malah bersembunyi”,
kata beliau sambil membuka pintu.
Dengan wajah masam akupun pergi ke kamar untuk ganti baju,dan berangkat sekolah, walaupun dengan berat kaki.

Nampaknya ada yang melaporkan ‘rasa malas sekolahku’
kepada ayahku.Dengan ketajaman penanya ayah menulis surat untukku.”Kalau kamu tidak mau sekolah,pulang !.Ti
dak usah mondok !”, demikian salah satu ancaman ayah yang ditulis dalam surat.Ayahku sangat marah.
” Bapak tidak perlu khawatir,insya Alloh dalam ujian nanti,saya lulus”, aku berjanji dalam surat yang aku sam-paikan kepada ayah. Sebagai jawaban.

Janjiku kepada ayah nampaknya dapat mengurangi ‘rasa malas’sekolahku.Sedikit mendorong aku rajin berangkat.
Sebab aku takut ayah kecewa apabila ternyata aku tidak lulus dalam Ujian Akhir.
Memang kemauan sekolahku hanya sebagai batu loncatan aku mondok.Tetapi merupakan kesalahan besar apabila aku mengecewakan orang tua. Dan apalah jadinya aku , apabila orang tuaku sampai merasa kecewa.Untuk itu , walau berat dirasa , kemalasan selalu menghadang, aku berusaha untuk lulus ujian akhir. Membaca bukupun aku tingkatkan.
Waktu istirahat aku sering ada di bawah jembatan sungai bulan yang di sebelah timur sekolahku. Di situ aku banyak membaca buku pelajaran. Lebih lebih apabila ada tugas menghapal ‘Muthola’ah’ dari pak Kisno, atau tugas hapa-lan ‘Hadist’dari pak ‘Abbas, dan atau tugas hapalan ‘dalil pendirian’nya Pak Martopo.
Bahkan kelakuanku minggat sekolah, aku lempar jauh-jauh. Tidak seperti dulu. Kalau jam sembilan pulang me-nyelinap lewat kebun ‘manis jangan’nya Pak Tubaji yang ada di sebelah barat lapangan Sokawera.
Sekarang aku sudah jadi anak yang rajin.Pak Sisnaini guru
Tarikh sudah tidak pernah lagi memergoki aku pulang sekolah jam sembilan. Tidak seperti dulu. Kalau kebetulan beliau berangkat mengajar, melihat aku minggat dari seko
lah.
Pernah suatu hari aku pulang minggat dari sekolah. Ketika di lapangan Sokawera, tiba tiba Pak Sisnaini muncul dengan baju putihnya. Aku bingung.”Lho...kamu kok pulang sul”, katanya ketika persis berpapasan.” Saya ketinggalan Pak”, jawabku spontan.”Berangkat !,mari kuantar”, Pak Sis menyuruhku supaya berangkat saja. Mungkin yang ada dalam pikirannya aku ketinggalan dan takut dimarahi oleh Pak guru. Akhirnya aku diantar seko
lah oleh Pak Sisnaini sampai di depan kelasku. Beliaupun menjelaskan keterlambatanku kepada Pak Sudiro yang se-dang mengajarkan ‘Ilmu Hayat”.

Al-hamdu lillah aku bertahmid. Usahaku untuk tidak me-ngecewakan orang tua berhasil. Apa yang pernah aku janjikan kepada ayah terbukti. Aku lulus dalam menempuh ujian akhir sekolahku. Bahkan ada salah salah satu bi -dang pelajaran nilainya cukup mencolok . Yaitu Ilmu U-
kur. Walau sebenarnya pelajaran ini aku kurang mengu-asai, sebab aku tidak bakat dalam hal hitung menghitung.
Ayahpun sangat senang,dan merencanakan aku untuk seko
lah menengah atas.
Ketika ayah menawarkan melanjutkan sekolah, aku hanya diam membisu. Bingung. Karena aku tidak ingin mene-ruskan sekolah. Yang aku ingini adalah meneruskan ngaji di Pondok tidak nyambi sekolah.
Kali ini ayah benar benar bijaksana. Tidak memaksaku untuk melanjutkan sekolah. Mungkin karena aku sudah dianggap gede dan barhak untuk menentukan arah hidup-nya sendiri di masa depan.
“Kalau memang kamu keberatan untuk melanjutkan seko
lah Sul......silahkan,Bapak hanya pesan , apabila di kemu
dian hari kamu tidak jadi pegawai negeri seperti saudara saudaramu,kamu jangan menyesal dan menyalahkan Bapak”, kata ayah ketika membaca apa yang ada dalam pikiranku. Akupun mengiyakan dengan anggukan kepala.
Dan hatiku merasa sangat lega.

***

Kegembiraan hatiku sulit diungkapkan dengan kata mau
pun tulisan, ketika aku menerima ‘dawuh’ ikut ngaji ban-dongan kepada Romo Kyai. Dawuh langsung - tidak lewat pengurus podok - dari beliau kepadaku.
Setiap ba’da ashar,setelah suara kenthong mengalun , bersa
ma teman teman aku datang ke Madrosah.Dengan memba
wa dua kitab tebal aku berjalan penuh sopan.Kitab Bajuri dan Tafsir Jalalain.
Kata demi kata beliau menterjemahkan kedua kitab itu. Aku mendengarkannya penuh antusias. Kadang apabila a-da kata yang aku anggap sulit, aku menulisnya di bawah kalimat berbahasa arab yang bersangkutan.
Kadang beliau dalam pembacaan kitab dengan lantunan yg
enak sekali dicerna telinga. Lebih lebih waktu membaca nadzom yang banyak termuat di tengah kitab Bajuri. Sung
guh sangat menyenangkan. Biasanya setelah membaca nadzom itu, semua santri supaya menirukan.Kemudian beliau menyebut nama nadzom itu.Umpama Wafier, atau Basith, atau Rojaz, dan atau nama yang lain. Nama nama nadzom yang beliau sebutkan pasti aku tulis di pinggir na-dzom yang bersangkutan.
Pengajian yang lain dilaksanakan antara jam setengah delapan sampai jam setengah sepuluh pagi.Kadang sampai
jam sebelas,khususnya kalau hari Senin dan Kamis. Kare-na beliau berpuasa dan nampaknya tidak ada kegiatan pe-ngajian luar.
Kitab yang dibaca sebagai wirid adalah ‘Minhajul Qowiem
dan ‘Fathul Mu’ien’. Dua kitab standart para Ulama di Indonesia.
Mulai saat itulah aku merasa jadi santri Kalijaran beneran.
Artinya, sudah tidak seperti tiga tahun yang lalu.
Waktuku banyak aku pergunakan untuk mempelajari berba
gai kitab. Khususnya malam hari , di tengah kesunyian .
Aku memang lebih suka belajar malam hari. Waktu para santri sedang asyik terbuai mimpi dalam tidurnya. Jarang sekali yg melihat aku belajar.Maka ada kesan aku sebagai
santri yang tidak pernah belajar.
Di samping aku banyak mempelajari kitab kitab berbahasa
arab aku banyak membaca buku buku pelajaran sekolah. Dari buku tingkat SMP sampai tingkat perguruan tinggi. Maksudku supaya berwawasan luas, meskipun aku hanya tamatan Tsanawiyah.
Untuk mengetahui perkembangan situasi aku sering men-dengarkan warta berita yang dipancarkan melalui radio. Itulah sebabnya radio kecilku merk “GALINDRA” selalu ada di dalam saku bajuku, dan selalu menemani ke mana aku pergi.

***

Di Pondok Kalijaran inilah aku digembleng dan dibesar
kan. Ibarat sebilah keris, aku sebagai besi baja yang diren-canakan oleh seorang Empu untuk dijadikan sebilah keris ’Nogo - Sosro’.
Ada dua faktor keberhasilan pembuatan sebilah keris yang
ampuh.Keahlian sang Empu dan Kwalitas besi bahannya.
Sepandai apapun sang Empu, akan sulitlah baginya untuk
menciptakan sebilah keris yang ampuh apabila besi yang sebagai bahannya berkwalitas rendah.
Ini cuma gambaranku saja.
Menurut kaum sufism,seorang guru dapat mewusulkan muridnya apabila dua persyaratan dipenuhi. Pertama,guru itu haruslah kamil. Kedua, si murid harus shodiq.
Guruku, Romo Kyai Hisyam Abdul Karim menurut keya-kinanku adalah seorang Guru yang Kamil [30]. Oleh sebab itu aku berusaha sekemampuanku untuk menjadi seorang murid yang shodiq, sehingga tidaklah sia – sia beliau siang malam mendidik aku.
Untuk itu aku ber-riyadloh puasa pati geni [31] pada hari Kamis. Keesokan harinya, hari jum’at, setelah terbit mata hari sedikit demi sedikit aku mulai mengisi perutku kem-bali. Jam sembilan, habis shalat dluha aku duduk tafakur di dekat mimbar yang biasa digunakan chutbah oleh Guru-ku. Ketika itu ada tersirat dalam hatiku aku supaya mem-baca Al-Qur’an pada Surat dan Ayat tertentu [32]. Di situ ada salah satu asma Alloh yang tidak ada dalam asm’ul husna 99, tetapi asma itu sebagai pelengkapnya.
Dengan menyebut asma itu, sesulit ilmu apapun akan dapat dikuasai. Kemudian aku pulang ke kamarku dan mengambil Al-Qur’an.Akupun membaca surat dan ayat yang telah ditentukan.
Dan setiap kali aku menemui kesulitan belajar,aku berdo’a
dengan menyebut asma’ itu berulang ulang.
Dalam bidang makanan,aku berusaha perutku tidak kema
sukan makanan haram dengan sengaja. Karena makanan yang masuk ke dalam perut sangat mempengaruhi pikiran
dan otak seseorang.
Namun untuk menjadi murid shodiq tidaklah cukup hanya dengan cara itu saja. Masih banyak hal yang perlu dilakukan , terutama pembentukan robithoh bathiniyyah antara murid dan guru.
Segala apa yang dikatakan dan dikerjakan oleh guru , mu
rid harus dapat menilainya dengan benar. Jangankan mem
bantah dan melawan,seorang murid tidak dapat menggapai
cita-citanya apabila berkata kepada gurunya: Mengapa Tu
an melakukan seperti itu ?.
Sangatlah berat menjadi murid yang shodiq,aku tidak mam
pu untuk mencapai ke tingkat itu.Mungkin aku hanya sam
pai pada tingkat murid shodiq-shodiqkan.Tetapi aku harus
banyak bersyukur , karena aku sudah punya niat dan usaha
untuk menjadi murid yang shodiq. Paling tidak niat dan usahaku tidak mengecewakan Guruku yang telah meren-canakan aku untuk dijadikan muridnya.
Aku katakan merencanakan didasarkan pada keterangan a
yahku,”sul......Romo Kyai menghendaki kamu supaya tidak pindah-pindah,mungkin beliau berkehendak mendi-
dik kamu secara murni”. Demikian kata ayah. Entah dari mana ayahku tahu Guruku punya rencana seperti itu,dan atau didasarkan apa keterangan ayah itu. Aku tidak tahu.


***

28 September 1972 aku diantar ayah ke Pondok Pesantren
Al-Hikmah Benda Bumiayu untuk tabarukan — istilah temanku Achmad Shoim asal desa Krajan yang mengajak
aku — di sana .
Kurang lebih jam :10.00 aku dan ayah sampai di koplak
bus Bumiayu. Kami mencari kendaraan yang menuju ke Desa Benda Kecamatan Cirampog.”Kalau mau ke sana Pak,naik andong,tidak ada mobil ke sana”, kata salah seo
rang kernet yang sedang duduk di bangku ketika ditanya o
leh ayahku.
Andong di Bumiayu umumnya menggunakan dua ekor ku
da.Berbeda dengan andong yang sering aku lihat di Banyu
mas. Hanya menggunakan seekor kuda.
Sungguh sangat ni’mat naik andong ditarik dua ekor kuda.
Ternyata lebih cepat.
Setelah melewati Talok ,yang kulihat kanan kiri hanyalah
hijau dedaunan pohon padi membentang di hamparan sa
wah nan luas. Padahal sedang musim kemarau. Ini me-nunjukkan daerah subur.
Andong yang kami naiki berhenti persis di depan Pondok
“Rumah Pak Kyai di mana?, tanya ayah kepada salah seo
rang santri yang sedang duduk di depan pondok sambil me
rokok.”Oh di sana “, jawab santri itu sambil menunjuk arah – menurut aku yang bingung – barat laut.
Kemudian santri itu mengantar kami berdua ke rumah Ba
pak Kyai Masruri. Agak jauh dari Pondok.
Kebetulan hari itu Pak Kyai Masruri tidak ada acara luar kota, maka kami tidak harus menunggu.
Dalam perbincangan antara ayah dan Pak Kyai Masruri ada yang sangat menarik.Yaitu rasa keluh kesah Pak Kyai
Masruri terhadap kemunduran remaja di desanya.
“Entah bagaimana pemuda-pemuda sekarang , sudah ma
las menghapal Al-Qur’an”, keluh Kyai Masruri.” Ada be
rapa shi yang hapal Al-Qur’an ?”, tanya ayah.” Cuma a
da enam puluh anak”, jawab Kyai Masruri.
Sungguh aku kaget. Kalau ada enam puluh anak yang hapal Al-Qur’an dalam satu desa dianggap suatu kemunduran oleh Kyai Masruri. Bagaimana kalau beliau melihat pemuda - pemuda di desaku. Jangankan hapal Al-Qur’an 30 Juz , yang hapal Surat At-Takastur saja dapat dihitung dengan jari.
Jam 14:30 WIB setelah memasrahkan aku kepada Kyai Masruri untuk ikut puasa-an di Pondoknya, ayahku pulang.

Kedatanganku di pondok “ Al-Hikmah ” Benda kebetulan sedang berlangsung acara ‘Imtihanan’ yang diadakan se-tiap akhir tahun pelajaran. Berbagai macam perlombaan diadakan.
Ketika aku datang yang belum dilaksanakan perlombaan
panjat pinang. Jadi aku dapat menyaksikan.
Sungguh ramai sekali,boleh dikata seluruh penduduk desa
Benda datang berduyun-duyun untuk ikut meramaikan.
Yang menarik bagiku bukanlah ramainya itu acara,tetapi keikut sertaan para penduduk untuk ikut menyambut acara
yang diadakan oleh Pondok.
Sebab pada umumnya masyarakat tidak pernah peduli ter
hadap pondok pesantren yang berdiri di tengah tengah me
reka.Bahkan kadang cendurung kurang suka - apabila ku rang etis dikatakan memusuhi - terhadap pesantren.
Namun yang aku lihat masyarakat sekitar Pondok Pesan
tren”Al-Hikmah” sangat baik. Aku tertarik.

Awal Romadlon 1392 H , aku mulai ngaji.
Ba’da Shubuh aku ngaji Kitab Jurumiyah dan Tafsir Yasin
kepada Kyai Shodiq di Mushollanya.
Sebentar-sebentar aku senyum selama mengikuti pengajian
nya.Karena dalam membaca kitab, selalu saja diselani de
ngan kata – kata humor.
Pukul 08:00 pagi,aku mengikuti pengajian Tafsir Jalalain yang diasuh langsung oleh Kyai Masruri.
Dengan gaya bacaan khasnya,beliau membaca sampai be
berapa lembar. Biasanya pengajian beliau sampai jam :11.30 WIB.
Setiap kali beliau mengajar selalu membawa Kamus Al-
Munjid dan Idris Al-Marbawi, mungkin untuk membantu
waktu ada keraguan dalam pemaknaan.
Ba’da Ashar aku ikut ngaji kitab ‘Uqudul-Lujain’ kepada
mas Haris yang waktu itu menjabat sebagai lurah Pondok.
Habis pengajiannya aku berjalan-jalan sebentar untuk me
nunggu saat berbuka. Apabila sudah terdengar suara peta
san diangkasa Masjid Jami’ Bumiayu akupun bergegas pulang ke rumah Bapak Asymuni. Warung tempat aku makan. Karena aku tidak masak sendiri.
Ba’da shalat Tarowih aku mengikuti pengajian Kitab Na
shoihul ‘Ibad dan Kitab Nashoihud Diniyyah kepada Kyai
Shodiq sampai jam:22.00.Usai pengajian , ngobrol dengan
teman sebagai penghantar ke peraduan.
Aku pernah ngobrol dengan anak desa,namanya Otong.Ob
rolan sekitar Pesantren.Menurut mas Otong,aku sebaiknya
tidak meninggalkan Romo Kyai Hisyam.”Beliau adalah U
lama sepuh yang banyak barokah “, demikian kata mas Otong.
Tanggal 18 Romadlon 1392 H aku pulang dari Pondok Pe
santren “Al-Hikmah” Benda.

***

Hari itu, Sabtu 11 Nopember 1972 aku datang kembali ke Pondok Kalijaran. Artinya aku mulai aktivitas lagi se-bagai seorang santri, setelah istirahat cukup lama di rumah.
Sebagaimana biasanya,dalam puluhan pertama di bulan Syawal kegiatan Pondok belum sepenuhnya berjalan . Karena anak anak santri belum pada pulang semua.Jarang anak santri yang ber-hari raya di Pondok.Yang boleh dikata mesti berlebaran di Pondok paling paling Pak Yusuf asal desa Dawuhan Kulon dan mas Khoerudin asal desa Ma-ribaya.
Pada umumnya anak-anak santri pulang ke Pondok sekitar
puluhan kedua bulan syawal.
Namun demikian,pengajian Romo Kyai tetap berjalan, wa
laupun diikuti oleh beberapa orang santri.
Memang menurut beliau,tidaklah penting baginya jumlah
santri yang mengikuti pengajiannya. Beliau pernah me -ngatakan padaku bahwa nawaetunya dalam membaca kitab adalah mathla’ah sendiri, baik ada yang men-dengarkan atau tidak. Itulah sebabnya , semangat beliau dalam mengajarkan kitab kepada para santri tak per -nah pudar.
Aku pernah senyum di balik keherananku ketika pengajian
kilatan di bulan Romadlon. Waktu itu beliau membaca Kitab Kasyiefatus Saja , Syarh Safinah. Sekitar jam : 11.00 wib , mungkin karena sudah lelah ngaji, anak-anak santri pada tertidur, termasuk aku.
Ketika aku terbangun , aku benar benar keheranan, sebab beliau masih mengajar dengan gaya dan semangat sebagai
mana biasa. Masya Alloh............., mungkin kalau aku yang
jadi Romo Kyai , semua santri aku hukum, karena tidak menghargai orang mengajar.
Memang jiwa beliau selalu berbalut sabar, barbalut ikhlas.
Salah satu kesabaran beliau yang mengherankan hatiku adalah waktu beliau pulang dari Purbalingga.
Ketika di Bobotsari beliau naik Power.Waktu beliau duduk
kakinya tertindih bangku sebelahnya yang diduduki oleh ti
dak kurang dari lima belas orang. Dapat dibayangkan rasa
sakit kaki beliau. Tetapi beliau diam saja. Tidak mengaduh.
Para penumpang baru sadar bahwa mereka menindih kaki
beliau, ketika beliau turun dari Power.
Beliau turun dari Power dengan kaki bengkak menggelem
bung, dan tidak bisa berjalan sampai beberapa hari.
Untunglah ada temanku bernama Rasydi asal desa Purbasa
ri, di samping tubuhnya besar, dia punya tenaga super po wer.
Maka setiap kali beliau akan ngimami Jama’ah Shalat, dialah yang menggendong beliau.
Dari sifat ikhlas dan sabar beliau, selama aku berkhidmah , biar hanya satu kali aku belum pernah melihat beliau menampakkan wajah kemarahan, apalagi bertutur kata kasar.
Aku banyak belajar akhlak kepadanya,walau aku tidak bisa
ke sana,tapi setidaknya aku masuk dalam katagori “Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum , maka ia termasuk sa
lah satu dari mereka”.

***

Di samping belajar membaca kitab, aku diajari berceramah
oleh guruku Romo Kyai Hisyam secara langsung. Kadang
aku disuruh nderek beliau apabila ada undangan pengajian.
Sebelum beliau berceramah,aku diperintah supaya lebih du
lu berceramah. ” Biarpun hanya seperempat jam ”, demiki
an akhir kata perintah beliau.
Pertama kali berceramah, ketika aku diajak pengajian di dusun Glogak. Jarak antara Kalijaran – Glogak lumayan jauh. Beliau, aku dan temanku Musa berjalan kaki.
Ketika ada diperbukitan dukuh Pengempon beliau tergelin
cir karena menginjak dedaunan yang telah membusuk dan
kebetulan jalannya licin. Untunglah ketika itu tangan beliau dipegangi oleh Musa temanku itu, sehingga tidak terjatuh ke dalam lereng jurang.
Sampai di dukuh Glogak persis waktu maghrib.Usai menja
lankan shalat, ber-istirahat.
Sekitar jam:21:00 WIB acara pengajian dimulai.Waktu sampai acara inti beliau memerintahkan kepada Pembagi waktu supaya memberi waktu kepadaku untuk bercera
mah lebih dulu, walaupun hanya lima belas menit.
Saat aku dipersilahkan untuk naik ke podium, akupun maju. Walau dengan hati bergetar-getar aku berceramah se
bisanya,meskipun bicara tanpa komposisi dan alur yang ti
dak jelas.
Setelah aku turun , Romo Kyai berceramah dengan gaya
khasnya. Sebagai seorang penyair, lantunan syairpun tidak lupa beliau lantunkan di sela ceramahnya.
Jam 00:30 pengajian beliau tutup dengan bacaan do’a . Ke-
mudian pulang.

Ada hal yang menarik bagiku ketika nderek Romo Kyai pengajian di dukuh Glogak ini.
Menurut adat orang Glogak, entahDalang, entah Mubaligh,
apabila pertama kali manggung di dukuh Glogak , maka ia
akan terkenal di kemudian hari.
Oleh sebab itu ada orang Glogak yang berbisik-bisik kepa
ku — setelah aku turun dari podium — bahwa aku dikemu
dian hari akan terkenal . Sebagai jawaban aku hanya se
senyum senyum bersyukur sambil menganggukkan kepala
Karena bisikan orang itu aku anggap sebagai do'a.
Sebenarnya aku tidak mempercayai adat seperti itu, tetapi kenyataan yang terjadi pada tahun berikutnya aku mulai dapat undangan pengajian.
Orang yang pertama kali mengundang aku untuk mengisi
pengajian adalah Bapak Sutiarja Kedungwuluh. Sebelah se
latan desaku. Pengunjungnya sekitar 200 orang . Nampak
nya mereka mendengarkan pengajianku dengan tekun. Bah
kan orang orang tua ada yang aku lihat kepalanya mang
gut-mangut. Cuma aku tidak tahu dibalik kemanggut manggutannya. Adakah karena setuju dengan isi pengajian
ku, atau hanya karena heran aku yang masih bocah kecil be
rani ngomong di depan orang banyak.
Dalam tahun tahun berikutnya aku boleh dikata setiap bu-lan Mulud dan Rojab banyak menerima undangan . Bu-kan hanya di daerah Banyumas saja , tetapi di berbagai dae
rah , seperti Brebes,Cilacap,Banjarnegara , dan sebagainya.
Setiap kali aku berceramah pasti banyak pengunjungnya,
khususnya para remaja.Mereka bukan akan mendengarkan
kemudian mengamalkan mau’idzoh yang aku sampaikan,
tetapi sekedar untuk melihat Kyai Cilik .
Memang ketika aku sedang naik daun masih bocah kecil,
bertubuh pendek,dan berbadan kurus.Supaya kelihatan be
sar , aku sering memakai double celana panjang , itu saja masih dibantu kursi kecil oleh panitia . “ Supaya kelihatan
“ , ujar salah satu Panitia di desa Karangturi Sumbang.

***

Aku kaget keheranan waktu dipanggil oleh Guruku Romo
Kyai Hisyam dan diberikan kepadaku sebuah kitab karya
besar Imam Al-Buny. Kitab Syamsul Ma’arif Al-Kubro.
Yang mengherankan aku , kenapa beliau tahu aku lagi se
nang belajar Ilmu Hikmah.
Enam bulan kurang lebih aku larut dalam pembelajaran Ilmu Hikmah.
Aku belajar dari bermacam macam aliran. Banyak para Kyai ahli Hikamah dan Dukun-dukun Jawa yang aku data
tangi Sampai sampai Eyang Haji Abdulloh sesepuh de-saku mengira aku akan jadi seorang dukun. Anakmu ......
.supaya ngaji kok malah sinahu Ilmu Dukun “, demikian kata Eyang Haji Abdulloh kepada ayahku ketika melihat
banyak orang minta tolong kepadaku.

Jangankan cita-cita,terlintaspun tidak pernah dalam hatiku
untuk menjadi dukun, atau kamitua, dan atau kyai hikmah.
Bagaimanapun juga Ilmu Hikmah dan atau Ilmu Perduku
nan adalah salah satu dari sekian banyak ilmu yang ada di
dunia,maka ia perlu dikaji dan dipelajari , sehingga tidak
terjadi penyalahgunaan,penyelewengan,dan pembohongan
dalam praktek-praktek Ilmu Hikmah.
Teman belajarku dalam bidang Hikmah ini bernama Muhi
mam asal desa Kedungurang . Dia secara khusus pernah be
lajar Hikmah kepada Kyai Bakhrudin Cikarag.
Aku sering diajak pergi malam olehnya . Bahkan aku per
nah diajak tidur di bawah rerimbunan pohon pandan di pinggiran sungai Kuning. Aku yang sedang larut dalam Il
mu Hikmah menurut saja. Tanpa ambil resiko.
Dalam keheningan malam, sayup semayup terdengar sua
ra belalang malam bertasbih mensucikan sang Pencipta, ha
tikupun terbang mengawang bersama sesuatu yang ter
bungkus dalam pencarianku di balik khayalku. Belum sampai ke sana, tiba tiba perjalanan hatiku dihentikan oleh suara gemuruh bebatuan yang diterpa air bah. Akupun se-gera bangkit . Dan pulang.

Banyak pengalaman yang aku dapat selama belajar Ilmu Hikmah,antara lain bagaimana cara datangnya sebilah ke
ris.
Hari Rabu aku diberitahu oleh temanku Muhimam bahwa
malam Jum’at akan datang sebilah keris di Masjid. Aku su
paya puasa di hari Kamis.Akupun melaksanakannya tanpa
banyak tanya.
Malam Jum’at setelah tengah malam , aku disuruh supaya
membaca Surat Yasin tiga kali dengan bersanding secang
kir air putih yang di dalamnya ada sepotong kertas bertulis
kan rajah.
Sungguh — aku berada di antara percaya dan tidak — tiba tiba ada sinar putih kebiru biruan menyilaukan mata berputar putar mengelilingi bagian tembok dalam Masjid.
Setelah empat kali putaran,terdengar suara ledakan di atas
mimbar tempat Guruku berchotbah.Akupun bangkit dari duduk dan berjalan menuju ke arah mimbar. Benar di atas
mimbar ada tergeletak sebilah keris dengan bertuliskan arab “Anta Nurun Fauqo Nurin” di tengahnya.
Sulitlah akalku mencerna kejadian itu,sesulit ketika aku be
lajar Ilmu Sigeg.
Untuk meraih Ilmu Sigeg aku harus mengamalkan baca se
tiap malam syahadat,sholawat,dan Ya Lathief sesudah ber
tawasul dengan cara tertentu.Masing masing 6000 kali dan
siang harinya berpuasa 21 hari hanya berbuka minum kopi
Salah satu tingkatan Ilmu Sigeg dapat untuk mengambil se
suatu dari jarak jauh.
Untuk praktek,mencoba mengambil sebatang rokok Gu-dang Garam dari bungkusnya dengan jarak 2 meter.
Benar , rokok yang masih ada dalam bungkusnya tinggal sembilan batang, dan sedikitpun bungkus itu tidak rusak.

Berbagai-bagai ajian dan guna pengasihanpun banyak aku
pelajari.Baik yang menggunakan bahasa Arab,Jawa,Sunda
dan ataupun bahasa Melayu yang berasal dari Aceh.
Ajian ‘Macan Putih’,,Asma Gunting,dan Lembu Sekilan ju
ga tidak terlepas dari kajianku. Semua aku kaji satu - satu.

Untuk mempelajari Ilmu Hikmah sebagian besar dengan
cara mendatangi Ahli ahli Hikmah dan Dukun Jawa. Tetapi
ada juga yang datang sendiri.
Aku pernah kedatangan seorang tamu ahli hikmah — menurut pengakuannya — dari Surabaya. Namanya Umar
Al-Faruq.
Entah dari mana dia tahu namaku, padahal dia tuna netra.
Sesampainya di Pondok,dia langsung mananyakan aku. Akupun menemui dan mengajaknya ke kamarku . Dia memberi banyak aurod yang diterimanya dari para Ulama .
Usai memberi aurod kepadaku , dia langsung pulang.Maka
tidak begitu banyak perbincanganku dengannya tentang Il
mu Hikmah.

Kitab ‘Syamsul Ma’arif’ yang diberi oleh Guruku Romo
Kyai Hisyam aku banyak mengkajinya. Terutama dalam hal penulisan rajah. Dari hal cara memperbandingkan hu-ruf hayat dan huruf mamat sampai kapan waktu penulisan rajah.
Setelah aku mengkaji ternyata menulis rajah tidak semu
dah menulis novel dan puisi,atau semudah menulis kaligra
fi.Ternyata menulis rajah tidak dapat terlepas dari Matema
tika dan Astronomi.
Sebagai contoh kecil saja,menulis rajah mustallast “BA-THO-DIN”yang terdiri dari 9 kotak. Di sini harus bisa memperhitungkan bagaimana cara supaya dari kotak kotak
itu berjumlah lima belas,baik dihitung dari atas, bawah , ka
nan,kiri,dan dari semua sudut.
Waktu atau sa’atnya menulis juga harus diperhitungkan.Un
tuk memperhitungkannya Penulis rajah dituntut menguasai
Astronomi.
Belum lagi ditambah caranya niat dan bacaan bacaan pem
kanya.Untuk yang terakhir ini tidak aku temukan dari kitab
kitab hikmah,tetapi aku diajari dan diijazahi langsung oleh
Guruku Romo Kyai Hisyam. Dan sejak itu setiap acara ‘Rebo Wekasan’[33], beliau mempercayakan aku untuk menulis rajah “ALLOHU – LATHIEFUN – BI’IBADIH”.

Sangking asyiknya belajar Ilmu Hikmah aku agak berku
rang dalam kegiatan ngaji kepada Romo Kyai . Kalau toh a
ku berangkat ngaji,aku sering sering mengantuk , bahkan ti
dak jarang aku tertidur di tempat pengajian. Hal ini disebab
kan karena aku sering tidak tidur sampai larut malam un
tuk membaca wirid,atau pergi malam mencari wangsit,dan
atau berdiskusi tentang Ilmu Hikmah dengan Muhimam te
manku,khususnya apabila mendapat Ijazahan dari salah se
orang ahli hikmah yang didatangi.
Mungkin karena melihat aku kurang serius dalam mengaji,
maka Guruku Romo Kyai Hisyam memanggil aku , dan be
liau menyarankan aku supaya lebih serius dalam mengaji.
Sejak itu berkuranglah kegiatanku dalam mempelajari Il
mu Hikmah. Bahkan akhirnya berhenti, Aku kembali ber
kosentrasi dalam kajian ilmu lain.

***

Ayahku dikenal orang yang terbaik tulisannya,bukan hanya
di desaku , bahkan se Kecamatan Sokaraja ketika itu.
Sehingga para pegawai Kecamatan sangat hapal tulisan a
yahku.Sampai sampai pernah ada orang memalsukan Surat
Keterangan tertangkap karena memalsukan tulisan dan tan
da tangannya.
Bakat tulis menulis ayah diturunkan melalui edaran darah
kepada anak-anaknya . Oleh sebab itu pembuluh nadiku ju
ga ikut dialiri darah ayah dalam bidang tulis menulis. Ha
nya saja uratku tidak teraliri ‘tulisan jawa’ ayahku . Aku ti
dak bisa nulis aksara jawa dengan baik.Kalau selain aksara
jawa.......insya Alloh.Apalagi tulisan arab,ada nilai plus. Ka
rena darah ayah aku campur dengan style tulisan Guruku
Romo Kyai Hisyam.
Dengan modal tulis menulis — alhamdu lillah — aku da
pat menambah bekal hidup di Pesantren.
Setiap hari , kekosongan waktu aku pergunakan untuk nga
sah-ngasahi kitab teman. Honornya bervariasi , melihat te
bal tipisnya kitab. Umpama kitab Safinah , teman teman
memberi honor kepadaku antara 2000 – 2500 rupiah.
Banyak teman yang mengasah-ngasahkan kitab kepadaku,
terutama yang berkecukupan bekalnya.
Teman yang paling banyak kitab yang diasah-asahi olehku
adalah Ghozali yang nama aslinya dari Desa Baseh Suwar
so.
Di samping itu aku juga banyak menulis ‘Lafadz’ yang isti
lah kerennya Kaligrafi.Biasanya yang membeli orang yang
mengikuti Pengajian Setuan.
Bahkan aku pernah menterjemahkan Sholawat Badar , dan
aku edarkan sampai di desaku . Lumayan juga untuk me
nambah koleksi kitab dan buku.Karena hasil tulis menulis
untuk membeli buku. Sebagian kecil saja yang untuk jajan.
Ketika itu pula aku mengembangkan hobyku. Melukis.
Setelah melukis photo Guruku , aku melukis mBah Ma’
shum Lasem yang ada dalam buku “Manaqib “nya.
Tapi ini hanya sekedar hoby saja.







BAGIAN KEEMPAT


E
“KHOZAINUL MUNA ‘ALA QONATHIRIL MIHAN”.
ntah berapa kali pepatah ini aku dengar , boleh dikata setiap kali Pak Jari memberi wejangan kepa da para santri supaya sabar dalam menuntut ilmu , pepatah ini selalu saja beliau katakan .
Menurut pemahamanku,serendah apapun suatu cita cita , ia tidak akan terlepas dari cobaan , dan berat ringannya coba
an akan selalu berimbang dengan tinggi rendahnya cita cita
Sebagai contoh diriku sendiri,orang yang tidak pernah pu
nya keinginan di depan namanya ada tambahan Al-mu
karrom,atau dikelilingi ribuan orang yang berkepala mang
gut manggut ketika telinga mereka tersentuh kata kataku.
Cita citaku ringan saja. Aku sejak dulu berkeinginan bisa
membaca kitab para Ulama dan bisa mengamalkan isinya
dengan ikhlas. Lain itu tidak pernah ada dalam pikiranku.
Oleh sebab itu apa yang diderita olehku dan dianggap seba
gai cobaan akan selalu berimbang dengan cita citaku.

Entah sebab apa,tiba tiba saja aku tidak betah di Pondok
Kalijaran.Keinginan untuk pindah selalu ada di setiap lang
kah kakiku. Padahal aku tidak punya mas’alah . Jangankan
dengan keluarga Romo Kyai , dengan Pengurus Pondok a
tau teman yang lain, aku tidak punya mas’alah . Hubungan
ku dengan anak anak desa Kalijaran juga masih biasa biasa
saja. Baik yang laki ataupun yang perempuan.
si Siti misalnya,ia tetap masih suka melirik ketika lewat di
sebelah barat Pondok , atau si Ani , ia tetap masih saja se
nyum sambil berlari-lari kecil ketika berpapasan dengan a
ku .
Dalam bidang keuanganpun tidak ada mas’alah. Lebih lebih bulan rajab belum satu bulan lewat.Walaupun duwit tidak banyak,tapi aku masih bisa berucap,“ Kang ke Warung yuk......beli limpung [34] “ kepada kakangku, Ali Munta -hib.Seperti biasanya, diapun merangkul aku pergi ke wa-rung. Yang jelas mas’alah fulus tidak sesulit tempo dulu ketika aku masih bau kencur jadi santri Kalijaran.

Waktu hati ini berselimut dengan rasa tidak betah , datang
lah temanku Syahri asal desa Rancamaya Cilongok.Ketika
itu dia lagi mondok di Kaliwungu Kendal.
Dalam perbincangan dia banyak bercerita keadaan Pondok
Kaliwungu.Mengasyikkan.Biarpun tidak total,rasa tidak be
tahku sedikit terusir.
Namun setelah temanku itu pulang,rasa tidak betah kemba
li menghimpit hatiku.Bahkan semakin berat kurasa . Akhir
nya pada hari Kamis wage 25 Sya’ban 1394 H atau 12 September 1974 M, aku memutuskan pulang, dan tidak kembali lagi ke Pondok Kalijaran.
“ Sing penting kowe nerusaken mondok[35]”, demikian pesan Guruku Romo Kyai Hisyam ketika aku berpamitan.


***
Setelah di rumah aku punya rencana akan menyusul Syah
ri di pondok Kaliwungu Kendal. Dan akan berangkat di bu
lan Syawal mendatang.
Nampaknya kepulanganku di dengar oleh Kyai Nawawi [36]
maka beliau minta agar aku mau mengajar anak-anak yang
beliau asuh ,selama bulan Romadlon. Untuk mengisi keko
songanku di rumah, akupun mengiyakan.
Kitab yang supaya dibaca adalah kitab “At-Targhieb Wat-
Tarhieb”. Kebetulan kitab ini aku belum pernah mengkaji
nya waktu di Pondok,bahkan aku baru pernah mendengar
namanya. Oleh sebab itu aku belum tahu isinya.
Untunglah aku diberi anugrah oleh Alloh SWT bisa mem
baca kitab yang belum pernah ngaji,maka tanpa banyak ala
san aku terima .

Pengajian aku mulai persis pada tanggal 1 Romadlon, sebe
lumnya seperti biasa aku memperkenalkan diri , walau
pun mereka sudah tahu semua siapa diriku.
Dalam perkenalan aku jelaskan bahwa kitab yang akan di
baca, aku belum pernah mengkajinya di Pondok Kalijaran.
Sebagian ada yang percaya begitu saja , tapi yang banyak
senyum senyum simpul tampakkan ketidakpercayaannya,
terutama teman teman MI dulu ,seperti Kartimah dan Musi
nah .Akupun mema’lumi .Mungkin mereka punya angga
pan aku masih seperti empat tahun yang lalu . Padahal aku
sudah robah seratus delapan puluh derajat.Aku sudah tidak
nakal lagi,apalagi kepada teman perempuan yang cēngēng
seperti Musinah.
Pengajian dilaksanakan setiap ba’da ashar dan diikuti tidak
lebih dari 15 anak,itupun sebagian besar anak perempuan
teman ngaji tempo dulu,ketika aku belum berangkat ke Pe
santren.
Disamping kitab Targhieb ,aku tambah dengan kitab Juru
miyah.Aku jelaskan kepada mereka bahwa belajar Ilmu Na
hwu sangatlah penting.
“ Teman teman......”, kataku dengan gaya seorang dosen se
dang memberikan mata kuliahnya.”orang yang belajar membaca kitab tanpa mengetahui ilmu nahwu itu seperti o
rang peluh jima’ dengan seorang gadis”, demikian pen-jelasanku kepada mereka. Semua tertawa lebar.
Melihat mereka tertawa , aku jadi tertawa.Terjadilah dua ta
wa yang sama tapi berbeda.
Mereka tertawa mungkin karena ada terhayal dalam piki
ran mereka bagaimana lucunya ketika seorang impoten ber
sebadan dengan seorang gadis. Tetapi kalau aku tertawa karena khayalan mereka itu. Yang ada dalam pikiranku dari mana mereka bisa menghayal seperti itu. Sedangkan mereka dan aku sama sama gadis dan perjaka yang belum pernah merasakan sulit dan sakitnya ditembus dan menem
bus selaput dara .Yang lebih lucu lagi aku , mengapa aku
membuat perumpamaan seperti itu. Coba kalau salah satu dari mereka ada yang bertanya : setebal apakah selaput
dara itu , kok terlalu liat dan kuat untuk ditembus ?
Lucu.

Pada tanggal 25 Romadlon pengajian aku tutup . Akupun
mohon maaf bila selama mengajar banyak kekeliruan. Dan
aku mohon do’a restu aku akan pergi ke Pondok lagi.Semo
ga kesuksesan menyertaiku selalu.
Sambil saling melempar senyum mereka mengulurkan se
bungkus kado kepadaku.”Terima kasih.....terima kasih....”,
akhir kataku.

***

Rabu Kliwon 23 Oktober 1974 adalah hari pertama aku menghirup udara kota Kaliwungu Kendal.
Dari Pasar Pagi,setelah turun dari bus “ COYO “ , aku dan
Syahri jalan kaki menuju Pondok APIK di dekat Masjid Kauman. Tidak jauh dari Pasar Pagi.
Usai shalat Isya aku diperkenalkan dengan Ustadz Dimyati
Rois lurah pondok Kaliwungu.Aku sebutkan kepada beliau
tentang namaku dan asal daerahku.”Oooh....Banyumas Banyumas.....Sokaraja.....saya punya teman di Sokaraja,na
manya Hidayat”, katanya setelah mengetahui asal daerah
ku.”Yah...saya tahu....sekarang menjadi pengasuh Pondok
Al-Makmur”, kataku spontan tanpa menanyakan Hidayat
yang mana.Padahal mungkin di Sokaraja banyak orang ber
nama Hidayat.Aku hanya memantas-mantas saja kalau yg
dimaksud oleh beliau itu Kyai Hidayat.
Tidak lama perbincanganku dengan Ustadz Dimyati,kira ki
ra dua puluh menit.Kemudian aku pulang ke kamarku , ka
mar No.2 Komplek : A.

Aku mulai mengikuti kegiatan setelah 7 hari , dengan dimu
lai mendaftar ngaji.Aku masuk kelas ‘ Istidad ’. Yaitu satu
tingkatan untuk persiapan masuk Tsanawiyah.
Sebenarnya aku dianjurkan oleh temanku Syahri untuk langsung masuk ‘Aliyah. Tapi aku tidak mau.
Cuman aku punya rencana setelah satu tahun,aku akan me
lompat ke ‘Aliyah tingkat akhir , biar kelihatan keren dan
khowariqul ‘adat.
Di kelas ini pelajarannya untuk nahwu menggunakan Juru
miyyah,fiqihnya kitab Safinah,aqoidnya kitab ‘Aqiedatul ‘Awam,dan untuk Tajwid kitab Tukhfatul Athfal.
Itulah sebabnya,aku punya rencana mau melompat ke ‘Ali
yah,karena kitab kitab yang digunakan di kelas ini,bukan saja pernah mengkajinya,tetapi mengajarkannya ketika aku
di Pondok Kalijaran.
Sore hari lepas shalat ‘ashar aku mengikuti ‘lalaran’ , yaitu
menghapalkan pelajaran yang pernah diajarkan , terutama
yang berbentuk nadzom seperti kitab Tukhfatul Athfal.
Di saat seperti inilah Pondok APIK ramai ,semua santri da
ri tingkat ‘Isti’dad’ sampai ‘Aliyah menghapalkan nadzom
bersama di ruang kelas masing masing dengan iringan te
puk tangan menurut aransemen yang sesuai selera.
Ba’da ‘Isya kegiatannya berdiskusi. Secara bergilir , setiap
santri supaya membaca kitab yang pernah diajarkan dan menerangkan isinya, kemudian diadakan tanya jawab.
Ketika sampai pada giliranku ,akupun tampil ke depan. De
ngan gayaku yang sok,aku membaca kitab safinah dengan
lancar. Keterangannyapun aku ambilkan dari kitab kitab
seperti Bajuri,’Inganatut Tholibin,Kifayatul Akhyar,dan kitab kitab besar yang lain.Demikian halnya ketika tanya ja
wab,aku banyak mengambil leteratur dari kitab yang tidak
diajarkan dalam kelasku.
Kelancaranku membaca kitab dan kelincahanku dalam me
nyampaikan isinya membuat teman kelasku tanda tanya.” Itu anak Purwokerto kayanya sudah pernah mondok ,Bah
kan mungkin sudah menjadi ustadz”, bisik salah seorang te
man kepada yang lain.Aku pura pura tidak mendengar per
bincangan mereka , sambil senyum- senyum aku mem
banggakan Guruku Romo Kyai Hisyam dalam hati.Karena
ilmu yang aku peroleh selama ini adalah fadlol Alloh yang
dilimpahkan melalui karomah beliau.
Dugaan mereka semakin kuat ketika aku berpidato dalam
acara khithobah.
Kebetulan kamar 2 A mendapat giliran . Syahri temanku se
bagai pemimpin membaca Barzanji , temanku Muhaimin a
sal desa Laren Bumiayu menjadi Ketua Panitia , dan aku
sendiri menjadi Penceramahnya,walaupun tadinya aku tidak mau , tapi Syahri memaksaku.
Setelah sambutan dari para Pengurus akupun berceramah Ketika itu aku berceramah menggunakan gaya ceramahnya Kyai Fu’ad Hasyim Cirebon , walaupun suaraku tidak seenak suara beliau.
Tidak seperti biasanya , malam itu para santri mendengar
kan ceramahku dengan tekun penuh tegun , termasuk para
Ustadz. Padahal biasanya mereka ramai .
Usai berceramah aku dikerumuni beberapa teman santri,bu
kan dari anak Komplek A saja, tapi juga dari Komplek B
dan C . Mereka menanyakan aku pindahan dari Pondok
mana. Akhirnya akupun membuka diri kepada teman kelas
ku Nasuha asal dari Demak.

***

Dua bulan sudah aku di Pondok APIK Kaliwungu .Meski
pun aku tergolong santri baru di pondok ini , tapi namaku
mulai dikenal oleh banyak santri.
Kegiatanku yang lain,setiap ba’da Maghrib mengikuti pe
ngajian kitab I’anatut-Tholibin yang dibaca oleh Kyai Hu
maid , tempatnya di serambi Masjid Kauman.
Pesertanya bukan anak Pondok saja,orang kampungpun pa
da ikut,bahkan orang tua sudah sepuh juga ikut layaknya anak anak Pondok,maksudku tidak hanya sekedar ikut mendengarkan,tapi juga ikut nyimak apa yang dibaca oleh
Kyai dan membawa kitab sendiri.
Selama ini aku baru pernah melihat orang sepuh sepuh pa
da ngaji dengan cara menyimak.Pada umumnya kalau org
tua ngajinya cuma mendengarkan saja.
Aku sebagai bocah Pesantren merasa sejuk ketika melihat pemandangan seperti itu.
Lebih lebih apabila pagi hari usai shalat Shubuh , bukan ha
nya kesejukan yang kurasa,tapi ditambah heran.Karena aku melihat pemandangan yang sangat luar biasa , lebih da
ri 700 orang tua mengikuti pengajian Al-Qur’an yang diasuh oleh Kyai Asror.Semua menyimak Al-Qur’an yang
mereka bawa dari rumah masing masing , layaknya anak a
nak Pondok yang sedang mengikuti ngaji bandongan. Kare
na rumah Kyai Asror tidak muat,sebagian dari mereka banyak yang mengikuti di bawah pepohonan,jauh dari loka
si rumah Kyai Asror .Pemandangan seperti ini aku lihat se
tiap pagi.
Subhanalloh.......aku bertasbih.Adakah ini yang menyebab
kan Kaliwungu dinamakan Kota Santri ???

Dalam separoh pertama bulan ketiga , lagi lagi jiwaku me
ngalami kegoncangan . Tiba tiba saja aku merasa tidak be
tah . Hati ini ingin kembali ke Kalijaran.
Kerinduanku sering membawaku terbang ke Pondok Kali
jaran.Wajah Guruku Romo Kyai Hisyam selalu saja hadir
dalam setiap mimpiku.Satu persatu keluarganya nampak
di balik bayang bayang malam . Demikian halnya teman te
manku di Kalijaran, khususnya kakangku Ali Muntahib. Aku merasa salah,karena dia datang ke Kalijaran ingin belajar kepadaku sebagaimana ketika ditanya ayah, “ Apa kamu tidak malu dengan adikmu Syamsul ? ”, dan diapun menjawab dengan tegas, “Justru saya kepengin ngaji kepada Syamsul”.
Untuk melepas kerinduan ini aku melayangkan surat kepa
da kakangku Ali Muntahib. Satu persatu aku tanyakan kabarnya. Siapa tahu kabar mereka dapat menenangkan jiwaku.
Tampaknya usahaku tidak berhasil,maka aku banyak meng
hibur diri di Maqom Syaikh Abu Bakar Syatho Shohib I’anatut Tholibien dan Waliyyulloh Syaikh ‘Asy’ari di pekuburan Gunung Jabal
Hampir setiap pagi aku pergi ziarah ke sana , bahkan ka
dang kadang aku berziarah ke maqom Sunan Katong . Ta
pi semua itu tidak dapat mengusir kegoncangan jiwaku.
Di sinilah yang membingungkan aku , di Kalijaran kepe
ngin pindah Pondok , sudah pindah kepengin kembali ke
Kalijaran.
Di balik remang malam , aku biarkan air mata rindu mene
tes satu persatu. Aku biarkan hati ini menghadap kepada Sang Kholiq untuk mengadu. Dan ......aku biarkan kedua bi
birku berbisik lirih .....................
Rabbku................
Apabila tidak ada ghodlobMu
Aku mengadu
Ya Rabbku.............
Aku yakin dan tahu
Jiwaku ada di ujung jemariMu
Apabila tidak ada ghodobMu
Aku bertanya kepadaMu.......yaRabbku
Mengapa selalu
ada goncangan dalam jiwaku
Sebenarnya akan dikemanakan aku....
Ya Rabbku............
Maafkan kelancanganku
Rabbku................
maafkan.............
kelancanganku............
Rabbku.................
Ya Rabbku.......................................

Bercampurlah dalam hatiku dua rasa yang saling bertenta
ngan.Rasa ingin dan malu pulang ke Kalijaran tempat aku
dibesarkan.
Nampaknya percampuran dua rasa ini mempengaruhi kon
disi kesehatanku. Nafsu makanpun berkurang.Tapi aku tetap memaksakan diri untuk makan , walau tidak ada gai
rah.
Ketika aku dalam kelelapan tidur , tiba tiba aku dibangun
kan oleh hawa panas yang menempel di sekujur tubuh.Aku
merintih....,merintih dan mengaduh.
Semalaman aku dipijat pijat oleh teman sekamarku .Syahri
dan Muhaimin.
Keesokan harinya , sungguh di luar dugaanku , ibu jari ta
tanganku nampak membesar , dan sangat cepat perkemba
ngannya . Pada hari itu juga ibu jari tanganku besarnya su
dah separuh lengan bayi.
Aku diantar Syahri untuk berobat ke Dokter Abu Bakar.Ka
tanya aku tidak apa apa,penyakitku tidak serius.Legalah ha
tiku. Semua obat yang ia berikan aku makan.
Namun setelah tiga hari ternyata penyakitku tak kunjung
pergi,bahkan rasanya menambah . Maka kekhawatiranpun
timbul. Akhirnya aku minta diantar pulang kepada Syahri.
Lepas shalat Isya aku pulang ke Sokaraja diantar Syahri. A
ku dalam bus tidak bisa menikmati indahnya perkotaan se
panjang jalan.Yang kurasa hanyalah rasa sakit ibu jariku.Se
panjang jalan aku merintih dan merintih kesakitan.
Jam:02.00 pagi itu aku sampai di terminal bus Purwokerto.
Untuk pulang ke rumah aku harus menunggu bus jurusan
Wonosobo.
Jam : 04.15 baru ada jurusan Wonosobo,kami berdua mena
ikinya.Mungkin karena semalaman tidak tidur , dalam bus
kami mengantuk , tahu tahu kami sudah di Jompo Wetan ,
maka kami minta diturunkan . Untuk ke Sokaraja harus me
nunggu bus jurusan Purwokerto. Dalam penantian , air ma
ta bening pelan pelan membasah di pipi . Nelangsa.
Jam : 05.00 pagi aku baru sampai di rumah.

***

Sudah setengah bulan aku berobat , namun tanda tanda ke
sembuhan belum nampak , bahkan cenderung tambah sakit
Aku dirawat oleh Pak Irsyad Banjaranyar , mantri Rumah
Sakit Sendeng Purwokerto.
Untuk mengeluarkan darah kotor , ibu jariku dibedah oleh
Pak Irsyad dengan silet.Tanpa dibius lokal. Darah kotorpun
mengalir dan....terus mengalir.
Supaya tidak kembali bengkak , dimasukkanlah ke dalam
luka goresan silet potongan kain perban.
Betapa sakit ketika itu . Senda sendu aku menangis . Entah
berapa tetes air mataku jatuh ke tanah . Aku tidak mampu
untuk membendungnya , walau pipi ini sudah basah tetap mengalir dan terus mengalir ...........
Rabbku........rabbku......mengapa aku begini,rabbku......Hati
ku terus menjerit dengan kencangnya.Menjerit bersama da
rah yang mengalir melalui kain perban ibu jariku.
Entah berapa kali aku harus menangis.Ketika perban harus
diganti , ketika itu pula aku harus menangis.Menangis kesakitan.
Dua minggu sudah aku dirawat oleh Pak Irsyad,tapi kesembuhan tak kunjung datang . Akhirnya oleh ayah aku
dibawa ke rumah Dokter Sahudji Sokaraja.
Dokter Sahudji menyuruh aku supaya memperlihatkan ke
dua ibu jariku.Dengan menggeleng gelengkan kepala , dia
menyuruh ayahku supaya membawa aku ke Rumah Sakit Sendeng Purwokerto.” Ini harus segera dibawa ke Sen
deng “, katanya.
Keesokan harinya aku bersama ayah pergi ke rumah sakit
Sendeng Purwokerto.
Menurut hasil pemeriksaan dokter Ibnu Ibrahim,ibu jariku harus dipotong.Karena tulangnya sudah rapuh dan tidak bi
sa lagi diobati.
Serasa denyut jantungku berhenti ketika aku mendengar keterangan dokter Ibnu yang seperti itu.Hatiku menangis tiada henti, “ Rabbku......oh Rabbku...........aku tidak mohon
diringankan cobaan ini ,tetapi aku hanya mohon paduka
berkenan memberi kekuatan pada jiwaku yang lemah ini....
Rabbku jiwa dan ragaku aku pasrahkan kepadaMu , hidup
dan matiku ada dalam genggaman tanganMu yang perka
sa,Rabbku maafkan atas segala kelancanganku” .
Demikian aku memanggil nama Rabbku seiring dengan
nafas nafasku.
Akhirnya akupun hanya berpasrah diri dan siap untuk dipo
tong ibu jari tangan kananku.
Keesokan harinya aku pergi ke Kalijaran untuk mohon idzin dan do’a restu, mudah mudahan dalam pelaksanaan operasi tidak ada halangan melintang.
Guruku Romo Kyai Hisyam tidak memberi idzin tanganku
dioperasi, beliau menyarankan supaya diobati sendiri dan a ku supaya kembali lagi ke Kalijaran.
Tanpa banyak pikir dan perhitungan , aku yang memang kepengin pulang ke Kalijaran tapi malu , langsung saja mengiyakan.
Pucuk dicinta ulam tiba.

***

Kini aku sudah di Kalijaran . Segala kerinduanku kepada Guruku Romo Kyai Hisyam dan keluarganya telah terobati
Gemercik aliran sungai Kuning kini dapat aku nikmati.Dan
kesejukan udara di bawah pohon bambu ampēl tempat dulu aku mengambil batu cincin merah saga , kini dapat ku
hirup kembali.
Akupun kini dapat memandang kembali ‘Jembatan’ sungai Kuning, tempat dulu aku menghapalkan kitab Al-fiah.
Kehangatan nasi liwet dan sambal grēnjēng [37] sekarang aku dapat merasakan kembali.
Serasa goresan kenangan di Pondok Kalijaran bangkitkan
kembali asaku yang hampir layu di balik keputus asaan.Wa
lau setiap hembusan nafasku selalu saja bersamaan rasa sa
kit yang bersarang di tulang ibu jariku.
Aku berusaha dan berusaha untuk tidak lagi meneteskan air mata , walau kadang ia memaksa menerobos melalui sudut mataku.

Aku diobati Madu dan Jinten ireng. Karena — menurut Guruku — keduanya dapat untuk obat segala penyakit , ke
cuali mati.
Entah berapa geligen madu yang aku minum , dan entah be
rapa kilo Jinten ireng yang aku buat bubuk untuk diminum layaknya minum kopi. Tapi kesembuhan selalu saja hanya ada di dalam penantian.

Walau demikian aktivitasku tidak pernah terganggu , meski
pun rasa sakit aku tetap saja berangkat ngaji . Bahkan aku
merasa lebih rajin,karena oleh Guruku aku supaya mengi
kuti pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin karya besar Hujjatul
Islam Imam Al-Ghozali.
Hatiku terhibur ketika mendengarkan kitab itu dibaca ,kare
na kata kata Imam Al-Ghozali itu sangat beralasan, dan mampu membawa pikiranku terbang melayang layang di a
rena filosofis yang amat luas.Serasa hilang rasa sakit yang
selama ini aku rasakan.
Dalam rangka mengusir kerisauan , aku banyak melantun
kan nadzom Al-fiah dalam setiap kesendirianku.Terbayang
lah ketika aku belum sakit , ketika aku belum ke Kaliwu
ngu,duduk sendiri di bawah Jembatan sungai Kuning sam
bil menghapalkan setiap bait nadzom Al-fiah.
Bait bait sya’ir yang ada dalam Syarh Ibnu ‘Aqil pun ikut
berperan dalam mengusir kesedihanku.Terutama kata kata
Penyair kuna yang bernama Umruul Qoes.
Kesejukan hati sangat kurasa,ketika mulutku bersenandung
lirih dalam kesendirian:
Aku melintasi rumah Layla
Aku menghadap ke tembok sana.........
Dan..........
ke tembok sana.
Bukanlah menyinta rumah itu......
Yang menenggelamkan hatiku
Tapi.......
Yang menenggelamkan hati
Rasa cinta orang yang menghuni
rumah ini

Tidak terasa,aku sudah delapan bulan tidak pernah menga
yun tangan waktu berjalan. Karena sakit.
Selama itu ada dua peristiwa sedih yang sempat tercatat da
lam lembaran hidupku.

Pertama , ketika aku baru pulang dari rumah . Mungkin a-kibat makan dengan sayur daun ‘so’ ibu jariku membeng-kak. Sebetulnya sudah aku rasakan sejak di rumah , bahkan ketika itu aku dicegah supaya jangan pulang dulu ke Kali-jaran.
Tapi aku nekad, dengan memaksa aku pulang ke Kalijaran.
Di kamar , aku merintih dan mengaduh, walau sebenarnya
aku sudah usaha untuk bertahan tidak menangis , tapi nam
paknya aku sudah tidak kuat lagi. Sakit sekali.
Antara sadar dan tidak, aku biarkan mulutku melantunkan
senandung bait bait kitab Sulam Munawaroq. Kakangku A
li Muntahib hanya bingung melihat aku seolah sudah hi
lang ingatan.
Lebih bingung lagi ketika aku minta diantar ke WC. Aku
dipapah olehnya,waktu di depan mesjid serasa ada seekor
ular menghadang di depanku.”Ular...ular”, kataku menje
rit sambil melangkah mundur selangkah.” Mana ada ular
sul........tidak ada apa apa koh”, kata kakangku.
Akhirnya , dengan air mata melinang kakangku berkata li
rih persis di dekat daun telingaku, “ Syamsul adik-ku..sabar...sabar..tabahkan hatimu dalam menghadapi co-baan ini”.

Kedua , ketika aku mengamalkan wirid yang diijazahi oleh
Bapak Ridwan , teman ayah.
Aku mengamalkannya sesuai dengan persyaratan yang di
berikan. Yaitu harus di depan pintu,dan dibaca sampai terti
dur.
Kurang lebih jam dua pagi , serasa ada hewan yang men
cengkram ibu jariku yang sakit.Kencang sekali. Sakit seka
li.Sehingga aku terbangun dari tidurku dan aku menyentuh
sesuatu yang basah.Ternyata darah segar yang keluar dari luka ibu jariku. Akupun tertegun bingung.

***

Sebenarnya kebiasaanku merokok bukan bawaanku dari ru
mah. Artinya aku merokok sejak beberapa tahun hidup di Pesantren.Sebab pergaulan . Karenanya faidah merokok bagiku hanyalah untuk sekedar mempermudah pergaulan.

Suatu hari aku mau merokok, tetapi di kamarku tidak ada
korek,maka pergilah aku ke kamar sebelah.
“ Maaf mas.....ada korek”, kataku.”Ada...”, jawab anak yg
lagi duduk menyendiri.
Akupun langsung menyulut sebatang rokok,dan berucap te
rima kasih sambil melangkahkan kaki keluar , tiba tiba dia
menarik ujung sarungku sambil berkata,“duduk dulu Pak”.
Kemudian aku duduk di depannya.
+ : Ada apa mas ?
- : Nggak ada apa apa.
+ : Namamu siapa ?
- : Imam Shodiq.
+ : Dari mana ?
- : Talar Pucung . Bukateja
+ : Terus maumu apa suruh aku duduk
- : Sungguh nggak ada apa apa. Cuma sekedar
kepengin ngobrol dengan Pak Syamsul.
+ : Ooh....silahkan.
- : Sejak kecil aku sudah mendengar nama Pak
Syamsul. Sudah lama aku ingin bertemu.Te
tapi ketika aku datang ke sini,Bapak sudah
tidak di sini.
+ : Nah....sekarang sudah ketemu. Mau apa ?
- : Aku kepengin ngaji sama Bapak. Kepengin ja
di murid Bapak.
+ : Lhooo...ya gampang. Kalau aku lagi mulang
sorogan datang saja , seperti teman teman.
- : Bukan itu yang kumaksud .
+ : Maksudmu ?
- : Aku kepengin ngaji khusus.
+ : Ngaji khusus yang bagaimana ?.
Begini sebaiknya jadi orang tidak usah macam-
macam .
Kemudian aku bangkit dari duduk dan keluar sambil mikir
mikir anak itu.
Nampaknya dia tahu banyak di balik potretku yang selama
ini selalu aku tutup tutupi dengan tingkah lakuku yang bia
sa - biasa saja.

Sejak itu aku mulai berhubungan dengan mas Imam Sho
diq. Semakin hari semakin erat. Karena kalau bukan dia yang datang ke kamarku , ya aku yang mendatangi kamar
nya.
Dalam setiap perbincangan dia sering sering mengatakan ingin ngaji sendirian secara khusus. Akupun selalu menja
wabnya ‘jadi orang tidak usah macam macam’.
Namun pada akhirnya ketika mendesak, aku memberi pengertian bahwa ngaji secara khususiyah adalah terlalu be
rat, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Sebab satu
kali menyanggah , gagalah ia.” Apa kamu kuat mam “, ka
taku tanpa menggunakan kata “mas”. Diapun mengiyakan
dengan anggukan kepala.
Setiap jam dua pagi,dia aku bangunkan dan supaya masuk
ke dalam kolah untuk mandi,sedingin apapun harus mau ,ti
dak boleh membantah.
Dengan tubuh menggigil,pelan pelan dia masuk ke dalam kolah.Aku menunggunya sambil membaca doa doa yang perlu dibaca.
Habis mandi supaya melakukan shalat,dan acara yang ter-a
khir dia aku ajari membaca kitab.

Keakrabanku dengan mas Imam Shodiq lambat laun ber
kembang menjadi hubungan ‘kekeluargaan’. Bukan hanya
sekedar teman mondok.
Aku sering diajak ke rumahnya apabila dia pulang. Bahkan
aku pernah satu minggu di sana. . Ketika itu bulan Roma
madlon.
Bapaknya , Kyai Abu Ja’far Pengasuh Pesantren Talarpu
cung aku anggap seolah seperti ayahku sendiri. Demikian sebaliknya.
Maka ketika aku mengadukan tentang penyakitku , beliau
pun memberi obat kepadaku,aku supaya minum segelas air
bening , dan lukaku supaya diusap dengan garam , kedua
nya sudah dibacakan mantra.

Ada dari sisi kehidupan Kyai Abu Ja’far yang aku pelajari
Yaitu kesederhanaanya.Rumahnya berpagar anyaman bam
bu , dan yang sebagai ventilasi bagian depan jeriji yang ju
ga terbuat dari bambu.
Kesederhanaan beliau sangat menarik hatiku .Demikian pu
la lingkungannya yang sangat sejuk.. Lebih lebih di sekitar
maqom mBah Sirin yang ada di sebelah Mihrab.

Semuanya membangkitkan “ keinginanku ” untuk mukim
di Talar Pucung di kemudian hari. Untuk merealisasikan keinginan itu,aku tambatkan seutas benang sutra kasih pada putri ketiganya Kyai Abu Ja’far bernama Maysaroh, yang ketika itu baru duduk di Kelas 5 Sekolah Dasar.
Aku banyak berpengharapan ketika ia sudah dewasa punya
sudut pandang sama dalam mendayung bahtera “ keseder
hanaan hidup”di atas ombak samudra kehidupan yang pe-nuh karang melintang.
Keinginan itu itu aku sampaikan kepada ayahku,dan juga kepada Kyai Abu Ja’far , semuanya menyetujui.
Anta turied,Wa ana uried,Wallohu yaf’alu maa yuried.Aku
pasrahkan segalanya kepada Rabbku.

***

Hari Rabu pahing — kebetulan hari kelahiranku — tanggal 15 Oktober 1975 adalah hari bersejarah bagiku.Ka
rena pada hari itu Robbku memberi anugrah ‘kesembuhan’
kepadaku dengan diawali keluarnya sepotong tulang rapuh
dari ibu jariku.
Tiada henti henti mulutku bertahmid sebagai ungkapan ra
sa syukur kepada Rabbku yang menguasai jagad raya ini.

Kemudian kesembuhan ini aku kabarkan kepada Ayah dan
simBokku di rumah.
Amatlah sulit digambarkan kegembiraan kedua orang tua
ku ketika mendengar anaknya sudah dilepaskan dari kuru
ngan cobaan selama tidak kurang dari sembilan bulan.
Kegembiraan itu mereka ungkapkan dengan tidur semalam
di rumah guruku Romo Kyai Hisyam.











BAGIAN KELIMA

P

ertengahan Juli 1976 ayahku datang bersama para sesepuh desaku , Eyang Haji Abdulloh , Eyang Bau As-mareja, dan Wa’Marhudi , untuk menemui Guruku.
Aku sebagai bocah tidak berani menanyakan tujuan mere
ka datang. Meskipun kepada ayahku sendiri, aku tidak berani.Aku khawatir kalau kedatangan mereka membawa permasalahan yang tidak boleh diketahui oleh bocah se-perti aku.
Sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku kedatangan me
reka menemui Guruku itu dalam rangka perencanaan mem
ngun Pesantren di desaku.
Aku baru mengetahui ketika aku dipanggil oleh Guruku dan diperintah supaya lebih rajin karena aku supaya me
ngasuh Pesantren.

Sebenarnya aku senang bila di desaku berdiri Pondok Pe-santren, hanya saja Pengasuhnya jangan aku.
Mas’alahnya aku masih compang camping dalam keilmu
an. Menurut aku seorang Pengasuh Pesantren hendaklah luas ilmunya seperti Guruku.
Apalah jadinya andaikata orang seperti aku menjadi Pe-ngasuh Pesantren, pastilah dunia Pesantren akan menga-lami kemunduran, sebab pengasuhnya tidak mampu me-ladéni berbagai ilmu kepada para santri. Dan apabila santriku – andaikata – mendirikan Pesantren,padahal ilmunya sedikit, tentu saja akan kurang mutunya. Apabila hal ini terjadi turun temurun,maka dikemudian hari hi-langlah kwalitas Pondok Pesantren.Akibatnya masyarakat menjauh dari pendidikan Pesantren, karena Pondok Pe-santren dianggap tempat mendidik anak malas.
Di samping itu Pengasuh Pesantren – menurut pemikiran
ku – hendaknya sudah tertata ekonominya . Sebab mendiri
kan Pesantren adalah sebuah tanggung jawab.
Dapat dibayangkan andaikata aku jadi Pengasuh Pesantren
sedangkan dalam bidang ekonomi aku belum mapan , ma
ka mau tidak mau pengajian akan sering aku tinggalkan, karena cari nafkah. Lantas di mana tanggung jawabku sebagai Pengasuh Pesantren ?, kalau para santri jauh jauh datang ke Pondok umtuk belajar Ilmu Agama , nyatanya sering tidak ngaji karena sering ditinggal pergi.Lain lagi mas’alahnya apabila ada yang menanggung segala ke-butuhanku sekeluarga , atau memperbudak kepada santri , dalam arti santri supaya bekerja demi kepentingan kebu-tuhanku.
Lebih jauh lagi – sekali lagi ini hanya menurut pikiranku-
sudah repot repot membangun Pesantren tidak ada yang mau mondok, di samping ‘ngubah-ngubah biaya’ juga ‘memalukan’. Pemikiranku yang terakhir inilah yang secara terang terangan aku sampaikan kepada Guruku ke-tika aku dipanggil.
“Sul...sing penting bocah desane dewek , nimbang kowe
urip nang kana kana , banjur bali maring desane dewek,
kan lewih isin”[38], demikian nasihat Guruku ketika mem-baca sikapku yang kurang setuju untuk mengasuh Pe -santren di desaku.
Akupun "sami'naa wa atho'naa" menerima nasihat itu,wa
laupun aku meragukan kemampuanku sendiri untuk me
ngasuh Pesantren.
Aku yakin , semua pemikiran Guruku adalah yang terbaik
bagiku di masa mendatang.

***

" Syabbanu al-yauma Rojulun ghodan " adalah pepatah yg
sering disampaikan oleh generasi tua kepada generasi muda. Maksudnya sebagai generasi muda hendaklah mempersiapkan diri sebagai generasi penerus.
Nampaknya Guruku mempersiapkan diriku sebagai gene-rasi penerus dalam menegemban ilmu Pesantren.
Oleh sebab itu , setelah ada rencana pembangunan Pesantren di desaku,beliau tumpahkan berbagai bagai ilmu yang biasa diajarkan di Pesantren.Semisal Ilmu 'Arudl, Manthiq, Balaghoh,Ilmu Falak dan lain lain.Sehingga belum genap delapan tahun di Pesantren,aku sudah ngaji "Syarh 'Uqudu Al-Jumẫn" karya besar Imam Suyuthi,yang mana – menurut kata orang – kitab tersebut diperuntukkan bagi santri yang sudah ngoyod [39] di Pesantren , itupun a -pabila sudah ngaji kitab " Syarh Al-jauharu Al-Maknữn".

Sejak aku ngaji"Syarh 'Uqudu Al-Jumận", darah seni yangdialirkan oleh ayah dalam urat nadiku semakin deras aliran
nya.Artinya bakat 'seni sastra' ku menguat. Aku mulai se-nang menggubah suatu kejadian dalam rentetan puisi yang aku himpun dalam buku Antologi Puisi. Bahkan aku sem-pat menulis cerita fiksi dalam sebuah novel " Liku Liku Dalam Cinta ".

Demikian juga dalam bidang sya'ir,akupun juga mulai me nyenangi.
Dalam bidang sya'ir,aku mengikuti jejak Guruku, yaitu menerjemah kitab kitab yang berbentuk nadzom .Aku terjemahkan kitab itu sesuai dengan baharnya.
Kitab yang pernah aku terjemah – ketika aku masih di Kalijaran – adalah " Dalielul Khoid " dari bahar rojaz , dan nadzom "Sholawat mudloriyyah" dari bahar basith.

Dalam bidang Ilmu Falak Aku juga diperdalamkan pengetahuannya oleh Guruku. Sekitar pertengahan Ok-tober 1977 aku mulai diajari Ilmu Hisab, ya'ni bidang Ilmu Falak yang pengkajiannya setelah Ilmu Mieqot. Aku belajar Kitab Tsalastu Rosail , salah satu kitab yang berkaitan dengan Ilmu Hisab,hanya perlu waktu lima belas hari.Empat puluh hari kemudian,aku sudah bisa menyodorkan "Kalender Tahun 1978" kepada Guruku.
Dalam Kalender yang aku buat , aku jelaskan hasil perhitungan hisab dengan gamblang,tidak lupa juga aku cantumkan Jadwal Shalat setiap bulannya.
Kecerahan dan Kebanggaan nampak jelas tersirat di wajah Guruku ketika mengoreksi kalender yang aku buat.
" Sul......siki wis langka banget wong ahli hisab , mulane
mbuh kepriwe carane kowe kudu bisa"[40], demikian pesan Guruku.
Diserahkanlah kepadaku setumpuk kitab Falak yang beliau
tulis selama di Pesantren Jampes Kediri. Aku supaya me-nyalin semuanya.
Sejak pukul 06:00 pagi sampai pukul 00:00 di setiap hari nya aku menulis kitab kitab itu.Tiada henti , kecuali waktu
makan dan mandi. Inipun aku masih dibantu oleh ayahku ,
khususnya kitab yang kecil kecil , seperti kitab ' Wasi-latutThulab ' dan ' Qola Aqul '.Adapun kitab yang besar semisal Data Astronomi "Matahla' As-sa'ied" aku tulis sendiri.
Sejak itu aku sudah diperbolehkan Autodidac dalam bidang Astronomi. Aku sering sering diberi kitab Falak dan supaya dipelajari sendiri , antara lain kitab "Al-Khulashoh Al-Fafiah " karya besar Kyai Zubair Salatiga, dan kitab " Al-Kurrotu Al-Ardliyah " , kitab khusus cara menggunakan Globe.
Dan aku sejak itu sudah dipercaya oleh Guruku untuk menghisab awal bulan Ramadlan.

Dalam bidang Tafsir aku supaya mempelajari Tafsir Al-Ma
roghi , sebuah Kitab Tafsir yang menggabungkan antara pendapat Mufassir Mutaqoddimien dan Muta'akhirin.
Kitab ini dibelikan langsung oleh Guruku,karena waktu itu amatlah berat bagi ayahku untuk membeli kitab seharga Rp 50.000 ,-. Namun di kemudian hari , setelah ada riz-ki, ayah mengembalikan kepada beliau, walaupun sebe-narrnya beliau tidak mengharapkan untuk dikembali-kan.Karena menurut ayah, dirasa tidak enak, anaknya se-tiap hari diajari tiada henti, malah kitabnya Guru yang membeli.


***

Nampaknya rencana membangun Pesantren di desaku di-persiapkan sedemikian rupa.
Setelah aku dibekali berbagai-bagai ilmu oleh Guruku, aku juga dibekali hikmah bathiniyyah.
Aku dipanggil oleh Guruku supaya datang menghadap beliau,dalam kamar Kantor yang terkunci aku diberi Ijazah Hizb An-Nawawi , kata perkata beliau membacanya dan aku supaya menirukan,seperti anak yang sedang belajar ta haji. Sungguh keherananku ada di balik kekagumanku , karena selama ini apabila aku menerima ijazahan cukup supaya ditulis dan nanti dipelajari sendiri dan diamalkan, tidak dituntun sekata sekata.

Di sisi lain – ini menurut pikiranku saja- ayah mem perlihatkan kepada halayak tentang kemampuanku mem baca kitab. Aku setiap hari Ahad Pon supaya pulang untuk mulang ngaji di Masjid. Pengajian ala Pesantren, yaitu membaca kitab salafi dengan dialek dan gaya Pesantren.
Kitab yang aku baca waktu itu tidak tanggung tanggung, Ihya' Ulumaddin dan Tafsir Al-Jalalain.
Dengan diadakannya pengajian seperti itu,masyarakat, khu susnya Tokoh Agama,meyakini bahwa dalam diriku ada kemampuan untuk mengasuh Pesantren.
Akhirnya tahun 1978 seluruh warga desaku ber-hulupis-kuntul baris memulai pasang pondasi di depan Masjid Jami At-taqwa,Masjid terbesar di desaku.


































BAGIAN KEENAM
H


ari Ahad legi tanggal 15 Juli 1979, dadaku bak di-tindih batu,karena aku tidak diperbolehkan lagi pulang ke Pon-dok Kalijaran. " Sul.......kalau kamu ingin tetap diakui anak Bapak,maka jangan lagi kembali ke Pondok,untuk apa ngaji tinggitinggi kalau tidak diamalkan ,ngaji Safinah cukuplah sudah,asalkan diamalkan ", kata ayah ketika memperhentikan aku pu-lang ke Pondok.
Bingunglah hati ini,aku berpikir dan berpikir di mana kesa
lahanku khususnya kepada ayah, sehingga dengan spontan
beliau memperhentikan aku pulang ke Pondok.
Sekata demi sekata dalam bertutur, aku teliti, demikian ju-ga dalam segala gerak dan tingkah, aku ingat ingat semu-nya,satupun tidak ada kesalahan yang dapat aku temukan.
Sampai mas'alah rencana aku supaya mengasuh Pesantren-pun aku teliti.
Seingatku aku tidak pernah menolak.Apa yang pernah aku sampaikan kepada Guruku hanyalah satu pemikiran,bukan penolakan. Dan kalau aku menunda beberapa tahun lagi di Pesantren, itupun bertujuan baik, maksudku supaya aku le bih bisa berpikir dewasa dan tambah ke'alimannya, sehing-ga tidak mengecewakan hati Ayah dan Guruku .
Mas'alah kemantapanku akan mukim di Talarpucung itu-pun bukan penolakan,karena semantap apapun aku punya keinginan,tidak akan aku lakukan kalau mengecewakan hati kedua orang tuaku yang selalu aku ta'dzimi, Guruku sebagai orang tua rohani dan Ayahku sebagai orang tua jismani.
Ahirnya aku mengubur dalam dalam segala keinginanku, segala cita citaku, dan segala harapan hidup lama di Pesan-tren.
Ba'da shalat Dzuhur aku pulang lagi ke Pondok untuk ber-pamitan.Aku biarkan air mataku menetes satu satu mem-basahi jalan yang aku lewati. Gema suara bathinku memanggil nama Robbku aku biarkan menggulung dibawa awan putih untuk disampaikan kepadaNya.
Sampai di Pondok aku hanya diam.


***

Hari Senin pahing 16 Juli 1979 Jam:09:00 pagi ,aku sowan Guruku di madrasah. Kebetulan beliau sedang tidak ada acara luar.
Dengan penuh hormat dan ta'dzim,aku sampaikan kepada beliau bahwa ayahku menghendaki aku supaya pulang. Beliau hanya diam.
Kemudian beliau memberikan berbagai bagai pesan,antara lain kitab yang dibawa pulang adalah kitab - kitab mausu'at.
Lainnya , supaya dibawa pulang di kemudian hari. Pesan beliau satu satu aku tata rapi di relung hati dan akan aku ja-dikan sebagai bekal hidup mendatang.
Dipesankan pula kepadaku , jika suatu saat ada kesempa-tan aku supaya ziarah ke makam Syéch Ichsan Jampes Ke-diri.
Dan........ dengan puspa netra bening melinang-linang , Gu ruku sampaikan sabda pamungkas :
" Sul......kowé muridku , nanging angger kowé duwé pene mu kang lewih kuat lan apik , tinggalna penemuku[41]"
Sangat sulit aku gambarkan ketika mendengar sabda pamungkas beliau. Karena rasa haru , bangga , dan syukur bercampur , sulit bagiku , dari perasaan yang mana aku harus mulai merasakan.
Haru karena aku sebentar lagi akan meninggalkan Guruku sekeluarga , dan pondok tempat aku mengaji.
Berbangga karena namaku bukan hanya sekedar ditulis da lam Buku Induk Pesantren , tetapi ada pula tertulis dalam lembaran hati Guruku. Aku tidak akan mempersoalkan andaikata tulisan namaku hapus dari Buku Induk , asal saja tidak terhapus dari hati Guruku , sampai kapanpun. Demikian aku berpengharapan.
Bersyukur, karena aku akan pulang ke kampung halaman dengan membawa berbagai-bagai Ilmu dari Pesantren , walaupun mungkin masih terlalu jauh dari harapan Guru dan orang tuaku , tapi paling tidak, tidak terlalu memalu-kan.
Semuanya itu , aku rasakan dalam diamku.
Dengan rasa hormat dan ta'dzim , aku mencium kehalusan telapak tangan Guruku , kemudian aku keluar dari madra-sah bersama air mataku.

Usai berpamitan keluarga nDalem , aku berpamitan de-ngan semua teman santri. Kemudian aku ke kamar untuk berkemas-kemas. Entah dari mana datangnya – mungkin dari sekolahan – tiba tiba dari arah jendela kamarku Pak Jari ngendika: Sul......kowe arep mukim,ya.....didongakna moga moga ana santri sing kaya kowé maning"[42] .
Puspa bening aku lihat berkaca-kaca di sudut netranya , akupun tidak mampu menahan air mataku sendiri meleleh.
Aku tidak tahu persis apa yang dikatakan Pak Jari , mung-kinkah karena aku santri Kalijaran yang patut diteladani ?.
Padahal aku termasuk santri yang gagal untuk menjadi "murid shodieq". Aku hanya sampai pada tingkat " murid shodieq-shodieqkan".

Dengan segala perasaan membeban , aku melangkah tinggalkan Pondok Kalijaran. Sebentar sebentar aku mene ngok , karena ada beberapa teman santri yang menangis , layaknya seorang bocah yang ditinggal ibunya.
Langkahku terhenti sejenak oleh salah seorang santri yang berlari-lari kecil sambil mengacungkan sesuatu , di kejau-han belakangku. Ternyata santri itu membawa pesan dari Guruku , dua jilid kitab "Busyrol Kariem" . Anak santri itu tidak mengatakan sesuatu waktu menyerahkan kitab itu , kecuali satu kata satu frasis." Ini dari romo Kyai".
Aku terima kitab itu , sambil kepalaku mengangguk pertan da terima kasih.
Tidak terlalu lama aku menunggu mobil jurusan Bobotsari. Kurang lebih sepuluh menit aku berdiri di Pertigan Karanganyar , muncullah mobil Colt Picup berwarna biru keabu-abuan , dan berhenti persis di depanku walau aku tidak melambaikan tangan untuk menyetopnya.
Aku segera masuk ke dalam Colt itu bersama dengan satu kandi kitabku. Aku duduk dan diam..
Dalam diamku tiada henti-henti air mataku menetes , dan di sela setiap nafasku , selalu saja aku ucapkan Selamat Tinggal .
selamat tinggal.......pondok pesantren "sukawarah" kalijaran karanganyar purbalingga.

***

Ternyata dirasa berat , bermukim di desa sendiri , desa yang sudah aku tinggalkan selama 9 tahun lebih. Setiap hari aku selalu saja ingin kembali ke Kalijaran. Padahal de saku jauh lebih ramai dari pada dukuh Sokawera Kalijaran. Lebih-lebih waktu ba'da Ashar , terbayanglah dalam hati se mua teman teman santri yang aku tinggalkan, mungkin mereka sedang ngaji , atau sedang makan dengan sayur slémpat[43], atau sedang jalan jalan , dan......laksaan "atau" ada dalam angan-angan.
Keinginanku untuk pulang ke Kalijaran kadang menguat, andaikata aku tidak dilarang ayah , sangatlah beruntung a-ku bisa satu bulan hidup di desa sendiri.
Memang sejak aku mondok di Kalijaran,aku jarang-jarang —terlalu sombong apabila aku katakan tidak pernah — sampai satu bulan di rumah. Mungkin ini yang mengha-pus seluruh kenangan masa kecilku ketika masih di desa sendiri , sehingga seolah dalam jiwaku tumbuh perasaan bahwa aku kelahiran Kalijaran. Hal ini juga dirasakan oleh anak anak di bawah generasiku. " Saya kira Pak Syamsul
anak Kalijaran ", kata Cholifah suatu ketika.
Ada kemungkinan "ketidakbetahanku di desa sendiri " ini-lah yang mendorong ayahku tidak memperbolehkan aku pergi ke Pondok lagi. Mungkin aku amat sulit untuk bisa pulang ke desa sendiri andaikata aku dibiarkan begitu saja.
Oleh sebab itu aku sadar sesadar-sadarnya untuk bermu-mukim di desaku sendiri , walaupun harus melalui perjua ngan batin yang berat.

Dalam rangka usaha supaya betah dan krasan , aku men coba bangkitkan kembali kenangan masa kecilku yang in dah.
Jam empat sore aku jalan-jalan mendatangi sudut desa, tempat aku dulu pernah menyanyikan lagu " DESAKU " bersama sama teman sekelasku. Kelas IV Madrasah.
Dengan suara lirih penuh kesyahduan aku bernyanyi :
Desaku yang kucinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai tolanku
Tak mudah kulupakan
Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan
Desaku yang permai.
Lagu ini aku diajari oleh Guruku, Pak Surat , ketika aku masih Kelas : III Madrasah.

Aku juga mendatangi musholla tempat aku mengaji sepu luh tahun yang lalu , tapi tidak lama, yah hanya sekedar me ngenang masa lalu saja. Siapa tahu lantunan Sholawat Ba dar dapat terdengar lagi di gendang telingaku , walau ha nya berbentuk imajiner, cukuplah untuk membangkitkan kembali semangatku bermukim di desa sendiri .
Dari Mushola itu aku berjalan ke arah utara sampai ke tanah Gudang , kemudian belok ke arah barat sampai di ta-nah – menurut masyarakat desaku – Propél , tempat dulu aku memancing belut . Di sini aku berhenti. Duduk.
Sayup semayup , timbul tenggelam seirama pelan kencang nya angin , aku dengar untaian lirik apik berbareng denti-ngan guitar akustik , kadang nyaring mendekat dan kadang lemah menjauh :
aku pernah punya cita cita
hidup jadi petani kecil
tinggal di sebuah desa
dengan isteri dan anakku
luas kebunku sehalaman
kan kutanami buah dan sayuran
dan di belakang rumah
kupelihara
bermacam macam piaraan
isteriku harus cantik
lincah dan gesit
tapi ia juga
harus cerdik dan pintar
siapa tahu nanti
aku kan terpilih jadi Kepala Desa
kan kubangkitkan
semanagat rakyatku
dan kubangun desaku....
desakupun pasti mengharap
aku pulang
akupun rindu
membasahi bumi
dengan keringatku
namun semua itu
tergantung padaNya jua
tapi aku merasa bangga
setidak tidaknya
kupunya cita cita
tapi aku merasa bangga
setidak tidaknya
kupunya cita cita
Sekata sekata aku nikmati dan aku resapi maknanya. Tim-bul dalam hati ini , rasa ingin membangkitkan warga ma-syarakat desaku. Bangkit dalam bidang ilmu dan amal , sebab menurut pikiranku sendiri , suatu masyarakat tidak dapat maju ketika kekurangan ilmu dan amal.
Ingin rasanya satu satunya Masjid di desaku selalu ramai a nak ngaji dan orang berjamaah. Tidak seperti sekarang, setiap malamnya gelap dan sepi , dan di setiap sudut nam-pak tumpukan kotoran tikus. Sangat memperihatinkan.

Setelah aku amati ternyata lantunan lirik itu berasal dari ru-mah salah seorang warga desa Purwadadi yang sedang pu nya hajat. Istilah di daerahku "mBarang Gawé ".
Jam lima seperempat aku pulang.

Hanya itulah setitik kenangan yang terpatri dalam hati. Se-lainnya tidak ada . Karena ketika aku pergi ke Pondok dulu masih bocah , belum melewati masa indahnya lempar melempar " Bunga Mawar Merah ".
Hari Rabu Wage 18 Juli 1979 aku mulai mengadakan pe-ngajian , tempatnya di rumah ayahku , muridnya hanya satu , Haib Huzaini , adikku sendiri.
Aku memulai ngaji Hari Rabu bukan hanya sekedar meni ru tradisi Pesantren Kalijaran saja , tapi memang aku punya alasan. Ada dikatakan bahwa Hari Rabu itu adalah hari diciptakannya "Nur" atau cahaya , sedangkan Ilmu itu adalah cahaya , maka diharapkan anak yang mulai ngaji ha ri Rabu akan sempurna dalam memperoleh Ilmu yang da-pat menerangi kehidupan sebagaimana cahaya.

Nampaknya pengajian yang aku adakan didengar oleh re-maja remaja desaku . Maka keesokan harinya mereka da-tang ke rumah ayah untuk ikut ngaji.
Ada Sutarno, Cholifah, Jamil, Rapono, Musringah, Jumi-yati, dan entah siapa saja , aku lupa nama namanya.
Semakin hari yang mengikuti pengajianku semakin banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima anak . Kemudi an aku buat organisasi dengan susunan pengurus ala ka darnya.
Kitab yang aku ajarkan adalah "Jurumiyyah" dan "Amsilah At-Tashrifiyyah ".
Sambil mengajar , kedua kitab itu aku beri komentar meng gunakan bahasa Indonesia dan aku bukukan.
Hal ini dimaksudkan supaya dapat dipahami secara cepat , karena yang mengikuti pengajian adalah anak sekolah dari berbagai tingkatan.
Memang cara aku mengajar di desa sangatlah jauh dengan ketika aku mengajar di pondok Kalijaran.
Waktu pengajian ba'da shalat Maghrib , dan sebelum pengajian aku mulai , semua anak harus menghapalkan tasripan bersama sampai pada batas pelajaran , dan harus serius . Ketika itu , jangankan sambil bermain main , hanya sambil senyum saja pasti mendapat hukuman , yaitu supaya menghapalkan sampai jam: 23.00.
Adapun pengajian yang lain adalah sorogan Al-Qur'an. Pelaksanaannya ba'da shubuh. Maka jam empat pagi semua anak harus sudah kumpul . Satu persatu mereka aku tuntun membaca Al-Qur'an sesuai dengan bacaan yang aku terima dari Guruku. Meskipun mereka sudah pada ngaji Al-Qur'an , aku suruh mereka supaya merubah bacaannya, dan disesuaikan dengan bacaanku. Karena menurut aku , bacaan yang mereka peroleh dari guru ngaji di musholla adalah kurang fasih dan tartil. Semua menurut
Pengajian aku tutup pada tanggal 25 Sya'ban 1399 H.

Hari Kamis pahing adalah awal Ramadlan 1399 H.
Untuk mengisi kegiatan Ramadlan , aku mengadakan kegiatan tadarus Al-Qur'an dan Pengajian Kilat.
Dan aku mengadakan Jama'ah Tarowih sendiri di rumah a yah. Pengikutnya hanya anak anak ngaji saja. Selesai Taro wih tadarus Al-Qur'an , hanya dua juz' setiap majlis.
Adapun pengajian kilat pelaksanaannya setiap ba'da ashar. Kegiatan Romadlon ditutup tanggal 25 romadlon 1399 H.

***

Mungkin aneh didengar , atau bahkan dikatakan " nyimpang dari jalur " , methoda da'wah yang aku lakukan. Sebab tidak umum dilakukan oleh orang orang pesantren .
Ba'da lebaran aku mengadakan héking ke Baturadén. Pe ngikutnya di samping anak ngaji , juga anak luar , hanya ti dak boleh diikuti oleh anak putri , karena tidak akan kuat , demikian aku beralasan.
Jam : 05.00 pagi aku berangkat bersama anak anak berjumlah antara 30 — 40. Semuanya aku larang berpeci.
Rambut gondrongku aku ambulradulkan , baju lorengku aku singsingkan lengannya sebelah.
Dua anak aku perintah supaya menjadi pengawal khusus, supaya memanggul perbekalanku dan Tape Recorder "Mar shall ".
Udara pagi yang masih bersih aku hirup dan aku hempas berbareng setiap langkahku. Sorak sorai anak anak yang berjalan di depanku pecahkan suasana.
Ketika di tanjakan Limpakuwus semua anak aku hentikan. Untuk istirahat dan makan seadanya. Mereka duduk me-lingkar melingkar berkelompok .
Dalam suasana senang seperti inilah aku " si bocah pesan tren " menyampaikan segala pengunek-unek di sela sela ce rita.
Setelah istirahat dianggap cukup, perjalanan diteruskan. Lagu " Berita Kepada Kawan " nya Ebiet G. Ade terus melantun dari Tape Recorder Marshallku. Mengusir lelah.
Aku dan rombongan anak sampai di Lokasi Wisata Batu-raden pukul : 10.00 wib.
Aku biarkan mereka bersuka ria menghirup udara segar Baturaden. Aku duduk sendiri di depan Villa Kejora sam bil merokok Jarum 76. Entah berapa batang rokok yang kuhisap , bersama kepulan asap aku merangkai kata-kata menggubah sebuah puisi " Dia terlalu Pagi ".
Dalam puisi itu segala rasa yang mengalir dalam keme rahan darahku aku ungkap sedalam-dalamnya.
Tidak terasa , ternyata aku sudah terlampau jauh dalam kelarutan. Aku bangkit dari kelarutanku ketika terik surya menyengat tubuhku. Jam:12:30 wib.
"no........anak-anak supaya kumpul , dan diberi tahu bahwa kita pulang jam empat belas", kataku kepada Sutarno ketika ia mendekati aku . Diapun segera melaksanakan perintahku , dikumpulkannya semua anak , kemudian memberi pengertian kepada mereka sesuai kemauanku.

Jam empatbelas persis aku bersama anak-anak pulang.me-reka ada yang tetap jalan kaki , ada pula yang naik mobil.
Aku sendiri jalan kaki bersama anak yang besar-besar. Dari desa ke desa aku melintas,karena rasa lelah yang tersisa ketika berangkat, sebentar-sebentar aku berhenti . Karena itu perjalanan pulang lebih banyak memakan waktu. Aku sampai di rumah sekitar pukul : 20.00 WIB.

***

"Setiap ada aksi pasti ada reaksi"
Artinya , setiap suatu gerakan dari seseorang akan selalu mendapat tanggapan , baik positip atau negatip. Rumus ini
berlaku bagi siapa saja , tanpa kecuali. Kita ingat bagaima
na gerakan da’wah yang dilakukan oleh para Nabi dan Ulama. Semua mendapat reaksi dari masyarakatnya.

Apa yang aku lakukan dalam usaha mengumpulkan para remaja , juga mendapatkan reaksi dari masyarakat , lebih lebih ketika aku menggabungkan antara putra putri dalam satu ruangan waktu mengaji.
Ada tiga kelompok ‘tanggapan’ yang muncul di tengah –te
ngah masyrakatku.
Kelompok pertama berpenganggapan negatip. Menurut kelompok ini,segala yang aku lakukan dianggap salah , bertentangan dengan hukum Agama dan Adat. “ Sejak dulu , tidak ada anak ngaji digabung laki dan perempuan,
,haram hukumnya “. Komentar mereka .
Menanggapi kelompok ini aku hanya senyum-senyum kecil saja. Apa yang mereka katakan sebenarnya betul , hanya saja tidak keluar dari kebersihan dan keikhlasan jiwa. Kalau saja keluar dari jiwa yang bersih dan ikhlas , mestinya bukan aku saja yang direaksi . Bukankah sekolah
-sekolah Agama juga mengadakan penggabungan putra-putri dalam kegiatan Belajar Mengajar ? .
Kelompok kedua berpenganggapan positip. Menurut ke
lompok ini menyadari bahwa apa yang aku lakukan adalah satu cara untuk mengumpulkan para remaja. Karena waktu
itu terlalu sulit mengumpulkan remaja untuk diajak ngaji. Apalagi kalau mengajaknya dengan gaya fanatik , jangan berharap mereka mau kumpul .
Kelombok ketiga netral , artinya tidak berpenganggapan apa-apa. Kelompok ini tidak mau tau apa yang aku laku
kan. Seolah keberadaanku sama dengan tidak ada .

Dari ketiga kelompok , yang terbanyak adalah kelompok pertama. Oleh sebab itu berkembang aneka ragam isu tentang diriku. Mungkin isu-isu inilah – menurut pikiranku- penyebab 'semangat masyarakat' menjadi loyo dalam pembangunan Pondok Pesantren. Atau ada sebab lain. Yang jelas waktu itu pembangunan berhenti total , dan panitianya boleh dikata bubar. Hanya beberapa orang yang masih aktif. Jangankan supaya mencari dana , supaya kum pul saja , laksana pundak memanggul batu sebesar kerbau.
Tidak bosan-bosan ayahku berusaha , tetapi hanyalah keke cewaan yang diperoleh.

Karena bangunan Pondok tak kunjung selesai , maka aku bersama anak-anak ngaji terpaksa menempatinya. " Pak...Pondok itu akan saya tempati saja", kataku kepada ayah.
Ayahpun tak bisa berbuat banyak selain mengiyakan.
Pada tanggal 22 September 1979 aku dan anak-anak me ninggalkan rumah ayah. Pindah ke Pondok yang belum ja di. Aku melantai dua kamar dengan matrial seadanya. Satu kamar untuk aku tempati sendiri , dan satu kamar yang lain supaya ditempati anak-anak ngaji. Adapun temboknya aku biarkan meringis dengan kemerahan batu batanya.
Di samping itu, anak-anak aku kerahkan supaya mem bersihkan masjid, masjid kotor yang tak berpenghuni se lain anak glandangan yang kadang tidur di dalamnya se-habis mencuri kelapa muda dan nangka. Memperihatinkan.
Tembok yang berdebu disapu , kemudian dicat warna putih , daun jendela dan pintunya dicat warna coklat muda dan diberi garis pinggir berwarna kuning . Walau tidak sampai pada tataran mewah , paling tidak , tidak terlalu menje mukan dipandang mata .

Memang aku lagi nasib , mestinya orang yang melihat kip rahku mengacungkan ibu jari setinggi-tingginya buat aku , tapi malah mencibirkan bibir lebar-lebar." sul...kamu mengecat masjid memangnya kamu supaya dipuji oleh Pak Lurah , supaya kamu diambil menantu. Apa kamu lagi seneng Sisri ? ", demikian ucapan buatku yang di katakan oleh seseorang yang kebetulan menjabat sebagai Pamong.
Oh.....wolak waliking jagat , mengapa bisa seperti ini , mes tinya sebagai Pamong berbangga hati , ada salah satu war ganya ada yang ikut merawat Masjid yang bersetatus milik desa. Tapi memang dasar nasibku kurang beruntung.


***

Sejak menempati Pondok yang belum sempurna kegiatan anak-anak ngaji diperbanyak , antara lain setiap malam Ahad kedua setiap bulan diadakan khithobah , setiap jum 'at sore sepak bola dan voly ball , dan malam selasa jum'at latihan bela diri.

Dalam acara khithobah aku adakan pembacaan puisi , yang membaca aku sendiri. Di samping aku membaca puisi-pu isi karya sendiri , aku membacakan puisi karya anak-anak ngaji .
Setiap malam khithobah tidak kurang dari limabelas puisi yang masuk , ada yang karya sendiri , ada pula yang nyontek dari majalah , sebagai plagyator , dengan gaya seorang puitis satu persatu aku baca di atas podium. Kalau waktunya tidak mencukupi , aku tunda , aku baca pada malam khithobah berikutnya.

Untuk kegiatan volly ball aku menyewa tanah kosong sa lah satu warga penduduk desa. Setiap bulannya aku bayar sesuai dengan penghasilan tanah itu.
Adapun kegiatan sepak bola , menggunakan tanah lapang desa dengan seidzin Kepala Desa.

Kegiatan bela diri , untuk kemampuan pisik ditangani oleh Sutarno , dan aku yang mengatasi urusan jampa mantera.
Setelah latihan pisik , aku membaca beberapa ayat dari SuratYasin sambil disebulkan pada air teh yang diberi butiran mrica, setelah selesai , air teh itu aku minumkan kepada anak , maka tanpa disadari dia melakukan gerakan silat sesuai dengan yang aku mau. Ilmu ini aku peroleh dari Bapak Yasir , Guru pencak di Kalijaran.

Dengan kegiatan kegiatan tersebut aku mampu mengumpulkan 150 anak , besar dan kecil. Dengan anak sebanyak itu , diharapkan 10 sampai 15 tahun mendatang, anak-anak desa yang ngaji akan berjumlah sekitar duaratus anak. Ini hanya didasarkan pada perhitungan matematik belaka.







BAGIAN KETUJUH
P


ada hari Selasa Wage 12 Robi'ul awal 1400H. ber tepatan tanggal 29 Januari 1980 M. Pondok Pesantren diresmikan.

Sebenarnya Pondok yang masih porak poranda bangunan nya , belum pantas untuk diresmikan. Namun sampai ka pan bangunan itu sempurna , sedangkan Panitianya wala yahya ,wala mauta , bahkan wala nusyura. Keberadaan panitia seperti inilah yang mendorong aku minta kepada a yah Pondok segera diresmikan. Ayahpun menyetujui. " Diberi nama apa Pondok ini ya ....sul ? ", tanya ayah. Aku mengerutkan kening sejenak , dan...."aaaaah... .aaaaah ...Tadzkirotul-Ikhwan", jawabku. " Alasannya ?. Ayah ber tanya lagi. Akupun menjelaskan alasannya kepada ayah , " Begini pak....pertama; Tadzkirotul Ikhwan kan artinya Peringatan Kepada Saudara-saudara , ini artinya bahwa berdirinya Pondok merupakan moment bagi masyarakat desa Lemberang. Kedua; Karena ketika aku mukim , persis sedang belajar kitab Tadzkirotul Ikhwan kepada Guruku, Rama Kyai Hisyam Kalijaran . Mendengar keteranganku, ayah menganggukkan kepala sambil senyum . Setuju .

Peresmian Pondok dilaksanakan malam hari bersamaan de ngan Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW . Acara demi acara aku tata sedemikian rupa , sehingga walaupun sederhana tapi cukup berkesan , bahkan ketika dibacakan lunan puisi " Dia Terlalu Pagi " , yang aku gubah di depan Villa Kejora Baturaden , aku sempat melihat banyak air mata menetes. Pembacanya , Waluyo , aku yang melatihnya langsung , maka peng-ekspresiannya berim bang singkron dengan bahasa bergayaku.

Usai pembacaan puisi , ayah naik ke podium . Beliau seba gai Ketua Panitia Pembangunan menjelaskan sejelas-jelasnya tentang dana pembangunan Pondok , semuanya berjumlah satu setengah juta rupiah. Sebelum turun dari podium , ayah memberitahu kepada yang hadlir , bahwa pondok yang baru dibangun bernama :
PONDOK PESANTREN
" TADZKIROTUL IKHWAN "
Kemudian ayah menyerahkan pengelolaannya kepada " Bocah Pesantren " bernama Syamsul Qodri. Aku .

Setelah ayah turun dari podium , acara dilanjutkan dengan pengajian umum , sebagai Pembicara , Guruku Rama Kyai Hisyam.
Dalam pengajiannya , beliau banyak memberi wejangan ke pada para remaja. Antara lain beliau berpesan , sebagai remaja tidak boleh banyak melakukan ma'siat. Juga dipe sankan oleh beliau , sebagai remaja supaya istiqomah da lam ibadah , dan rajin belajar.
Pengajian selesai jam : 00.30 wib dini hari.


Sekarang , aku sudah resmi sebagai pengemban amanat cita-cita para leluhur. Aku harus bertanggung jawab dalam melaksanakan amanat itu , meskipun pada dasarnya aku dulu kurang setuju untuk menjadi Pengasuh Pesantren . O leh sebab itu aku harus membekali diri dengan memper dalam ilmu pengetahuan , mencari perbekalan hidup , dan pembentukan jiwa qona'ah penuh sabar dan tawakal.

Pendalaman ilmu – menurut pikiranku – sangatlah perlu bagi seorang Pengasuh Pesantren. Apalah jadinya , andai kata Pengasuh pesantren berilmu pas-pasan , niscaya Pesan trennya akan menjadi tempat anak yang suka bermalas-malas .
Di samping itu Pengasuh Pesantren harus punya keahlian dalam bidang menejemen , sebab kalau tidak , Pesantren akan menjadi Lembaga Pendidikan yang acak-acakan .
Pemikiran ini yang mendorong aku lebih rajin belajar dibanding ketika aku masih di Pondok Kalijaran . Berba gai-bagai kitab aku beli , dari yang kecil sampai yang tebal berjilid-jilid . setiap hari dan waktu aku belajar dan belajar. Apabila pedagang merumuskan 'waktu adalah uang', ma ka aku merumuskan ' waktu adalah ilmu ' .
Kesukaan Guruku dalam mathla'ah kitab , sedikit-sedikit a ku ikuti .

Faktor perekonomian sebagai bekal hidup dalam menge lola Pesantren , juga menjadi pemikiranku .
Dalam hal ini aku sempat bingung untuk menentukan apa yang harus aku lakukan sebagai bekal hidupku , sehingga aku tidak menjadi beban orang lain. Bagaimana caranya a ku bisa cari duit tanpa mengganggu kegiatanku sebagai Pe ngasuh Pesantren .
Dibayangkanlah dalam hatiku menjadi seorang Pedagang, pagi hari aku harus meninggalkan Pesantren , sore hari baru pulang , kemudian malam hari ada undangan tahlilan , atau lelah , akhirnya tidur untuk mengusir kelelahan , lantas kapan aku mengajar anak-anak . Umpama aku bisa membagi waktu , ada kemungkinan aku tidak istiqomah. Padahal Pesantren sangat membutuhkan orang yang istiqomah dalam segala hal. Dengan demikian terlampau sulit bagiku mengelola Pesantren sambil berdagang , ma ka bayangan menjadi seorang pedagang aku tendang jauh-jauh dan aku biarkan terjatuh di pantai selatan .
Kemudian aku bayangkan jadi seorang petani. Pagi hari aku pergi ke sawah dengan tudung hitam sambil memanggul cangkul dan menghisap rokok klembak menyan buatan sendiri , sesampai di sawah , satu-satu butiran keringat aku teteskan bersama tanganku me ngangkat cangkul . Jam sebelas baru pulang , kemudian ba'da Dzuhur aku berangkat lagi , sampai maghrib , ba'da maghrib ada undangan tahlil, atau kelelahan , akhirnya untuk mengusir rasa lelah aku tidur , lantas kapan aku me ngajar anak-anak. Andaikata aku bisa membagi waktu , tapi ada kemungkinan ' keistiqomahanku ' terganggu. Maka bayangan itu aku lempar jauh-jauh dan aku biarkan jatuh terdampar di hutan pinus gunung Slamet.
Sebenarnya andaikata aku punya modal , tidaklah akan su lit bagiku menjadi seorang petani. Jadi " Petani Galeng ". Tapi aku bukan dia , juga bukan kamu . Aku adalah aku , bocah pesantren yang bermodalkan " NOL " dalam segala hal .
Aku benar-benar bingung .
Rasa bingung yang membelit hatiku aku usir dengan mem buka Primbon lusuhku . Aku hitung jem hari kelahiranku , Rabu Pahing , jumlahnya ada enambelas , kemudian aku cari pekerjaan yang tepat bagi orang yang jem hari ke lahirannya enambelas. Ternyata aku supaya jadi ' Kamitua ' atau ' Dukun '.
Nampaknya pekerjaan ' Jadi Dukun ' amat tepat bagiku , karena ketika di Kalijaran dulu , aku banyak belajar ilmu perdukunan. Tapi aku tidak bisa berpelangi dalam tutur kata[44]. Maka kalau aku jadi ' Dukun ' tidak akan laku. Di samping itu Jimat yang untuk pengobatan sudah aku berikan kepada orang , seperti ' batu brahma ' yang aku terima dari kamitua desa Cigupit Purbasari , dan sepotong ' galih ngasem ' yang aku terima dari Bapak Judi (?) yang rumahnya di sebelah barat Pondok Kalijaran . Akhirnya pi kiran ' jadi dukun ' aku lempar ke pelanet pluto.
Kemudian aku mencari-cari bakatku yang aku lupakan , di temukanlah bakatku dalam bidang tehnik . Aku ingat , ketika di Pondok aku suka ngotak-atik radio sampai larut malam . Bakat tehnik elektronika inilah yang aku kembang kan. Entah berapa ratus judul buku yang aku beli , satu per satu aku lahap habis habis , dari tingkat pemula sampai tingkat proffesional. Dana praktikum yang aku keluarkan -pun lumayan banyak .
Seperti biasanya , aku kalau sedang belajar pantang menye rah sebelum bisa menguasai . Sampai ayahku menegur ke tika aku terlalu larut dalam praktek reparasi radio.
" sul...sul,kowé kon bali supaya dandani bocah , ora kon dandani radio" [45] , demikian teguran ayah . Sebagai jawa ban aku cuma senyum ringan .
Al-hamdu lillah aku bertahmid kepada raabku , dalam waktu amat singkat aku bisa menguasai Tehnik Elektroni ka . Dan inilah yang akan aku gunakan untuk mencari u -ang sebagai bekal aku mengelola Pesantren. Telinga ku pun aku sumbat rapat-rapat dengan sepotong kendablegan yang aku miliki , biar tidak mendengar apa kata orang tentang aku sebagai " Kyai Tidak Umum". Yang penting bagiku , aku bisa cari duit dengan cara halal dan tidak menjadi beban orang lain .

Adapun faktor kesabaran aku jadikan bekal dalam penge lolaan Pesantren , karena aku menyadari sesadar-sadarnya bahwa Pengasuh Pesantren merupakan figure public di tengah masyarakatnya . Segala tutur kata dan gerak laku nya akan selalu dipandang dan diperhatikan dengan sudut pandang yang berbeda . Sebaik apapun perbuatan seseo rang akan dikatakan buruk menurut pandangan orang yang dalam hatinya ada setitik sifat dengki , dan akan dikatakan baik , seburuk apapun perbuatan seseorang apabila dipan dang oleh orang yang dalam hatinya ada rasa senang .
Oleh sebab itu , aku sudah dapat membayangkan apa yang akan aku terima , kalau bukan pencelaan ya caci maki , se bagaima yang aku rasakan ketika awal mendirikan pengajian. Apalagi melihat keadaanku yang — menurut perhitungan lahiriah — bermadesu ( masa depan suram ) dan berlapender ( laki-laki penuh derita ) , berondongan pencelaan pastilah akan selalu diarahkan ke tengah-tengah dadaku. Dan tidaklah ada kemampuan bagiku , apabila didepanku tidak aku pasang ' perisai kesabaran ' yang kuat.

Jiwa qona'ah ( menerima hidup apa adanya ) sangat perlu dimiliki oleh Pengasuh Pesantren . Apalah jadinya suatu Pesantren bila diasuh dan dikelola oleh orang yang tidak memiliki jiwa qona'ah , bisa-bisa Pesantrennya untuk simbol bisnis , artinya mengadakan berbagai-bagai tarikan infak dengan mengatasnamakan Pesantren.
Oleh sebab itu , sifat qona'ah aku tanam dalam-dalam di te ngah jiwaku. Setiap kali jiwaku meronta-ronta , selalu saja aku lantunkan sya'ir yang sering aku dengar ketika dilan tunkan oleh Guruku :

Wa in tardlo bilmaqsumi 'isyta muna'ama
Wa in lam takun tardlo 'isyta fie daril hazan

Yén sira nrima pandum uripmu keni'matan
Yén ora nrima pandum uripmu gendada
pan ◘[46]
Berulang-ulang aku melantunkan syair ini , sehingga jiwa ku tenang kembali.
Bahkan rencanaku , sifat qona'ah ini akan aku tanamkan dalam jiwa istri dan anakku kelak , apabila ada gadis yang berkenan mau dinakahi oleh aku , siBocah Pesantren yang berbaju penderitaan dan kemiskinan sejak kecil .

Sifat berpasrah diri menjadi bahan pertimbangan pikiranku , karena segala sesuatu hanyalah Rabbku Alloh SWT yang menentukan . Sepandai apapun Pengasuh Pesantren dalam bidang methodologi da'wah , kesuksesan tidak dapat diraih apabila Dia tidak menghendakinya . Dengan demikian apa bila usahaku tidak berhasil dalam mengemban amanat Pon dok Pesantren , aku tidak akan kecewa dan susah .
Yang penting bagiku adalah berusaha dan berusaha , kemu dian berpasrah diri kepadaNya .


***

Setelah aku mempersiapkan mental , secara resmi aku mulai mengelola Pondok Pesantren " TADZKIROTUL IKHWAN " , segala sesuatu yang berkaitan dengan Pon dok aku kerjakan sebaik-baiknya .
Langkah awal yang aku lakukan adalah menyusun AD / ART . Maksudku supaya Pondok ini jelas jluntrung arahnya. Dalam Anggaran Dasar Pondok aku sebutkan bahwa Pon dok Pesantren "TADZKIROTUL IKHWAN" bertujuan ; Memperkuat Ukhuwwah Islamiyah ; Meningkatkan Belajar Para Pemuda Islam ; Membimbing Para Pemuda Islam , supaya berakhlak kariemah .

Methoda yang aku gunakan adalah pedekatan . Oleh se bab itu di Pesantren yang aku kelola tidak ada aturan yg -berbentuk dam / denda , sebab cara ini menurut aku dapat membentuk jiwa kemunafikan , artinya mungkin ketuka be rada dalam lingkungan Pondok , santri bertingkah laku baik , tetapi ketika ada di luar Pondok , lain lagi mas'alah nya .

Dalam bidang Kepengurusan Pondok aku atur sedemikian rupa , sehingga ada saling mengontrol antara Pengurus dan anggautanya. Masa kepengurusanpun aku batasi paling lama lima tahun . Apabila Pengurus akan membuat aturan , tidak boleh seenaknya sendiri , tetapi harus bermusyawa rah dengan anggauta. Dalam bidang keuangan juga Pengu rus harus transparan dan melaporkan setiap bulan. Untuk itu Pondok setiap malam tanggal 10 Masehi mengadakan musyawarah , kemudian hasilnya dilaporkan kepada Penga suh.

***

Untuk menghantarkan Pondok sampai pada tujuannya , a ku tidak takut lelah dan payah.
Jam empat pagi aku sudah bangun , bila waktu shubuh tiba aku berjama'ah dengan anak pondok dan orang desa.
Ba'da Subuh langsung ngaji Al-Qur'an , sebagaimana keti ka aku di Pondok Kalijaran. Sistem bandongan.
Jam tujuh aku mulai mengajar lagi , mengajar kitab yang disepakati antara aku dan anak pondok. Pengajian biasanya selesai pukul setengah sembilan.

Untuk mengisi kekosongan waktu , aku mengotak–atik elektron , alias memperbaiki radio .
Langgananku lumayan banyak , baik dari desa sendiri , maupun desa tetangga. Bahkan aku pernah satu hari menggarap dua puluh radio , dari kerusakan yang ringan hingga yang berat , cuma sebagian besar kerusakan ringan , semisal per batu batry beroksidasi yang cukup diamplas , atau Potensiometer kotor yang cukup ditetes dengan campuran minyak kelapa dan minyak tanah , karena aku tidak punya Contac Cleaner . Tetapi bagaima napun juga merupakan prestasi tinggi dalam perbengkelan.
Nama bengkelku " AUTODIDACT ELECTRONIC ", sa tu nama yang cukup berwibawa , meskipun tidak seim bang dengan peralatan yang dimiliki. Mestinya bengkel yang punya nama keren menggunakan solder listrik , nyatanya hanya menggunakan solder bakar , karena untuk menggunakan solder listrik aku harus punya kabel sepan jang lima kilometer , supaya bisa sampai ke Stop Kontak yang ada di rumah mBakyuku , Sokaraja Kidul.
Walau dengan solder bakar , aku bekerja dengan tekun dan hati berbunga. Yang penting bagiku , hidup tidak bergan tung kepada orang lain. Nyata memang , setelah aku beker ja bengkel radio , walau hasilnya rata-rata antara tiga sam pai lima ribu rupiah , aku sudah tidak ambil beras lagi ke rumah orang tua , untuk dimasak bersama-sama anak pon dok , dan setiap harinya aku bisa menyelipkan sebatang ro kok Jarum 76 di sela kedua bibirku. Akupun ber- alhamdu lillah .
Kegiatanku sebagai tukang otak atik elektron sampai wak tu dzuhur , artinya ketika terdengar adzan dzuhur , kegiatan itu aku hentikan. Apabila belum jadi , aku lanjutkan usai shalat Isya'.
Ba'da shalat dzuhur kegiatanku mengajar sorogan , dan mengajar anak-anak kecil.
Ratusan anak aku ajari bagaimana cara menulis arab yang baik , sesudah itu aku tanamkan dalam jiwa mereka tentang pentingnya ilmu pengetahuan.
" Anak-anak......", kataku kepada mereka. " Ilmu itu sangat penting dalam kehidupan. Karena ia adalah cahaya , oleh sebab itu , orang yang tidak punya ilmu hidupnya selalu dalam kegelapan. Anak-anak....kalian jadilah orang yang punya ilmu. Bagaimana caranya?
Ya harus rajin belajar , makanya , setiap ba'da dzuhur , kalian datang ke sini , untuk belajar ya!?". Serempak seperti prajurit yang disuruh tiarap , mereka menjawab , " Yaa........" .
Dan aku tanamkan pula , supaya jangan berputus asa dalam menuntut ilmu.
Aku kisahkan kepada mereka " Riwayat Ibnu Hajar " ketika menuntul ilmu . " Dulu...", kataku lugas. " Ada seorang bocah bernama Achmad . Dia menuntut ilmu di salah satu Pesantren" . Padahal aku sendiri kurang tahu persis , apakah dia menuntut ilmu di Pesantren , atau di salah satu sekolahan , untung saja tidak ada yang kritis , coba andaikata ada yang kritis , pasti saja akan dipertanya kan ' apa nama pesantrennya ' atau ' di mana sekolahannya' , aku bisa tujuh kali mengerutkan kening , karena tidak ada yang melontarkan pertanyaan seperti itu , aku lancar-lancar saja dalam olah cerita. " Lebih dari sepuluh tahun dia menuntut ilmu , tetapi dia badoh saja , coba ba yangkan anak-anak , belajar sudah sepuluh tahun , huruf arab saja belum paham , tidak seperti kalian , baru beberapa bulan saja ngaji di Masjid ini , sudah pandai membaca dan menulis huruf arab, yang berarti lebih cerdas dari siAchmad.
Karena berputus pengharapan , akhirnya si Achmad pulang . SiAkhmad berjalan kaki ratusan kilometer, karena ketika itu belum ada mobil atau sepur. Dengan keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh , si Achmad menulusuri hutan belantara, setiap tebing ia naiki , setiap ngarai ia turuni.Ketika dahaka menyengat tenggorokan, sesekali ia mengambil air bening dengan kedua telapak tangannya , untuk diminun .
Karena lelah, iapun berhenti , istirahat di bawah rerimbunan pohon . Di tebing kejauhuan sana , terlihat jelas oleh kedua mata Achmad , sebuah batu yang kejatuhan air setetes-setetes. Dengan ketajaman matanya , Akhmad mengamati dan mengamati. Nampak jelas , lama-lama batu itupun melubang. siAkhmad berpikir ' kalau batu yang keras saja dapat berlubang karena kejatuhan air,apalagi otak manusia' , akhirnya Akhmad tidak jadi pulang ke rumah , dan ia pulang lagi ke Pesantrennya. Dengan ketekunan yang amat sangat , akhirnya ia menjadi orang pandai , menjadi Ulama besar yang terkenal . Karena yang membangkitkan semangat belajarnya adalah sebuah batu , maka ia dikenal dengan nama ' Akhmad bin Hajar , artinya , Akhmad anak batu ".
Dengan antusias anak-anak mendengarkan ceritaku , sese kali mereka senyum apabila ada yang dianggap lucu.
Kegiatanku mengajar anak-anak selesai jam : 15. 00 , kadang sampai adzan shalat 'ashar dikumandangkan .
Ba'da ashar , aku mengajar remaja putri. Pelajaran yang aku sampaikan adalah Ilmu Nahwu , Ilmu shorof , Ilmu Fiqih , dan Akhlak . Tetapi yang lebih ditekankan pelaja -ran Akhlak. Aku jelaskan kepada mereka , bahwa kehi dupan suatu bangsa sangat bergantung pada akhlaknya .
”Sesungguhnya satu bangsa
dianggap kehidupannya
bila akhlak masih ada di dalam jiwa.
Apabila akhlak telah sirna ,
maka sirnalah bangsa itu semua".
Demikian salah satu sya'ir moral yang aku sampaikan kepa da para remaja putri . Maksudku , supaya mereka menjaga akhlak . Apalagi di jaman edan seperti sekarang ini .
Kegiatanku mengajar remaja putri sampai jam tujuh belas tigapuluh menit .
Usai shalat maghrib , aku mengajar remaja putra , Pelajaran yang aku sampaikan sama dengan remaja putri. Demikian pula titik penekanannya , pelajaran akhlak .
Memang aku banyak penekanan dalam bidang akhlak , ka rena yang ada di depan mataku hanyalah kemerosotan akh lak , terutama dalam hal pergaulan . Seolah nilai religi telah musnah dari jiwa masyarakat yang – menurut kata orang luar – agamis. Padahal bila aku telusuri satu-satu , tidak pernah aku temukan " kepercayaan akhirat " dalam sudut-sudut hati mereka . Apa yang ada dalam kitab suci , seolah dianggap seperti dongeng tutur tinular , yang boleh diper cayai , dan boleh tidak .
Tetapi untuk merobah keadaan ini dari kaum tua tidaklah mungkin , sebab faktor umur sangat mempengaruhi untuk ditolaknya satu gagasan yang keluar dari orang yang lebih muda .
Ketika itu , usiaku baru 23 tahun berjalan . Sedangkan di tengah masyarakat masih banyak orang-orang yang seusia kakekku. Apa yang aku duga , benarlah adanya , ketika aku mengajak supaya pada ngaji dan senang berjama'ah , terlontarlah kata-kata yang kurang enak menyentuh gen dang telingaku , " Syamsul itu air kencingku , mengapa harus diikuti ".
Pemikiran seperti ini yang menjadi alasanku untuk mene kankan dalam bidang akhlak , khususnya kepada remaja .
Aku ajarkan bagaimana akhlak dalam berhubungan de -ngan sang Kholiq , sebagai makhluk kewajiban apa yang harus dilakukan lebih dulu terhadap Alloh sang Pencipta.
Demikian juga akhlak dalam berhubungan dengan sesama , aku jelaskan kepada mereka , bagaimana cara bersikap ke pada orang tua , kepada guru , dan kepada teman-teman.
Apabila telah dikumandangkan adzan isya , pengajian aku tutup .

Setelah shalat Isya , aku mengajar lagi , apabila tidak ada kegiatan di luar Pesantren , semisal tahlilan atau undangan pengajian umum.
Yang mengikuti pengajian ba'da isya tidak dibatasi umur , artinya remaja , anak-anak , ngaji bersama. Kitabnyapun juga tidak menentu , tetapi yang sering aku membaca kitab fiqih semisal " Minhajul Qowiem" karya besar Syaich Ahmad bin Hajar Al-Haitamy.
Pengajian ba'da isya hanya sampai jam sembilam malam .
Sesudah itu , aku meneruskan sisa pekerjaan siang hari , sebagai bengkel radio . Ini apabila aku tidak lagi malas , apabila lagi malas , langsung saja aku membaca doa , " Bismikallohumma Ahya , wabismikallohumma amut " . Ti dur.

Rutinitas seperti ini aku lakukan setiap kali kemerahan fa jar menghiasi langit sebelah timur , sampai mega merah di langit sebelah barat pelan-pelan menghilang. Sepanjang tahun .

***

Sebenarnya , ketika aku pulang dari Pondok Kalijaran , di desaku sudah ada kegiatan PHBI dan Panitia Zakat Fitrah.
Tetapi – menurut pikiranku – kurang tertib administrasi dan transparasi . Oleh sebab itu , dalam rangka mendidik masyarakat , aku mengadakan Kepanitiaan Hari-hari Besar Islam dan Zakat Fitrah yang personilnya dari anak-anak Pondok , maksudku supaya mudah dikontrol .
Dan aku tambah pula acara khataman bagi anak yang su -dah selesai belajar Al-qur'an , dan kebetulan belum dikhi tan .

Setiap bulan Maulud , Pondok mengadakan Peringatan Maulud Nabi dan sekaligus memperingati Milad pondok Pesantren .
Betapa sulitnya ketika itu dalam pencarian dana , dikarena kan taraf kesadaran masyarakat sangatlah rendah . Untuk menutup kemungkinan kekurangan dana , aku cari pinja man di balik layar , artinya tanpa sepengetahuan panitia .
Kegiatan Maulud Nabi ini pelaksanaannya di halaman Pon dok Pesantren. Pembicaranya dari Muballigh lokal , sebab , terlalu besar dananya , apabila mengundang Muballigh tingkat Regional , apalagi tingkat Nasional .
Usai pelaksanaan , semua anggota panitia supaya ber kumpul dan melaporkan hasil kerja masing-masing . Apabila ada sisa dana , aku perintahkan supaya digunakan untuk meneruskan pembangunan pondok , meskipun ha nya sekedar memasang langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu .

Untuk peringatan " Isra' Mi'raj " aku tempatkan di rumah penduduk secara bergilir. Maksudku , supaya masyarakat mengenal dunia Pesantren dari dekat . Sebab , pengetahuan masyarakat tentang Pesantren , menurut pikiranku , sangat lah minim .
Dalam acara " Sambutan Pengasuh Pondok " , sedikit demi sedikit aku sampaikan kepada masyarakat tentang tujuan Pondok Pesantren didirikan , sesuai dengan pasal yang ada dalam Anggaran Dasar Pondok Pesantren . Dan aku sam -paikan pula , bahwa berdirinya Pondok pesantren " TADZKIROTUL IKHWAN " melalui proses panjang dan memakan waktu cukup lama serta tidak terlepas dari penderitaan dan kesengsaraan " Bocah Pesantren " .
Sebagaimana peringatan maulud Nabi , selesai pelaksana an , semua Panitia diharap berkumpul dan melaporkan ha sil kerja masing-masing. Apabila ada sisa dana , aku perin tahkan untuk melanjutkan pembangunan .

Setiap puluhan pertama bulan romadlon , dibentuklah kepanitiaan Nuzulul Qur'an dan Zakat Fithrah .
Peringatan Nuzulul Qur'an biasanya dilaksanakan pada ma lam 17 Ramadlan . Pelaksanaannya sangat sederhana.
Adapun yang menjadi Pembicara , biasanya aku sendiri. Tidak bosan-bosan , aku sampaikan kepada masyarakat un tuk sering membaca dan mengkaji Kitab Suci Al-Quran yang sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi u -mat Islam .
Aku katakan kepada mereka , " Hadlirin rohimakumulloh , sebagaimana kita ketahui , bahwa Kitab Al-Qur'an a dalah sumber hukum dalam agama Islam , oleh sebab itu kita sebagai umat Islam , hendaklah mampu membaca dan mengkaji Al-Qur'an . Karena apabila tidak ada ke mam puan untuk itu , tentu saja kita tidak tahu , mana yang diperbolehkan , dan mana yang dilarang , dalam agama Islam . Itulah sebabnya , riba yang katanya dilarang da lam agama Islam , yang dosanya berimbang dengan me lakukan zina tujuhpuluh kali dengan ibu sendiri, kenya taannya menjadi kebudayaan di tengah-tengah masyarakat Islam . Karena apa ?. Karena tidak pernah membaca dan mengkaji serta merenungi ayat-ayat yang ada dalam Kitab Suci Al-Qur'...", dengan serempak para pengunjung menyambung , " aaaan " .
Dana yang digunakan menarik Jama'ah Tarowih di setiap musholla sedesa Lemberang.

Penarikan Zakat Fithrah dimulai tanggal 21 Ramadlan , setelah kegiatan Pengajian Kilat sudah selesai.
Setelah kumpul , zakat fithrah itu dibagikan kepada para mustahiq , yaitu orang-orang yang berhak untuk menerima
nya.
Kemudian ketika hari raya tiba , disampaikanlah kepada masyarakat , jumlah zakat fithrah yang tertampung , dan jumlah orang orang yang menerimanya.

Bertahun-tahun , kegiatan PHBI dan Panitia Zakat Fitrah dikelola oleh Pondok Pesantren . Rencananya , akan aku kembalikan lagi kepada masyarakat umum , ketika telah lahir generasi muda yang dapat aku percaya .
Aku tetap mempertahankannya , meskipun dari sana sini terdengar suara sumbang yang keluar dari lidah orang-orang yang tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya.

Acara khataman Al-Qur'an yang diadakan Pondok sangat menarik , dan mampu membangkitkan minat anak-anak ke cil untuk ikut ngaji Al-Qur'an di Pondok . Karena anak yang khataman dan akan dikhitan , ditandu berkeliling mengitari desa . Tandunya berbentuk gambar yang disukai anak-anak , misalnya berbentuk kapal terbang , unta , dan sebagainya. Panjang tandu itu sekitar empat setengah meter , dengan lebar dua meter , dan di tengahnya diberi tempat duduk.
Anak yang akan dikhitan , setelah dihias warna-warni dan berpakaian seperti Pangeran Diponegoro , supaya naik dan duduk di tengah tandu. Kemudian tandu diangkat oleh empat orang dan berjalan mengelilingi desa Lemberang .
Ratusan anak berbaris di belakang tandu . Adapun di de pannya , rombongan atraksi sekitar limabelas anak , yang terdiri dari anak-anak santri yang besar.
Sungguh acara itu sangat memukau para penonton sepan jang jalan . Lebih-lebih ketika bola api melayang di udara dan jatuh tertangkap tangan-tangan kosong , kemudian di tendang ke sana ke mari seperti kesebelasan Kamerun ketika berhadapan dengan kesebelasan Inggris . penonton tertegun dan merasa ngeri , serta merta bertanya-tanya, " Doa apa yang dibaca, sehingga panasnya api tidak dirasa ?".
Padahal andaikata mereka mengetahuinya, pasti tiada henti-henti tertawa, sebab yang aku gunakan bukan doa japamantra, tetapi, hanyalah larutan kimia yang aku poleskan sebelumnya.
Sayang sekali, acara seperti ini dilaksanakan hanya beberapa kali, karena keterbatasan dana Pondok Pesantren. Sedangkan dari orang tua anak hanya mampu membantu senyuman bangga , dan sedikit uang yang tidak berimbang dengan penggunaan dana .



***


Di bulan Maret tahun ini , tahun 1982 , mestinya hatiku berbunga-bunga , mestinya aku panggil remaja sekampung ,untuk bersama menyanyikan lagu Ulang Tahun ,kemudian aku meniup lilin berjumlah duapuluhlima, dan roti sebesar tempayang aku potong, dan aku bagikan bersama botol seven – up kepada mereka , karena bulan Maret tahun ini usiaku genap 25 tahun. Aku lahir tanggal 12 Maret 1957 .

Tapi yang terjadi malah sebaliknya , di bulan Maret tahun ini , kabut hitam menutup hatiku , sebab Éyangku , Haji Abdullah , salah satu Tokoh Agama di desaku dipanggil menghadap oleh Rabbku."Innâ lillah , Wainnâ ilaihi Rõji-'ûn .
Dengan meninggalnya Eyang Haji Abdullah , artinya kekuatanku dalam mengelola Pesantren berkurang , sebab ketika ada kesulitan , biasanya aku mengadu kepada beliau , ayahku , dan atau Kyai Nawawi .
Meskipun beliau hanya mengatakan , ” sing sabar..." , tapi cukup membangkitkan semangatku kembali . Karena kata itu keluar dari orang yang pernah terjun langsung dalam medan perjuangan , sehingga beliau sudah banyak menelan pahit getirnya .
Beliau inilah yang membangkitkan kembali cita-cita mem- bangun Pesantren , cita-cita yang sudah terkubur selama 43 tahun ( 1933 — 1976 ). Maksudku , sudah tidak pernah terlintas lagi dalam setiap sudut hati masyarakat desaku.
Tetapi , menurut pengamatanku , cita-cita Pesantren tidak pernah padam dari hati H . Abdullah . Buktinya , beliau sering bercerita , salah satu dari sekian banyak cucunya akan di-pesantren-kan , supaya belajar khusus Al-Qur'an ,
dan dikemudian hari mendirikan Pesantren Khusus Al-Qur'an .
Sayang sekali , ketika aku mengemban amanatnya , beliau sudah lanjut usia , sehingga apabila aku mengadu ada orang meng-halangi langkahku , beliau hanya mampu berucap, " sing sabar.....sing sabar " .
Sulitlah dibayangkan , andaikata beliau masih seperkasa dulu , apabila aku mengadu kepada beliau tentang orang yang mencemooh aku , pasti saja , beliau langsung menyambar tongkat yang bergantungan di pagar , dengan langkah cepat mendatangi orang itu , minim orang itu didamprat , atau mungkin hadiah " pentungan tongkatnya"
harus dirasakan . Andaikata tidak ada sifat ke-umaran-nya H. Abdullah ,mungkin hingga sekarang masih banyak pisang emas dan secangkir kopi di " Siwuluh " [47] Dengan diobrak-abriknya tanah Siwuluh oleh beliau , hilanglah adat sesaji di desaku.
Dalam bidang keilmuanpun beliau sangat memperhatikan ,
hal ini dibuktikan waktu setiap malam minggu pertama aku membaca Tafsir Jalalain , sebenarnya pengajian ini adalah pengajian pribadi ayahku , kemudian oleh beliau supaya pindah ke Masjid , dan dilaksanakan pagi hari Minggu,maksudnya , supaya Guru-guru Agama bisa mengikuti , kata beliau , " ngajine kon pindah maring mesjid , maksude inyong , guru guru agama kon pada mėlu ngaji , ngkėnė akėh guru agama , tapi pada ora tėyėng maca qur'an , ora tėyėng maca qur'an " [48] . Aku sendiri kurang paham maksud beliau , apa yang dimaksud tidak bisa membaca Al-Qur'an itu dalam arti bacaan yang kurang fasih dan tidak sesuai dengan Ilmu Tajwid , ataukah dalam arti tidak mengamalkan isi Al-Qur'an , atau kedua-keduanya .
Dalam perjuangan Agama , beliaupun berpandangan jauh ke depan , beliau berusaha adanya tanah wakaf , walaupun harus berhadapan dengan orang-orang B T I yang berusaha
untuk mengembalikan tanah wakaf kepada pemilik pekulěn.
Dan ketika ayahku diajak pindah ke Jakarta oleh KH.Saifuddin Zuhri , beliaupun yang mencegah . Semua ini, beliau lakukan demi perjuangan Agama di masa mendatang . Secara lahiriyah , andaikata ayahku jadi pin-dah ke Jakarta , dan diberi posisi oleh KH. Saifudin Zuhri , yang ketika itu menjabat sebagai Mentri Agama , mungkin di desaku belum berdiri Pondok Pesantren , dan mungkin akupun tidak pulang ke kampung halaman , karena aku menjabat sebagai Dirjen di Departemen Agama .

Hubungan ayahku dengan Eyang H. Abdullah , memang sangat akrab. Maka ketika beliau semakin repot , ayah se ring dipanggil dengan alasan apabila melihat wajah ayah , beliau sangat mudah ingat kepada Alloh . Kata beliau ," Turbi , inyong sering dě tiliki ěngganě , inyong angger weruh kowě , dadi gampang ěmut Gusti Allah "[49]
Maka ketika ajal sudah dekat , beliau tak bernafas selama beberapa menit , ayahku yang paling awal mengetahui , bahwa beliau sedang berwuquf qolbi , kemudian keesokan harinya , hari Sabtu Pon , tanggal 13 Maret 1982 , beliau-menghadap ke hadlrah rabbku , untuk menempati tempat yang telah disediakan , sesuai amal perjuangannya .

.......selamat jalan eyang haji abdullah , semoga
lahir abdullah-abdullah muda di masa mendatang......









BAGIAN KEDELAPAN
S


uatu hari, aku kedatangan teman dari Pondok Kalijaran ,ia membawa amanat dari Guruku untuk disampaikan kepadaku. Amanat itu berupa anjuran, aku supaya segera menikah, supaya istiqomah dan tenang dalam mengelola Pesantren .
Memang benar, selama ini aku hidup tidak tenang, piki rannya selalu saja terbang mengawang tembusi bintang ge mintang yang berkedip di tengah kebiruan hamparan langit tak bertepi. Apalagi ketika malam hari, waktu rebahkan tu buh untuk mengusir letih dan kepenatan.
Untuk menghilangkan itu semua, entah berapa puluh judul roman dan cergam yang aku baca setiap hari. Bahkan ka -dangkala, aku terpaksa pergi ke "Braling Theater" Purba lingga, atau " Rajawali Theater" Purwokerto, apabila ada film yang menarik hatiku, dan kebetulan kantong bajuku berisi.

Setelah aku berpikir panjang, untuk dapat hidup tenang, tidak ada jalan lain kecuali menikah. Tapi dengan siapa ?.
Sedang Maysaroh putri Kiai Abu Ja'far pinanganku telah berbeda pandang dengan aku dalam melihat kehidupan.
Sebenarnya perbedaan pandangan ini telah aku rasakan se jak Desember 1978, tapi aku selalu saja menunggu dan menunggu, siapa tahu di hari-hari mendatang, ia dapat me ngembalikan pandangannya di satu titik pandangan hidup ku.
Namun semakin hari, perbedaan pandangan itu semakin melebar jaraknya, dan akhirnya ia minta kepadaku, bahwa benang sutra kasih yang aku tambatkan supaya segera dipu tus.
Walaupun aku harus mengecewakan Kiai Abu Ja'far yang kuanggap seperti ayahku sendiri, walaupun aku harus me ngecewakan mas Imam Shodiq yang sudah seperti saudara kandung dalam perasaanku, aku putus benang sutra itu, dan aku biarkan ia terbang jauh dan menjauh, untuk men cari kebahagiaan hidup yang sesuai dengan pandangan dan pikirannya.
Mudah mudahan kesuksesan selalu saja menyertai perja lanan hidupnya. Semoga .


***

" Apa kamu tidak mau menikah, kalau tidak dengan anaknya Kyai Abu Ja'far, di sini kan banyak gadis, tinggal pilih ! ", demikian kata ayah, ketika melihat aku berbaring di atas meubel panjang. Mungkin ada kekhawatiran dalam hatinya , kalau aku frustasi , karena gadis yang dinanti per gi. Ditambah lagi ayah sering mendengar aku menyanyi kan lagu "FRUSTASI" nya Ebiet.G.Ade , ketika aku ada dalam kesendirianku :
semalaman,
aku terbaring di sini
di balik dinding
bambu yang tua
kusendiri
kuku jariku meredam
aku ingin berdiri
tapi bulu kudukku
menari lembut
dihembus angin
aku bernyanyi
untuk menahan letih
bukan jatuh cinta
padamu gadis manis
telah kupejamkan
semua mata
bagi cinta kasih
yang gemerlapan
biar kubenahi
hasrat di hati
ke manapun langkah
kan kubawa lari
tubuh dan sukmaku
yang dalam sakit
dibakar semangat
dunia yang semakin
tak bisa ku mengerti
sekarangpun
aku masih ragu
mesti ke manakah
mataku memandang jauh

Atau karena aku selalu menolak , apabila ditawari seorang wanita supaya mendampingi aku di kala susah dan senang. Aku menolak bukan karena kefrustasian yang bersarang da lam hatiku. Aku menolak, karena aku tidak ingin mengece wakan siapapun. Dengan alasan inilah, mas'alah perjo dohan sengaja aku melepaskan diri dari ketergantungan dengan sesama. Aku akan ber-rembug diri dengan rabbku, apapun keputusanNya, akan aku jalani, sekalipun aku ha rus berjodoh dengan Nyi Blorong putri tunggal Raja Naga Boga.

Di balik malam yang sepi, dalam mihrab aku duduk sen diri. Sukmaku menanggalkan baju nasutku, dan melebur diri dalam keakuanku. Sehingga aku tidak tahu yang seben arnya " siapa aku ", dan tidak tahu di mana keberadaanku. Hanya keagunganNya yang dapat dirasa di balik rasa keti daktahuanku.
Dalam keadaan yang aku tidak tahu, sekencang-kencang nya aku memanggil nama Rabbku ;

Rabbku.............
Bila Engkau menulis aku berjodoh
Tunjukkan kepadaku namanya
Tunjukkan kepadaku wajahnya
Biar aku kan mencarinya
Walau di ujung dunia
ia berada.
Tapi..........................
Bila tidak berjodoh
Dengan sepenuh hati akan kujalani
Yang penting bagiku
Engkau tidak pernah marah kepadaku
Rabbku........
SenyumMu adalah harapanku
Dan.......
MaafMu lebih luas
Dari kesalahanku.
..........Rabbku..........
Ketika sukmaku kembali menggunakan baju nasutku, aku berada di antara sadar dan tidak, berkelebat gadis cilik be-rambut hitam pekat memanjang, kulit sawo matang, ber wajah manis dan diperindah dengan butiran jerawat satu dua, dan dikeningnya ada sederet huruf hijaiyah; Cho fathah Cho, Lam kasroh Ya sukun Li, Fa' fathah ha' sukun Fah. Cho-Li-Fah.
Penampakkan gadis ini membangkitkan aku kembali di a-lam sadarku. Dengan ber-alhamdu lillah aku tinggalkan -mihrab.

Sejak itu , aku meyakini dengan 'ainal yakinku , bahwa ga-dis yang akan mendampingiku bernama Cholifah, gadis kampung polos tak berpoles, yang cerdas dan gesit, nyaring suaranya ketika berkata-kata, bak kicau burung camar bertengger di ujung mayang padi yang menguning.
Dari kejauhan, aku lemparkan kepadanya, sekuntum ma war segar berwarna merah jingga. Dan....... sambil senyum malu-malu, mawar itupun ia tangkap dengan kedua tangan nya yang halus sehalus sutra diwangga.
Akhirnya , kami berdua menyepakati untuk mendayung bahtera dengan sauh hidup apa adanya tanpa neka-neka.
Dikuburlah dalam-dalam segala pikiran matrial oriented, di tendanglah jauh-jauh segala sifat tamak yang menyeng sarakan, dan dihapuskanlah segala sifat kecerobohan dari relung hati.
Kesepakatan ini akan selalu dipegangi, biarpun bintang-bintang di langit runtuh-luruh, ataupun bumi membelah jadi tujuh, dan atau badai lautan Hindia menenggelamkan Pulau Jawa. Mantap.
Namun kedua bibirku selalu kelu, setiap kali aku akan menyampaikan kepada ayahku. Karena kakangku , Ali Muntahib, telah menikah dengan kakak perempuannya, Kartimah. Sedangkan tradisi di desaku, dan umumnya di daerah Banyumas, adalah pantangan besar , apabila terjadi pernikahan antara kakaknya dengan kakaknya, dan adik nya dengan adiknya. Tapi, aku tidak pernah menganggap hal itu sebagai pantangan, karena Syari'at Islam tidak per nah melarangnya.
Dengan berbagai pertimbangan, aku menganggap terlalu pagi untuk menyampaikan hubungan kami berdua kepada kedua orang tua masing-masing. Maka aku biarkan ia berkembang secara alamiah sesuai kodratnya, dan aku me-yakini, cepat atau lambat kedua orang tua pasti akan mengetahui.

Suatu hari , usai makan pagi, aku diperintah oleh ayah su paya mengambilkan slepa [50] . Aku pergi ke dapur untuk mengambilnya. Dalam setiap langkah, ada terlintas dalam pikiran " mengapa ayah perintah aku supaya mengambil kan slepa", tidak seperti biasanya.
Dengan penuh sopan, aku letakkan slepa itu di depannya, dan aku langsung pergi. Baru sekitar delapan langkah, tiba-tiba ayah memanggilku, " sul...duduk dulu sini !? ". Akupun berbalik langkah menuju ayah yang sedang mulai melilit tembakau, dan duduk di depannya.
" Aku dengar-dengar, kamu sedang senang Cholifah, apa benar ?", demikian pertanyaan ayah untuk mengawali pembicaraan, sembari memutar-mutar lilitan tembakau di tengah telapak tangannya.
Dengan bibir bergetar-getar, dan air mata melinang-linang, aku menjawab dengan suara antara terdengar dan tidak,, "Iya ....pak". Kemudian ayah bertanya, "apa sudah kamu pikir ?!". Aku menjawab," ya... sudah ".
Sebagai kata pamungkas, ayah mengatakan , " aku shi percaya padamu sul, setiap kali kamu melangkah pasti sudah dipikir-pikir lebih dulu, kalau memang kamu benar-benar senang Cholifah, besok aku akan datang ke rumahnya, untuk melamar".
Lir kadya siniram banyu pancuran sewu, kesejukan hati be nar-benar aku rasakan, semangatku berlipat-lipat untuk ber mukim di desa tempat aku dilahirkan. Musnahlah dari ke dalaman kalbuku, segala bayangan akan mukim di sana dan di sana.
Andaikata mereka tahu apa yang bergejolak dalam diamku selama ini, aku yakin seyakin-yakinnya, mereka akan me ngacungkan ibu jari setinggi-tingginya buat Cholifah, gadis kampung berwajah oval yang mampu menyem buhkan lukaku yang teramat dalam, dialah satu-satunya ga dis yang mampu menyadarkan diriku, bahwa aku masih berhak untuk menikmati sinar matahari di esok hari.
Tidak pernah dibayangkan orang, bahwa aku pernah ber pikir mulhid , ketika kegundahan berputar-putar bagai gangsing di tengah pusaran darahku yang lagi mendidih meluap luap. Penggambaran kaum sufism semisal Ibnu 'Arobi tentang kehebatan daya yang ada dalam tubuh pe rempuan aku anggap sebagai isapan jempol yang dipoles dengan ketahayulan.
Keadaan seperti inilah yang mungkin tersirat dalam basiroh Guruku, sehingga beliau mengutus salah satu san trinya untuk menemui aku, dan paring dawuh aku supaya segera menikah.
Mungkin beliau menghawatirkan aku berlarut-larut dalam kemulhidanku.
Namun kehadiran Cholifah sigadis kampung yang tak per nah berpoles, meluruskan kembali dari kemulhidan piki ranku. Kemudian akupun meyakini kebenaran ungkapan kaum sufism semisal Ibnu 'Arobi dan Al-Ghozali, akupun membenarkan argumentasinya As-sya'roni ketika mengu -pas kewajiban mandi setelah bersebadan.
" Rabbku..........
maafkan semua kekeliruan pikiranku" .


***


Pada umumnya, orang melamar tidak dilakukan langsung oleh sohibul hajat, biasanya diwakilkan kepada kerabat atau tetangga dekat, seperti yang sering aku lihat. Tetapi sangatlah berbeda ketika ayahku melamarkan aku. Beliau datang langsung bersama Pak Likku Suswandi ke rumah orang tua Cholifah yang kebetulan memang sudah menjadi besannya sejak tahun 1976.
Aku kurang tahu pasti, mengapa ayahku datang sendiri. Ada kemungkinan karena beliau sangat senang anaknya sudah bisa senyum lagi, sudah tidak pernah lagi tiduran sendiri, terlentang sambil mengerut-ngerutkan kening dan menghitung-hitung bambu usuk di langit-langit rumah. Dan yang paling penting, anaknya sudah mantap akan bermukim di desa sendiri. Sudah tidak disangsikan lagi. Pasti.
Ayahku tidak lama di rumah Cholifah. Sekitar satu jam lebih sedikit.
Hatiku berselimut kegembiraan, waktu mendengar hasil kesepakatan kedua belah pihak, bahwa aku akan dini kahkan tanggal : 06 September 1984, yang berarti usiaku sudah 27 tahun.

Dalam penantian, dirasa olehku matahari terlalu lambat jalanannya. Serasa dari saat terbit sampai saat tenggelam nya tidak lagi 12 jam, tapi 365 hari.
Ingin rasanya, aku menarik matahari dengan cepatnya se tiap hari. Atau aku ingin menemui Bathara Surya, dan ber kata kepadanya," hai bathara surya, apa kamu tidak ingat ketika Kunthi Talibrata berjemur di pinggiran sungai gangga, kamu kan tidak mampu lagi untuk menahan nafsumu, dan lahirlah Adipati Karna, sekarang kamu kan tahu, aku lagi dalam penantian yang membosankan, maka percepatlah perjalanan matahari yang engkau kendalikan ! ".
Akhirnya akupun hanya bisa menunggu peredaran waktu dengan sabar dan tawakal.

Hari Kamis Legi 6 September 1984 adalah merupakan pintu gerbang aku memasuki Rumah Tangga. Hari Perni -kahanku.
Acaranya sangat sederhana, tapi cukup berkesan, dan be lum pernah ada di desaku.
Ba'da shalat dzuhur, aku dihantar oleh ayah dan beberapa teman untuk datang ke rumah Cholifah. Dengan setelan Jas pemberian marasepehku, aku berjalan dengan langkah seorang Bupati yang akan meresmikan proyek bangunan yang baru selesai penggarapannya.
Detak suara sepatuku juga ikut berperan menambah kewi bawaan. Setiap kali berpapasan orang, pasti ia mengang gukkan kepala sebagai rasa hormat kepadaku. Di bela-kangku, dari sekian banyak yang mengiring, satupun tak ada yang berani senyum, apalagi bergurau.
Namun ketika aku sampai di depan rumah Cholifah, mas'a lahnya jadi berbeda. Yang tadinya kedatanganku seperti ke datangan seorang Bupati, berobah seperti kedatangan seo rang Pelawak. Semua tertawa sambil geleng-geleng kepa la. Sebab, musik dan lagu untuk menyambut kedatanganku tidak seperti yang dibayangkan dalam hati mereka.
Umumnya, musik penyambutan penganten bernuansa isla mi, atau bernuansa budaya Jawa. Tetapi, dalam acara perni kahanku, keduanya tidak digunakan.
Ketika sang penganten datang , disambut dengan lagu pop " Suzana " yang ada dalam album Madu dan Racun.
Tepat, waktu aku mau duduk di kursi yang ada di depan Penghulu, bait ter-akhir lagu itu terdengar , ".......... suzana .....suzana.....kucinta padamu"
Usai "Ijab wal Qobul" , acara dilanjutkan dengan sambutan dari pihak penganten putra dan putri.
Pertama dari pihak penganten putri, namanya kalimah tafwiedl, disampaikan langsung oleh Cholifah istriku. Setelah ia memasrahkan sekujur tubuhnya kepadaku, ia membakar semangatku untuk berjuang li i'laa'i kalimatillah hiyal 'ulya. Katanya, ".......suamiku, ayo berjuang, berjuang terus hai suamiku, aku selalu ada di sampingmu"
Sulit bagiku untuk menghitung tetesan air mata yang me ngaliri pipi para pengunjung, saat mereka mendengar kali mat tafwiedl istriku.
Sambutan kedua dari pihak penganten putra, namanya ka limat al-qobul, disampaikan langsung oleh aku sendiri, de ngan bahasa ringan aku menerima pasrah istriku, " Istriku say.... aku terima sekujur tubuhmu, baik yang kelihatan a-taupun yang tidak,besar atau kecil aku tidak akan mempermasalahkan.Isriku say............".
Gelak tawa para pengunjung memecah suasana, entah apa yang ditertawakan, aku sendiri kurang tahu dengan pasti, perasaanku, aku mengatakan sesuatu yang wajar dan tidak ada kelucuan di dalamnya.
Sambutan ketiga, dari orang tua kedua mempelai, namanya nasihah, disampaikan langsung oleh ayah, yang sekaligus mewakili Bapak Mukarta mara sepuhku.
Ayahku banyak memberi nasihat dan pesan kepada kami berdua, tentang hal-hal yang berhubungan dengan ke rumahtanggaan. Dan sebagai penutup, ayah memberi tam bahan nama di belakang namaku yang asli. akhirnya na-maku menjadi " Syamsul Qodri Cholifatul Bari". Sebuah nama bermakna dalam sejarah perjalanan hidupku.

***

Setelah selamatan tujuh bulan kehamilan istriku, kami ber dua menmpati rumah baru yang harganya 24 juta sen.
Rumah mewah, apabila diperbandingkan dengan gubuh sa wah. Aku tidak perlu menggunakan Air Conditioner, lan taran tembok rumahku dapat mengeluarkan hawa dingin melalui ribuan lubang kecil yang melebar dan memanjang di pagar bambu beranyam. Dan ketika turun hujan, atap ru-mahku dapat mengeluarkan air dari puluhan lubang, sehing ga tidak repot-repot mengambil air untuk membersih kan lantai. Dan yang aneh, apabila ada angin kencang, atap rumahku bisa menari-nari, kemudian melepaskan diri dan terbang setinggi satu meter.
Dalam rumah seperti inilah kami hidup rukun, damai, dan setiap harinya, kami berdua memperbaharui cinta kasih de-ngan perselisihan-perselisihan kecil.

Jam empat pagi kami berdua harus sudah bangun, untuk be kerja. Isteriku memasak nasi, sementara aku men cuci.Setelah pekerjaan rumah selesai , kami berdua me laksanakan tugas masing-masing. Istriku mengajar di SD, sementara aku mengajar di Pesantren.
Lepas shalat dzuhur kami berdua baru bisa berkumpul kem bali untuk bersenandung kidung kasih yang selalu mekar dalam rasa, walau hidup serba kurang lantaran keuangan yang selalu kembang kempis. Sebab, input keuangan tidak sebanding dengan outputnya.

Ada pengalaman pahit yang sempat dirasa dalam awal aku dan istriku mendayung bahtera rumah tangga. Saat itu 'not have mony' sama sekali, padahal persiapan lauk makan sore sudah habis. Kami berdua bingung, karena pohon kara yang ada di tanggul sumur sudah habis dipetik setiap hari untuk dibuat sayur.
Dalam rangka menghibur diri, ba'da shalat ashar kami ber-dua jalan-jalan. Waktu melintas tanggul sawah, aku meli hat ada tumpukan jerami yang mulai membusuk. Dan di sana ada berbaris-baris jamur berwarna putih. Aku mengi ranya sebagai ' jamur merang' yang biasa dimasak. Maka aku berteriak keras kepada istriku yang ketinggalan jauh di belakangku, dikarenakan jalannya yang pelan, "Bu...bu...ini ada jamur putih, kata orang jamur yang tumbuh di jerami dapat dimasak dan rasanya enak". Tanpa banyak pikir berbahaya atau tidak, kami mencabut nya satu-satu.
Sampai di rumah, jamur itu dimasak dengan bumbu sisa kemarin.
Usai shalat maghrib, kami berdua makan sore dengan sayur jamur tadi. Tidak lama kemudian, istriku mengeluh sakit kepala dan berkunang-kunang. Aku amat bingung, mau dibawa ke Puskesmas, tidak ada uang. Maka sebisa nya, aku mengobati istriku. Aku ambil segelas air, kemudian bibirku komat-kamit membaca mantera-mante ra yang aku peroleh ketika di Pesantren, ketika aku meng geluti bidang Ilmu Dukun.
Al-hamdu lillah aku bertahmid, tidak lama kemudian istri ku siuman kembali.
Setelah kupikir-pikiir, rupanya jamur tadi itu jamur ber-racun, bukan jamur yang biasa dimasak. Untunglah dalam catatan rabbku, hari itu bukan hari kematian bagi istrku yang selalu kusayang sepanjang kuku-kuku jariku .
Kejadian itu membuat aku sulit untuk memejamkan mata di setiap malam. Dalam benakku selalu saja terlintas perta-nyaan " Apa kata orang, andaikata istriku mati hanya kare na gara-gara makan jamur". Padahal ada pepatah menga takan "Fa'aarun stumma 'aarun stumma 'aarun, syiqoo-ul mar'i min ajli tho'aami", amat cacad sekali, kecelakaan se seorang karena makanan.
Aku yang baru lagi merangkak dalam perjuangan mengelola Pondok Pesantren, akan jatuh sedalam-dalamnya ke dalam jurang kenistaan.
Hancurlah sudah segala usahaku untuk menutupi penderi taan hidup yang aku jalani selama ini.
Memang, siapapun tidak pernah berpikir kalau aku selalu hidup menderita, termasuk keluargaku dan keluarga is triku. Sebab, penderitaan itu aku simpan di dalam rasaku, dan ditutup dengan selimut keceriaan istriku.
Ada alasan kuat, mengapa aku selalu menutup-nutupi pen deritaan hidupku. Hal ini sangat terkait dengan janjiku kepada ayah waktu aku menolak untuk melanjutkan sekolah, yaitu tidak akan menyesali apabila dari sekian ba nyak anak, hanya aku yang tidak menjadi pegawai negeri, dan tidak jelas sumber penghasilannya untuk menutup ke butuhan hidup. Artinya, ketika aku mengeluh , sama arti nya aku mengingkari janji kepada ayah.
Itulah sebabnya, bagaimanapun keadaan hidupku yang se benarnya, tidak pernah aku tampakkan kepada siapapun, meskipun setiap malam, aku harus menangis tersendu-sendu.
Di samping itu, sikap menutup - nutupi keadaan kehidupan ku yang sebenarnya, juga dilatarbelakangi omongan orang yang aku dengar waktu aku masih bujangan.
Masih ada dalam benakku, ketika itu di desaku ada pemba ngunan sier. Waktu istirahat, para pekerja dalam ber bincang-bincang membicarakan aku. " Syamsul siang malam mulang ngaji, besok kalau punya istri,apa mau diberi makan Yasin ? ", kata salah satu dari mereka. Maka orang yang simpati kepadaku membantah kuat-kuat, terjadilah percekokan yang menegangkan di antara mereka
Itulah sebabnya, biarpun hanya seperjuta detik, takkan pernah melintas dalam pikiran masyarakat, bahwa aku pernah memungut putung rokok di jalan dengan ibu jari kakiku untuk menipu mulutku yang berlendir karena tidak merokok.

Ketika aku masih bujangan , aku memang selalu punya uang, sebab aku masih bekerja sebagai bengkel radio. Namun, untuk meluluskan permintaan istriku tersayang, aku sekarang berhenti dari dunia perbengkelan.
Sikap istriku ini kuanggap sangat bijak dan lahir dari kasih sayang seorang istri kepada suaminya yang selalu sibuk dengan pekerjaan, siang-siangnya habis untuk mengajar anak santri, dan malam-malamnya selalu larut mengotak-atik elektron demi sesuap nasi. Melihat keadaanku seperti ini, dengan keridloan hati dan berpasrah diri, istriku memilih hidup serba kurang, daripada kegiatan Pesantren harus berhenti.
Itulah nilai plus yang ada dalam diri istriku. Andaikata aku tidak takut " dianggap berlebihan", maka akan aku katakan sekeras-kerasnya, " Inilah Cholifah istriku, Chatijah abad duapuluh,Rabi'ah 'Adawiyah yang hidup di tengah masyarakat matrialis ".
Aku katakan demikian, karena ia mau berkorban demi perjuanganku. Ia mau hidup serba kurang karena ketidak beradaanku. Bahkan yang sangat menarik bagiku ketika ia mengatakan," Pak,mas'alah ekonomi nggak usah bingung-bingung, itu urusanku".
Di zaman seperti sekarang ini, sangatlah sulit mencari pendamping hidup yang "nrima ing pandum" sesulit men cari "burung gagak berbulu putih". Padahal bagi Pengasuh Pesantren sangat dibutuhkan. Betapa tidak, karena Penga suh Pesantren waktunya habis untuk mengajar, menerima tamu, dan mendatangi undangan orang yang membutuh kan, sehingga tidak ada kesempatan banyak untuk berpacu mencari harta di tengah persaingan hidup yang serba matri alis.

***

Tanggal 1 Juli 1985, penghuni rumahku tambah satu. Se-bab, anak pertamaku lahir. Dan aku memberi nama kepa danya "ZUHROTUL UMAMI LAILATAL ISTNAINI".
Nama ini dilatarbelakangi kesenanganku melihat bintang "Zuhroh" ketika menampakkan diri, baik di ufuk barat -maupun di ufuk timur, baik pagi maupun sore hari, tergantung posisi jaraknya dengan matahari.
Bintang Zuhroh — dalam astronomi dinamakan planet Ve nus — ketika tampak , adalah salah satu bintang yang pa ling terang di antara jutaan bintang yang ada di sekitarnya.
Dengan nama " Zuhroh " aku berharap, anakku kelak akan paling nampak dalam segala hal yang baik di tengah-te ngah masyarakat ( Umam ). Sehingga ia patut diteladani dan selalu dipandang oleh orang banyak, sebagaimana mereka memandang bintang Zuhroh yang dikenal dalam masyarakat Jawa, dengan nama " Lintang Pancer Soré " dan " Lintang Pancer Ếsuk".
Ketika anakku lahir kebetulan planet Venus, si Bintang Zuhroh itu, sedang ada di Zodiak Taurus.
Dengan kehadiran seorang anak di tengah-tengah kami, kebahagiaan hidup dirasa berlipat-lipat.
Lengkingan tangisnya adalah gesekan biola halus dan lem but, yang mampu mengusir segala kegundahan dan kesedi han. Keceriaan tawanya adalah dentingan gitar yang di –petik oleh jari-jemari trampil bebarengan rentetan lirik-lirik bermakna ; ....ingin kugendong
dan kutimang-timang
kan kubimbing di jalan yang lurus
kenalilah bapakmu
kenali ibumu
dan negeri ini
tanah airmu .....
berbahagialah
dan bersyukurlah
atas kehadiran anak kita
Kehadiran simungil , adalah benar-benar merupakan mak nanya rumah tangga yang sebenarnya, yang hanya dapat diterjemah dengan bahasa rasa. Oleh sebab itu, walaupun untuk merawatnya harus menjual semua perhiasan yang ada, kami berdua tak pernah memperhitungkannya. Maka ketika istriku berkata, "Pak.....perhiasanya habis, tinggal cincin saja". Akupun dengan tegas mengatakan ," sudah ... ...jual saja semua, percayalah bu, besok kamu akan punya perhiasan lebih banyak dari pada sekarang".
Aku bersikap seperti itu, karena menurut pikiranku, harta akan punya makna, apabila berhasil dalam merawat anak, baik perawatan lahir, maupun perawatan bathin.Apalah artinya uang sekeranjang, apabila anaknya sakit-sakitan, atau bodoh tak tahu arah ke mana ia harus berjalan.
Mungkin pemikiran seperti ini keliru menurut orang yang tidak tahu ' apa sebenarnya harta itu' , yang kikir dalam merawat anaknya. Sehingga apabila anaknya sakit-sakitan, atau bodoh akibat tidak sekolah atau nyantri di Pesantren, ia tidak akan mempedulikan apabila semua itu harus diba yar dengan hartanya.
***
Mungkin dalam catatan Rabbku aku tidak tertulis berlama-lama mereguk kebahagiaan hidup, sehingga selalu saja ada yang menyusahkan hati. Atau memang alam dunia ini tem pat orang susah, sehingga selalu datang ber-runtun gilir gu-manti hal-hal yang menyusahkan hati.

Ketika aku dan istriku lagi merasakan nikmatnya meni mang-nimang simungil, ayahku, Bapak Asymuni, diharus kan menghadap kepada Rabbku.
Ayah menghadap ke hadlrah Rabbku hari Rabu pahing tanggal 15 Januari 1986 , usai shalat maghrib.
Sebelumnya ayah sempat dirawat di rumahku. Aku dan istriku Cholifah merawatnya dengan kemampuan yang a -da.
Setiap hari istriku membuatkan bubur untuk ayah, karena ayah sudah terlalu berat untuk menelan selain bubur, penyebabnya tumor coly di otak belakang semakin membe sar, meskipun beberapa bulan yang lampau benjolan yang ada dileher sudah dibedah oleh dr Ibnu Ibrahim.
Ada pengalaman menarik ketika aku merawat ayah. Seki tar jam :09.00 pagi, ayah berteriak-teriak, "tampani.... .tampani" [51]. Aku sendiri yang ketika itu ada di dekatnya ti dak tahu maksud ayah. Maka akupun hanya diam membi su. Kemudian kata-kata itu diulang kembali beberapa kali oleh ayah. Dalam rangka menenangkan ayah, maka aku ka takan kepadanya sebagai jawaban, " inggih sampun kula
tampi" [52]. Meskipun aku sendiri benar-benar tidak tahu arti sebenarnya yang dikatakan ayah. Tapi anehnya, ada tersirat
rasa kelegaan mendalam di garis-garis wajahnya ketika be liau mendengar jawabanku yang asal-asalan.
Waktu beliau punya kesadaran yang sempurna, aku mena nyakan kepada ayah tentang maksud kata-katanya. Kemudian ayah menjelaskan," ngéné sul.....Gurumu,Kyai Hisyam rawuh ngasta kitab ngundung-ngundung,kitab mau diparingaken maring aku, supaya diwéhaken maring kowé" [53].
Penjelasan dari ayah benar-benar membingungkan hatiku. Oleh sebab itu aku mencoba untuk menganalisa sendiri, meskipun analisaku mungkin terlalu jauh dari kebenaran.
Ada dua kemungkinan penyebab ayahku berteriak - teriak seperti itu.
Pertama, mungkin waktu itu beliau sedang tidak karuan se bab penyakitnya, sehingga beliau mengatakan sesuatu seke nanya saja.
Kedua, mungkin ada terkait dengan kekhawatiran beliau waktu aku masih di Pesantren. Waktu ada berita bahwa a-ku bisa membaca kitab yang belum pernah mengaji. Ayah mengkhawatirkan " kebisaanku membaca kitab tanpa ngaji " adalah merupakan Istidroj, atau sejenis bantuan dari se-
bangsa Jin.
Kekhawatiran itu mendorong ayah menemui Guruku, mes-kipun aku sudah memberitahu kepadanya bahwa kebisa -anku membaca kitab tanpa ngaji itu disebabkan karena ke ahlianku dalam bidang ilmu alat.
"mboten napa-napa"[54], demikian jawaban Guruku ketika itu.
Mungkin, dalam keadaan tidak karuan menahan rasa sakit nya, kekhawatiran ayah tentang aku, muncul kembali.
Tetapi, meskipun teramat sangat kecil sekali, kejadian yang dialami oleh ayah merupakan " Ijazah Ruhaniyah" sebagai penyempurna Guruku mewariskan seluruh ilmunya kepa-daku (?), sebagaimana "Ijazah Barzakhiy" yang dilakukan oleh kaum sufistik

Aku dan istriku merawat ayah sekitar empat puluh hari. Se bab waktu ayah ada di rumahku, cobaan dahsyat menimpa keluarga besar Pondok Pesantren " TADZKIROTUL -IKHWAN". Yaitu tergulingnya Mobil Colt yang membawa anak-anak santri pencari dana Masjid At-taqwa yang dipim pin oleh Pak Likku Suswandi sebagai Ketua Panitia. Mobil itu terguling di Pageraji daerah Cilongok. Dalam peristiwa itu ada salah satu santri yang pulang ke hadlrah Rabbku, na manya - mudah mudahan Alloh menempatkan di tempat yang sesuai dengan amal perjuangannya - Shoim asal desa Bungkanel Karanganyar Pubalingga.
Sejak hari terjadinya peristiwa itu, ayahku memaksa minta dipulangkan ke rumahnya. Dengan digendong oleh kakang ku, Achmad Sholichin, kemudian dinaikkan becak, ayahku dipulangkan.
Setelah ada di rumah ayah, secara bergilir semua putranya menunggu, kecuali yang jauh-jauh.
Walau sakitnya semakin parah, ayah selalu saja mempe-ringatkan shalat kepada putra-putra yang lagi menunggu., a pabila waktu shalat tiba.

Hari Selasa manis 14 Januari 1986, sekitar jam: 20.00 ayah memerintahkan kepadaku supaya menata kursi," kursi-kursiné ditata,lan aku ditokna sing kamar, ngésuk arep akéh tamu[55]", demikian perintah ayah.
Malam itu juga beliau dikeluarkan dari kamarnya oleh put ra-putranya, dan kursipun ditata sebagaimana perminta -annya .
Jam:08.00 pagi, hari Rabu pahing 15 Januari 1986, aku di-panggil ayah.
" sul.....jukutna kertas lan potlot"[56], kata Ayah. Akupun langsung mencari kertas dan pensil, setelah mendapat kan,langsung aku berikan kepadanya.
Di atas lembaran kertas itu, ayah menggambar sekenanya. Aku yang dikenal anak cerdas tidak mampu menter -jemahkan makna yang ada dibalik lukisan ayah itu."aku benar-benar anak bodoh yang sempurna", hatiku menggerutu.
Mungkin dalam hati ayah ada dugaan aku tidak dapat menterjemah makna lukisannya, maka ayah menjelaskan, "sul.....kiyé ambén ya....nah kiyé bapakmu, nganah direm bug karo sedulur-sedulurmu". Ayah memberi penjelasan -
sambil menunjukkan gambar lukisannya dengan pensil. Ke mudian aku disuruh pergi.
Setengah jam kemudian aku dipanggil lagi. "wis direm-bug[57] ?, tanya ayah. " déréng....[58]", jawabku.
Dengan nada keras tersendat-sendat, ayah mengatakan, "Lho, kepriwé shi sul, kon dirembug Kho[59]!". Kemudian aku pergi lagi.
Ketika ayah menanyakan lagi, dengan kebodohanku yang sempurna, aku mengiyakan begitu saja. Sebab aku berpen dapat – ketika itu – bahwa apa yang dilukis oleh ayah hanyalah akibat perasaan beliau yang tidak karu-karuan dalam menahan sakit. Tidak ada makna yang tersirat di ba lik lukisan itu.
Ketika terdengar adzan maghrib, ayahku memerintahkan -kepada putra-putranya supaya shalat maghrib secara bergi lir, sehingga beliau selalu ada yang menunggu.
Usai shalat maghrib, ayah minta supaya diangkat kepala nya (Jawa: dijulukna). Kemudian kepala beliau diangkat o-leh kakangku, Achmad Solihin, dan................................
Inná lillahi wa Inná Ilaihi Róji' ūn
Inná lillahi wa Inná Ilaihi Róji' ūn
Inná lillahi wa Inná Ilaihi Róji' ūn
dengan segala ketenangan Jiwa, ayah pergi untuk menemui Rabbku, Alloh SWT , yang ada dalam genggamanNya u bun-ubun seluruh makhlukNya.
Tangispun malam itu tak bisa dibendung, air mata yang me netes terlampau sulit bila kuhitung.
Malam itu, aku, saudara-saudaraku, dan simBokku tertutup kabut dan mendung kesedihan.
Semua menangis, kecuali aku. Sebab tangisku terhambat o leh kebodohanku sendiri.
Bodoh, karena aku tidak bisa membaca apa yang dilukis-kan oleh ayah. Seolah aku tidak pernah belajar susastera. Padahal biasanya, segelap apapun sebuah puisi aku bisa membacanya. Pernah aku membaca sebuah puisi yang ha nya diekspresikan dengan lukisan garis melingkar-lingkar seperti obat nyamuk, "aku sedang bingung", demikian makna yang ada dibalik garis melingkar-lingkar itu .
Apa yang dilukiskan oleh ayah sebenarnya tidak lebih ge-lap dari apa yang pernah aku pelajari. Mestinya dengan mu dah aku bisa membacanya. Tapi mengapa kebodohanku menutupi jalan pikiranku ?
Setelah ayahku pergi, aku baru bisa membaca apa yang a da dibalik lukisan itu. Ternyata ia bermakna pesan buat anak-anaknya ; anak- anakku
di sini
di ranjang ini
bapak pergi
tuk menghadap ke hadlrah rabbi
anak- anakku
di sini
di ranjang ini
bapak mengakhiri
segala derita selama ini
anak-anakku
di sini
di ranjang ini
bapak berpesan
hendaklah kalian
selalu menjaga persatuan
di antara kalian .............
dalam hati kalian
taburkan kasih, taburkan sayang
hormati yang tua
sayangi yang muda............
bila ada persoalan
jangan tinggalkan
musyawarah
dan.....
rembugan
anak-anaku
di sini
di ranjang ini
bapakmu.............
ucapkan Selamat Tinggal

Selamat Tinggal anak-anaku
Bapakmu
di sini
di ranjang ini........
Dengan wafatnya ayahku, Bapak Asymuni, artinya desa ku telah kehilangan Tokoh Agamanya.

Dalam keluarga, ayahku adalah termasuk dalam deretan o rang yang berhasil dalam mendidik anak-anaknya. Meski pun mereka kekurangan materi, tetapi ada kekayaan hati yang jarang dimiliki orang lain.
Memang, beliau dalam pendidikan anak memiliki tekad yg
sangat kuat. Masih ada dalam ingatanku, ketika aku lagi membutuhkan kitab, ayah menjual kebunnya yang ada di dukuh Pertinggi, dan entah berapa kali beliau menjual –bengkoknya untuk biaya Pendidikan. Beliau merelakan hi dup dalam ketidakberadaan, asalkan anak-anaknya tidak berhenti dalam mengarungi lautan ilmu yang akan meng hantarkan mereka di atas panggung kehidupan yang mulia.
Masih terngiang dalam gendang telingaku, kata-kata ayah waktu melahirkan rasa ridlonya hidup sengsara demi anak-anaknya.
" sul...", kata ayah bersama air mata yang melinang. "wak tu kamu sedang pengajian sore hari di Purwadadi, bapak kan lagi matun[60]padi di Propél, waktu itu sul, bapak mena ngis bangga, meskipun bapak selalu hidup menderita, bapak rela,asalkan anak-anak bapak jadi orang mu lia,bapak rela,serela Pandu di bakar dalam Kawah Can dradimuka demi kemuliaan anak-anaknya. Putra Pan dawa".
Airmataku pun amat sulit kubendung, ketika mendengar kata-kata ayah penuh keikhlasan dan keridloan.

Dalam masyarakat, tercatat sebagai Penyebar ilmu Agama yang amat telaten dan sabar.Bertahun-tahun ayah mengajar di Sekolah Arab tanpa honor tanpa gaji. Setiap hari beliau mengajar dan mendidik anak-anak desa Lemberang dan sekitarnya. Dan hasilnya pun dapat dirasakan. Banyak orang yang bisa nulis aksara Arab.
" tanpa Bapakmu,di daerah ini tidak ada orang bisa nu
lis aksara Arab", demikian ungkapan salah satu warga de sa Banjaranyar yang kebetulan menjadi murid ayahku di Sekolah Arab.

kematian hanyalah tidur panjang.......
........mimpi indahlah wahai ayahku


***

Tiga tahun sudah aku ditinggal ayah. Yang ada sekarang -tinggal kenangan di balik rentetan do'a-do'aku untuknya. Kenangan yang membawa kerinduan semakin dalam dari seorang anak kepada seorang Bapak yang dengan sabar mengukir jiwa raganya.
Aneh memang, di hari wafat ayahku, aku tidak bisa mena ngis. Tetapi seiring dengan peredaran waktu, rasa kene-langsaanku semakin menebal dalam rasa. Entah apa sebab nya, aku sendiri kurang bisa memahami.
Tidak jarang aku menangis sendiri, khususnya ketika aku mendapat benturan-benturan keras dari sebagian orang yang bermaksud ingin melempar namaku jauh-jauh dari ha ti masyarakat yang semakin bisa melihat keberadaanku de ngan kedua mata mereka.
Adalah sudah ada dalam catatan rabbku, saat hatiku sedang dirudung Panelangsan, kabut hitam turun menutup selu ruh jiwaku yang lagi gonjang ganjing langit kelap-kelap.
Kabut hitam itu adalah berita bahwa Guruku, Rama Kyai Hisyam dipanggil oleh Rabbku untuk menghadap kepada Nya.
Tidak ada yang aku perbuat saat mendengar berita duka itu selain ucapan istirja' :
Innā lillāhi wa innā ilaihi rōji'ūn
Innā lillāhi wa innā ilaihi rōji'ūn
Innā lillāhi wa innā ilaihi rōji'ūn
Sebab, aku menerima berita malam hari, usai shalat Isya, dan si Pembawa berita tidak bertemu langsung dengan a-ku, sehingga aku tidak sempat menanyakan jam berapa be liau wafat.
Karena waktu itu terlalu sulit untuk mencari kendaraan ma lam hari, maka dengan amat terpaksa aku baru dapat pergi ke Kalijaran keesokan harinya.

Saat di Kalijaran tak ada yang kurasa selain kesusahan –yang teramat mendalam. Sebab, dengan kepergian beliau berarti aku kehilangan satu lagi tempat mengadu. Apalagi dalam bidang keilmuan, boleh dikata aku sudah kehilangan total tempat bertanya bila aku menemui kesulitan, khusus nya dalam bidang Ilmu Falak.

Kurang lebih jam sepuluh beliau dimakamkan, saat jinazah beliau diangkat, entah berapa banyak air mata yang mene tes, sulitlah bagiku untuk menghitungnya satu-satu. Bah kan aku lihat Bapak Musta'idz dipapah dua orang, nampak nya tubuhnya tak berdaya lagi. Lemas. Aku sebenarnya i ngin sekali menolongnya ketika itu, walau hanya dengan kata-kata tashobur , namun dengan apa aku harus mengu capkan kata-kata itu, sedangkan kesedihan mengunci mu lutku serapat-rapatnya.
Lepas shalat Jum'at aku pulang. Memang aku sengaja ti dak berpamitan kepada putra-putranya, alasannya, waktu itu apabila aku melihat wajah mereka, air mataku semakin deras mengalir. Dengan jalan tidak berpamitan, maka aku tidak kehabisan air mata sepanjang jalan.
Sampai di rumah, sisa-sisa air mataku masih terus mene tes, sulit sekali kutahan, meski aku sudah berusaha dengan semua kemampuanku.

Kini Guruku telah ada dalam pangkuan Rabbku. Mulai hari ini aku tidak bisa lagi melihat beliau dengan kedua mata kepalaku. Yang ada sekarang hanyalah kerinduan tak berujung tak berpangkal, entah sampai kapan ia akan berakhir.
Untuk sedikit mengurangi beban kerinduanku, aku sering mengenang hubungan bathiniyahku dengan beliau yang sa ngat akrab, waktu aku masih di Pondok.
Suatu malam, sekitar jam dua dini hari, aku dibangunkan o leh salah satu teman santri."Kamu ditimbali Romo Ki ai",katanya. Akupun segera sowan. "Kowé shi sing ngen di ?"[61], tanya beliau. Dengan segala kepolosan yang ada a ku menjawab, "Mboten saking pundi-pundi, dalem tilem mawon awit sonten[62]".
Kemudian beliau menjelaskan kepadaku, bahwa ketika be liau pulang dari nDalem lor, melihat aku berjalan di depan nya, beliau mengikuti terus, dan ketika di depan masjid –menghilang. "Sanes kula mbok menawi[63]", kataku. "Genah kowé kho, masa aku pangling[64]", demikian beliau memperjelas bahwa yang dilihatnya benar-benar diriku.
Kemudian aku keluar dari hadapannya sambil mikir-mikir apa yang beliau katakan. Benarkah ?. Satu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Andaikata jawabannya " benar", mana mungkin hal itu terjadi, sedangkan aku sejak sore ti dur. Andaikata jawabannya "tidak", mana mungkin beliau menceritakan sesuatu yang diada-ada. Aku benar-benar bingung.
Sebenarnya, andaikata yang bercerita seperti itu bukan Gu ruku, tidaklah terlampau sulit untuk menganalisa. Katakan saja "tidak benar", karena tidak logis.
Tetapi ini sesuatu yang berhubungan langsung dengan gu ruku. Sedangkan logikaku mati total, ketika menghadapi sesuatu yang bertalian dengan Guruku, artinya, meskipun aku salah satu santri Kalijaran yang selalu berbicara atas dasar logika dan suka ngéyél, namun kalau sudah berha dapan dengan Guru, jiwaku tak mau lagi bermain-main dengan logika. Aku pasti " Sami'na Wa atho'na ", tidak pernah disela-selani " Wa tafakkarna ".
Ini mungkin salah satu kelemahanku.
Kemudian pada malam berikutnya, ada terjadi dalam diri ku keganjilan serupa. Jam :00.30 aku melakukan shalat ma lam. Ketika berdiri dalam raka'at kedua, jelas sekali suara Guruku menyentuh gendang telingaku. Suara itu memang gil-manggil namaku. Akhirnya, aku membatalkan shalat dan lari-lari kecil sowan beliau yang sedang menulis di madrasah.. Sampai di hadapan beliau, langsung saja aku bertanya,"Punapa rama nimbali dalem?[65]". "Ora.......[66]", jawab beliau sambil asyik menulis di balik semburat caha ya lampu gembréng. Kemudian aku menyampaikan kesa-lahdengaranku kepada beliau, dan..... kembali lagi ke ka mar untuk mengulangi shalat malamku.
Usai shalat dan membaca wirid sekadarnya, aku mencoba untuk menganalisa apa yang baru terjadi. Sungguh terlam pau sulit aku punya logika untuk bisa menerima, sesulit menerima apa yang dialami oleh Guruku pada kemarin ma lam. Dibolakbalik-dibolakbalik tetap saja sulit diterima aku punya logika, tetapi kenyataannya hal itu benar-benar terjadi di alam sadarku, bukan dalam mimpi atau melantur dalam lamunan. Subhanalloh.....aku bertasybih.
Akhirnya tak ada yang aku temukan dalam analisaku sela in " pembenaran " terhadap kejadian yang dialami oleh Gu ruku, alasannya, karena aku sendiri mengalami. Titik.

Guruku, Rama Kyai Hisyam Abdul Karim memenuhi –panggilan Rabbku pada hari Kamis Kliwon 4 Jumadil A khir 1410 H, bertepatan 12 Januari 1989 M.

Sebenarnya aku ingin banyak menulis "Biografi"nya, namun, sayang dikali seribu, aku tidak banyak mempunyai catatan-catatan perjalanan hidupnya sejak kecil, meskipun aku ketika masih khidmah kepada beliau, sudah berusaha untuk mencatatnya. Namun setiap kali aku menanyakan kepada orang yang kuanggap sesepuh di Kalijaran, yang aku dapatkan hanyalah jawaban ' mboten ngertos' (tidak tahu). Dan ketika aku akan bertanya langsung kepada be-liau, adab seorang santri kepada Guru selalu mencegahnya, karena waktu itu aku beranggapan tidak sopan untuk mena nyakan sesuatu yang amat pribadi kepada seorang guru.
Ada sedikit catatan dalam "Buku Harianku", bahwa beliau itu dilahirkan pada tanggal 08 Agustus 1909 [67].
Ayah beliau bernama 'Abdul Kariem, Bau Desa Kalijaran dan Guru Rodad [68].
Nama kecil beliau adalah Qosim, aku tahu nama ini ketika aku menyalin kitab-kitab Falak yang diserahkan kepadaku.
Menurut Pak Jari, menantu beliau, bahwa Rama Kyai Hi syam pendidikan formalnya hanya sampai Kelas V SD ( maksudku setingkat dengan SD, karena waktu itu mungkin namanya bukan SD). Di samping sekolah, beliau juga rajin ngaji kepada Ustadz di kampungnya.
Kemudian beliau berguru kepada Kyai Dahlan di desa Kali wangi Mrébét.
Di Pondok Leler Banyumas, beliau berguru kepada Kyai Zuhdi, dan di Pondok Jampes Kediri berguru kepada Kyai Dahlan.
Secara khusus, dalam bidang qiroatul Qur'an, beliau bergu ru kepada Kyai Yusuf Buntet Cirebon, dan Kyai Nuh Pager aji Cilongok.
Dalam bidang Thoriqoh, beliau berguru kepada Kyai Rifa'i Sokaraja.
Beliau menikah pada tahun 1927 dengan seorang gadis ber nama Rumiyah putri Carik desa Kalijaran.
Dari catatan singkat ini, aku dapat memperkirakan beliau di Pesantren tidak sampai 10 tahun, tidak berimbang de-ngan ilmu yang beliau miliki. Dengan demikian, aku pu nya kesimpulan, bahwa beliau – apabila berlebihan aku katakan berilmu laduny- orang yang sangat cerdas dan rajin belajar. Subhanalloh..............
Selamat Jalan Guruku.....

***

Tahun 1992 segala kegundahan hatiku terusir oleh kelahi ran anakku yang kedua. Tepatnya hari Jum'at Pon 3 Juli -1992.
Menurut para remaja yang suka duduk-duduk di jembatan depan Masjid, malam Rabu ( sebelum kelahiran anakku ) ada cahaya putih sebesar bola kaki turun berputar-putar dan jatuh persis di atas atap rumahku.
Kejadian itu mendorong salah satu mereka untuk menanya kan " jimat " yang aku miliki. " Aku tidak punya jimat apa apa ", demikian aku menjawab dengan segala kepolosan yang aku miliki. Tetapi pancaran sinar matanya menunjuk kan ketidakpercayaannya kepadaku. Mungkin aku diang-gap menyampaikan jawaban bohong.

Peristiwa nampaknya cahaya sebesar bola kaki — mudah mudahan benar — adalah salah satu sebab yang memuncul kan ide nama anak keduaku " ARINA NUR PERMATA ILMI " .
Disamping itu, nama tersebut mengandung pengharapan ,semoga Robbku selalu memperlihatkan cahaya ilmu se-bagai mana gemerlapnya sebuah permata.
Ketika kami mengasuh anak kedua ini, ada kejadian yang menyadarkan hatiku, bahwa anak laki-laki dan perempuan itu punya arti sama. Sebuah Tanggung Jawab.
Waktu ia berumur kurang lebih dua tahun, ia jatuh ke dalam kolam Pondok. Untunglah Robbku masih berkenan memberi nafas panjang kepadanya, maka aku dan isteriku masih bisa bercanda gelak tawa dengannya.
Aku katakan menyadarkan hatiku, karena ketika ia dalam kandungan, aku berpengharapan anak laki-laki. Namun, irodat Robbku berbeda, maka aku harus mau menerima anugrah itu, meskipun sifat kelakianku tetap saja meng geliat dalam hati, sehingga apa yang dirasa oleh kaum lelaki, dirasakan pula olehku. Bahkan, perasaan itu sempat menggeser sifat nerima ing pandumku dari hati.
Waktu aku melihat anakku bergelagap dalam air kolam yang keruh , mata hatiku terbuka lebar-lebar untuk melihat pemikiranku selama ini. Ternyata, pemikiran harus punya anak laki-laki yang selalu ada dalam benakku merupakan kekeliruan yang harus dilemparkan sejauh-jauhnya.
Terlintaslah dalam hatiku, bahwa aku mungkin kurang –mampu untuk membina dan membimbing anak laki-laki di zaman — yang menurut orang waskita — édan, khususnya dalam mas'alah pergaulan yang sangat mempengaruhi du nia pendidikan.
Memang seorang laki-laki akan hilang garis keturunannya apabila tidak punya anak laki-laki. Tetapi apa artinya suatu keturunan, apabila ternyata mereka tidak bisa meneruskan tradisi baiknya para leluhur. Bukankah lebih baik tidak ber keturunan, dari pada mempunyai keturunan yang tidak baik ?
Oleh sebab itu, meskipun kedua anakku perempuan, aku akan berusaha dengan segala kemampuan yang ada, supa ya mereka jadi anak yang baik, yang dapat njunjung duwur mendem jero kepada orang tua. Apabila usaha ini berhasil, niscaya akan lebih baik dari pada anak laki-laki yang hanya akan mencoreng-coreng garis keturunanku.

***

Sekarang di tengah kedua telapak tanganku ada dua tang-gung jawab. Keluarga aku letakkan di telapak tangan ka nan, sedangkan yang ada di telapak tangan kiriku adalah Pesantren.

Aku memang sengaja meletakkan Keluarga di telapak ka nan, terutama pendidikan anak. Bagiku, adalah kurang pu nya arti apabila Pesantren yang aku kelola maju dalam kwantitas maupun kwalitas, tetapi di balik itu, keluargaku hancur, terutama dalam Pendidikan Anak. Maksudku, a nak- anakku tidak dapat diteladani oleh orang banyak.
Oleh sebab itu, aku pahat dalam jiwa mereka, bahwa kemu liaan manusia di sisi Alloh adalah sejauh mana ketakwaannya. Biarpun keturunan Nabi, semisal Kan'an, tidak dianggap orang mulia oleh Alloh, bahkan dinyatakan bukan keluarga Nabi Nuh a s, karena di dalam jiwanya tidak ada takwa.
Dan hati mereka aku patri kuat-kuat, bahwa manusia akan dihargai orang lain manakala berakhlak kariemah, "Al-mar'u bil-adabi laa bin-nasabi", seseorang akan berharga sebab adabnya,bukan sebab nasabnya,

Pepatah jawa ajining raga saka busana ajining dhiri sa ka mlathi pun aku ukir dalam-dalam di tengah sudut hati mereka yang polos.
Dasar inilah yang mendorong aku tidak pernah cerita ma cam-macam kepada masyarakat dalam rangka mempenga ruhi hati mereka supaya selalu menghormati anak-anakku meskipun bertingkah menyimpang dari jalan yang benar.
Bahkan aku sering mengatakan kepada masyarakat," Tegur lah anak-anakku apabila melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma agama dan susila".
Menurut pemikiranku, apabila aku tidak seperti itu, maka yang bakal terjadi dalam keluargaku tidak lain Sikap Muna fik kepada masyarakat. Artinya, keberadaan anak-anakku dihormati dan disanjung masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya saja, anak sedang sakit jiwa dikatakan Jadzab, atau anak yang lagi tidur dengan pulasnya, dikatakan sedang thowaf di sekitar Ka'bah, dan lain lain. Aku tidak meng-ingin-i semua ini terjadi di tengah-tengah keluar -gaku.

Meskipun Pesantren aku letakkan di tengah telapak kiriku, ini bukan berarti aku mengelolanya dengan se-enaknya sendiri. Aku tetap banyak berusaha bagaimana supaya Pe santren yang aku kelola bisa maju dan bermutu. Namun sudah tentu pelan-pelan, lantaran aku merangkak dari nol besar. Supaya tidak terpeleset, dalam mengelola Pesan tren aku berjalan dengan super hati-hati. Kata "alon alon alon asal kelakon " selalu aku perhatikan dalam setiap langkah.
Itulah sebabnya Pesantren yang aku kelola sangat lambat perkembangannya. Sehingga apabila tidak cermat dalam mengamati, maka Pesantren yang aku kelola seolah tidak mengalami ke majuan apapun. Kalau boleh aku gambarkan, perkemba ngan pesantren yang aku kelola seperti peredaran matahari mengelilingi galaxi kabut susu, sangking luasnya jalan -yang ditempuh, maka seolah matahari itu tidak berrevolusi.





BAGIAN KESEMBILAN

D

alam dunia Pesantren, ada dikenal istilah waro' ( kehati-hatian ) dalam mengaji. Misalnya seorang santri tidak boleh makan makanan pasar, dengan alasan karena hilang barokahnya , sebab mata orang faqier melihatnya dan tidak mampu untuk membeli, karenanya , hati sifaqier itu berpe rasaan.
Tidak boleh makan makanan pasar bagi seorang santri ha nyalah merupakan kehati-hatian semata. Bukan haram. Te tapi bukan pula tidak punya dampak bagi seorang santri yang tidak punya kehati-hatian ketika mengaji.
Dulu, ketika aku ngaji sorogan kitab " Ta'limal muta'allim" kepada Pak Sujari, beliau menjelaskan,"Seorang santri apabila tidak wira'i(hati-hati)waktu mengaji, maka Alloh akan memberi cobaan kepadanya dengan salah satu dari tiga perkara.Pertama,Alloh akan mematikannya dalam u-sia muda. Kedua, Alloh akan menjadikannya sebagai Khodim ( Pembantu)Penguasa. Ketiga, Alloh akan menem patkannya di pedukuhan yang masyarakatnya bodoh-bo doh ( rosatieq ).

Sejak awal kemukimanku, amatlah terasa dalam setiap –langkahku kebenaran apa yang diterangkan dalam Kitab "Ta'limal Muta'alim"
Sebab kekuranghatihatianku, maka aku bertempat di desa yang bodoh-bodoh masyarakatnya.
Memang masyarakat desaku secara lahiriah sebagai masya rakat yang agamis, tetapi dalam bidang keilmuan agama sangatlah kurang. Penyebabnya karena malas ngaji. Di tambah lagi sifat hubbud-dunya sudah terlalu menguat da lam hati. Akibatnya, terlalu berat untuk diajak maju dalam berfikir, selama secara materi tidak menguntungkan.
Itulah sebabnya Pondok Pesantren " TADZKIROTUL -IKHWAN" yang aku kelola selama lima belas tahun bangu nannya tidak mengalami perubahan selain tambah rapuh.
Jangankan memikirkan, satupun dari masyarakat tidak ada yang pernah menanyakan.

Dalam suasana seperti ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengusap-usap dadaku sendiri sambil meneteskan air mata isighfar.
Sungguh, meskipun aku hidup di tengah keramaian, tetapi perasaanku seperti hidup di tengah belantara. Sepi. Karena tak ada teman yang dapat diajak bernusyawarah , lebih- lebih setelah ayah dipanggil oleh Rabbku.
Dan aku banyak tafakkur tentang diriku sendiri. Dengan teramat pelan, aku membaca catatan-catatan yang pernah aku tulis dalam setiap lembaran jiwaku, terutama catatan-catatan ketika aku nyantri di Pondok Kalijaran, tempat aku dibesarkan.
Jelas sekali dalam catatan itu, bahwa aku sebagai santri Ka lijaran yang kurang wira'i. Bahkan kekurangta'dzimanku kepada Guruku dan keluarga nDalem sangat jelas dalam ca tatan itu. Aku sering berperilaku sembrono kepada mereka.
Dan catatan inilah yang menyadarkan diriku sesadar-sa darnya, bahwa sudah sepantasnya aku mukim di "rosa tieq". Sebagai cobaan seorang santri yang kurang wira'i ketika menuntut ilmu.

Di samping itu, berbagai predikat yang dikatakan banyak orang tentang diriku, aku hapus bersih-bersih dari relung hatiku. Maksudku, sebutan Kyai, Sastrawan, Astronom ,Prof, dan bahkan Hadlrotus Syaich Al-'Alamah.

Catatan masa laluku, waktu aku nyantri di Kalijaran, se lalu menggerakkan kedua bibirku untuk melantunkan ki –dung seorang sufism ;
Ilaahi laa tu'adz-dzibnie fa innie
muqirrun billadzie qod kaana minnie
wa maa lie hailatun illaa rojaa'ie
wa 'afwaka in 'afauta wa husna dzonnie
Fakam min zillatin lie wal-khothooya
wa anta 'alayya dzu fadllin wa manni
Idza fakkartu fie nadmie 'alaiha
'Adlodltu anamilie wa qoro'tu sinnie
Ya dzunnun naasu bie khoeron wainnie
lasyarrun naasi inlam ta'fu 'annie
Ajunnu lizuhroti dunya junuunaa
wa afnal 'umro fieha bit-tamanni

Tuhanku................
Jangan Kau siksa aku
Sungguh, aku mengaku
segala apa yang ada dalam diriku

Tak ada upaya bagiku
selain pengharapan kasih sayangMu
PemaafanMu bila Engkau memaafkan aku
Dan berbaik sangka kepadaMu

Entah berapa banyak kekeliruan dan kesalahanku
Namun, Engkau selalu memberi anugrah kepadaku

Apabila aku memikirkan penyesalanku
Maka dengan kuatnya aku menggigit jemariku
dan mengetuk-ketuk gigiku

Banyak orang mengira baik kepadaku
Padahal, betapa buruk diriku
Bila Engkau tidak memaafkan aku

Aku tergila-gila selalu
terhadap kemewahan dunia
Dan aku habiskan umurku
Dengan angan-angan kosongku.

Entah berapa kali bibirku melantunkan kidung ini. Boleh dikata ia sering sebagai penghantar tidurku. Dengan alunan lembut dan lirih, aku berkidung bersama heningnya malam sampai kedua mataku terpejam.

***

" Pak…..itu atap Pondok mau runtuh ", demikian kata salah satu warga masyarakat kepadaku sewaktu aku duduk santai di teras masjid.
" Ah.... biarkan saja, Pondok itu kan bukan milikku" , jawabku ringan.
Sepintas, jawabku seolah terlalu meremehkan omongan o-rang itu. Padahal tidaklah demikian adanya. Aku sangat menghargai dan berharap omongan seperti itu dapat berkembang dan menjadi bahan pemikiran masyarakat.
Jawabanku itu sebenarnya hanyalah untuk mengingatkan, bahwa Pondok yang ada di desaku adalah benar-benar milik masyarakat. Walau hanya sebesar butir pasir, tak pernah ada perasaan milik pribadiku.

Nampaknya jawabanku lambat laun mampu menghapus kesalahpahaman yang dikembangluaskan sekitar akhir tahun tujupuluh sembilanan. Di mana pada waktu itu ada isyu yang diarahkan kepada ayahku. "seneng temen .....duwe anak-anak dewek, wong liya kon nggawekna umah", demikian salah satu isyu yang sempat aku catat dalam ingatanku.
Memang sangatlah dirasa, ketika isyu itu muncul, masyara kat yang sudah berhulupis kuntul baris untuk melangsung kan cita-cita para leluhur, satu persatu patah semangatnya.
Bahkan, dukungan mereka berbalik sembilan puluh dera jat menjadi penentangan. Segala kegiatan yang aku laku kan mereka tanggapi dengan nada sinis. Sebab dalam hati mereka ada pikiran, bahwa aku mengelola Pesantren ha nyalah untuk hajat pribadi, hingga iuran bulanan dianggap sebagai honor mengajar , sampai-sampai ada wali santri yang mengulurkan dua batang rokok Tapel Kuda kepadaku sambil berucap,"Kiai......punika ses kalih ler kangge gan tos urunan anak kula"[69]. Dengan air mata kesedihan yang melinang. bibirku bergetar menjawab, " mBoten-mBoten...
urunan lare lare punika sanes kangge kula" [70] .
Memang, sangat menyakitkan bila aku rasakan satu persa tu, lebih-lebih ketika aku dikatakan sebagai bakul hadist yang menjual agama . Sangat menyakitkan.
Untunglah pondasi prinsip kebenaranku aku pasangi besi beton kesabaran yang teramat kuat, sehingga walau hanya sebesar rambut pinara sasra aku tak pernah merasa den dam di hati kepada mereka
Yang ada dalam hatiku hanyalah kesadaran, bahwa orang seperti aku sudah sepantasnya untuk diperlakukan seperti -itu oleh masyarakat, sebagai hukuman Bocah Pesantren -yang tidak wira'i dan kurang ta'dziem kepada guru dan ke luarganya ketika menuntut ilmu.

Dengan terhapusnya kesalahpahaman masyarakat, meski pun belum seratus persen, bangkitlah dalam hati mereka keinginan merehab Pondok yang atapnya akan ambruk ka rena lapuk.
Beberapa orang dari generasi muda membentuk Panitia Rehabilitasi Pondok.
Ada beberapa nama yang sempat tercatat dalam ingatanku, seperti Pak Solehan, Pak Badrun, Pak Tohari, Pak Yusuf, Pak Dirin, dan lain-lain.
Waktu itu yang menjadi Ketua Panitia Pak Solehan ( ka kangku sendiri ) yang kebetulan lagi menjabat Kepala De sa, sehingga urusan surat menyurat yang berhubungan de -ngan Pemerintahan Desa teramat mudah.
Tidak sampai setengah tahun, Rehab Pondok selesai de-ngan biaya sekitar lima juta rupiah.
Boleh dikata tujuh puluh lima persen Pondok Pesantren " Tadzkirotul Ikhwan " direhab. Sebab dulu dibangun de-ngan matrial seadanya. Terutama gentengnya yang terdiri dari empat jenis, sehingga ditata dengan cara apapun tetap bocor. Pernah beberapa kali tata ulang dilakukan oleh tu kang yang cukup proffesional, namun tetap saja, apabila turun hujan, anak santri harus berlarian mencari plastik untuk menutupi peralatannya.
Daun daun pintunya juga diganti total dengan kayu yang lumayan kuat, karena diperkirakan dalam waktu pendek bakal ambruk.
Pagar pembatas kamar yang terbuat dari anyaman bambu juga diganti dengan tembok batu bata, dan tembok luar yang masih meringis ditutup dengan semen.

Alhamdu lillah aku bertahmid, kini bangunan Pondok ti dak mengganjal mata orang yang memandangnya.


***

Pada umumnya, tidak dibedakan antara Pondok dan Pesan tren. Padahal antara keduanya ada makna berbeda.
Kata Pondok itu diambil dari bahasa arab " Funduk", yang berarti Tempat Menginap.
Sedangkan kata Pesantren bermula dari kata " santri" yang punya arti orang yang tekun beribadah atau orang yang suka menuntut ilmu. Jadi Pesantren adalah tempat orang yang tekun ibadah dan suka menuntut ilmu.
Maka bisa jadi Pondok tidak punya Pesantren, atau sebalik nya.
Lebih dari lima belas tahun aku mengelola Pondok Pesan tren "TADZKIROTUL IKHWAN", tetapi belum punya –tempat pengajian secara khusus, yang aliasnya belum punya Pesantren. Selama ini, aku mengajar anak-anak santri di serambi Masjid.
Oleh sebab itu, aku punya rencana membangun tempat pe ngajian yang sekaligus dapat dipergunakan untuk pertemu an para santri di setiap bulan.
Sebelum terbentuk panitia, aku mulai mengumpulkan –dana sedapatnya, ada uang, kayu, pohon kelapa, dan lain-lain.
Aku ajak masyarakat supaya ikut serta dalam membangun tempat pengajian yang sekaligus sebagai Aula tempat perte muan.
Aku katakan kepada mereka, bahwa membantu pembangu nan yang sedang kurancang tidak selamanya harus berupa materi. " Mengajak teman supaya ikut nyokong, itu juga namanya sudah membantu, bahkan mulutnya diam, tidak komentar negatip, itu namanya juga membantu, bahkan bantuan yang paling berharga, dan menurut saya, sangat penting. Jadi membantu tidak harus dengan uang ", kataku.

Setelah kumpul dana sekitar satu setengah juta dan matrial berupa kayu, pohon kelapa, dan lain-lain, maka aku me-manggil sebagian masyarakat Lemberang supaya memben tuk Panitia Pembangunan sebagaimana ketika merehab ba-ngunan utama.
Uang yang satu serengah juta dan matrial serta kebutuhan -administrasi aku serahkan kepada Panitia sebagai modal.
Kemudian Panitia meremcanakan penggunaan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Setelah diperhitungkan dengan cermat, dana yang dibutuh kan sebanyak lima belas juta rupiah. Dana sebesar itu dianggap cukup banyak di saat sulit mencari duwit (Th.1995) . Maka wajar apabila ada salah satu warga desa (baca: yang tidak senang kesuksesanku ) menampakkan giginya dengan tutur kata yang cukup memerahkan telinga ku . " Syamsul....arep nggolet duwit limalas juta, apa jếgos !?[71], katanya dengan nada sinis.
Untunglah aku bertelinga wajan, maka ucapan seperti itu ti dak mampu menyentuh hatiku.

Ketika pembangunan dimulai, terjadilah sesuatu yang di-anggap aneh, yaitu mengalirnya dana dengan sendirinya, maksudku warga masyarakat mengantarkan uang bantuan pembangunan langsung ke pondok.
Yang lebih aneh, ketika aku jalan-jalan, setiap kali berpapa san dengan orang yang merasa belum ikut serta mengulur kan shodaqoh jariyah, dia merasa tidak enak kepadaku, serasa hatinya dikejar untuk segera memberikannya.
" Emangnya aku menagihnya", demikian aku berkomentar saat mendengar keanehan itu.
Dalam waktu yang teramat singkat, terkumpullah dana –duapuluh juta rupiah. Dengan dana sebesar itu, Panitia di samping membangun Tempat Pengajian ( Aula ), mereka –juga membangun dapur pondok, sumur, dan kamar mandi.

Dengan selesainya pembangunan tempat pengajian, seka -
rang pondok yang aku kelola benar-benar sudah terpenuhi untuk disebut " Pondok Pesantren Tadzkirotul Ikhwan", sebab sudah ada tempat menginap ( arab: funduk), dan tem pat untuk me-nyantri ( Pesantren ).

***
Pembangunan Aula yang baru selesai membangkitkan –anak santri untuk ikut membangun Aula khusus putri. Waktu itu mereka merencanakan akan membangunnya di sebelah timur Pondok putra.
Ketika melapor kepadaku, aku menolaknya." Kalau akan membangun aula putri, jangan nempel dengan Pondok Putra, kurang baik akibatnya", demikian aku memberi pen jelasan.
Kemudian aku memberi saran supaya membangun di –tanahku, depan dapur, di dekat pohon jambu.
Tetapi ketika berita pembangunan aula putri menyentuh gendang telinga warga masyarakat, ada sebagian dari mere ka yang tidak setuju aula dibangun di tanahku, alasannya masuk diakal, "kasihan mas Syamsul, tanah hanya satu-satunya, masa untuk bangunan aula , kasihan, dia kan punya keturunan", katanya.
Akhirnya di sepakati cari tanah yang lain.

Kebetulan di belakang rumahku ada tanah milik warga -desa Klahang . Maka pemilik tanah itu dihubungi, siapa tahu dia ada minat untuk memakafkan tanah itu. Namun ternyata tidak ada minat memakafkan tanah, dia hanya -mau menjual. Oleh sebab itu, meskipun saku bajuku kosong, aku menyanggupi untuk membayarnya sesuai permintaan, ya'ni Rp.150.000,- perubin.
Entah sebab apa, ketika aku akan membayarnya, si Pemilik tiba-tiba membalik harga, minta Rp.400.000,- per-ubin. Sesuatu yang sulit diterima akal sehat, karena waktu itu, harga tanah perubinnya baru seratus lima puluh ribu. Akhir nya, gagallah usahaku membeli tanah.
Kegagalan ini didengar oleh Ibu Amin ketika ia mengikuti kegiatan barzanji di rumah tetangga, sebab waktu itu, ibu-ibu pada memperbincangkan kegagalanku membeli tanah.
Rasa kasihan yang timbul seketika mendorong hatinya un tuk memintakan tanah kepada adiknya, Pak Parno. Ide ini disampaikan kepada Bapak Amin, kemudian beliau pergi ke rumah Bapak Parno di Surabaya.
Al-hamdu lillah aku bertahmid, ternyata Bapak Parno ada minat untuk mewakafkan sebagian tanahnya yang bersebe lahan dengan tanah Pondok. Maka Panitia Pembangunan Aula Putri supaya mengukurnya sesuai kebutuhan.

Pembangunan Aula Putri dimulai. Dari pemasangan pon dasi sampai sempurna membutuhkan waktu lebih lama -dari pada waktu membangunan Aula Putra. Mungkin ma syarakat sudah terlalu lelah untuk menginfakkan sebagian rizki . Akupun sangat memaklumi, maka aku tidak terlalu berharap, maksudku biarlah pembangunan itu berjalan se cara alami, artinya aku tidak meminta-minta kepada mere ka baik secara langsung atau dengan isyarah.
Di samping rasa lelah yang menyelimuti masyarakat, kea daan perekonomian di Indonesia sedang lesu akibat krisis memanjang dan belum nampak ujung akhirnya. Kondisi se perti ini pula yang menyebabkan Panitia mengadakan pemangkasan anggaran. Semula anggaran pembangunan tujupuluh juta rupiah, berobah menjadi empatpuluh juta ru piah.
Alhamdu lillah aku bertahmid, dalam waktu yang tidak ter lalu melantur pembangunan Aula Putri selesai. Dengan se lesainya pembangunan tersebut, maka kegiatan putra putri dapat dipisahkan.







BAGIAN KESEPULUH
S


aat sekarang, masyarakat kurang – apabila dianggap ku rang etis aku katakan tidak- tertarik terhadap pendidikan Pesantren. Menurut pikiranku sendiri, ada dua kemungki nan yang menjadi penyebab.
Pertama,karena pemikiran mayarakat dalam mas'alah pen didikan selalu dikaitkan dengan materi, sehingga ada ke khawatiran dalam hati ' anak mereka tidak dapat cari ma kan' apabila belajar di Pesantren, karena ijazah dari Pesantren tidak dapat untuk cari pekerjaan. Padahal biaya yang dikeluarkan cukup banyak.
Kedua, karena ada anggapan orang Pesantren tidak dapat berpikir maju.
Mungkin dalam rangka menjawab kedua mas'alah terse but, saat sekarang banyak Pesantren mendirikan Sekolah Umum, atau mendirikan Pesantren di dekat sekolahan. Se bab dengan cara ini banyak orang yang tertarik untuk me mondokkan anaknya, meskipun niat mereka sekolah nyambi mondok, bukan mondok nyambi sekolah. Tetapi su dah lumayan, paling tidak Pesantren yang sebagai lembaga Pendidikan tertua di Indonesia masih ada peminatnya.
Kalau aku mungkin berbeda dalam berpikir. Untuk menja wab kedua mas'alah perlu adanya perubahan Pesantren dalam berpikir. Oleh sebab itu dalam Pesantren perlu ada nya tambahan pelajaran ketrampilan, sehingga pada akhir nya, ketika seorang santri mukim, dia dapat hidup di atas te lapak kaki sendiri. Mandiri.
Pemikiran ini, hanya didasarkan pada pengalaman hidupku ketika baru pulang dari Pondok Kalijaran.
Aku berkeinginan Pesantren yang aku kelola seperti Pesan tren Kalijaran, tetap mempertahankan nilai-nilai salafi. Namun di balik itu ada pemikiran-pemikiran yang mampu menghadapi dan diterapkan dalam masyarakat modern, mi salnya ditambah tehnologi elektronika dan informatika. O leh sebab itu, di samping para santri supaya ngaji kitab sa lafi, aku ajarkan pula tehnik keradioan dan computer.

Di samping itu, aku membuat jenjang Pendidikan dalam –pengkelolaan Pesantren. Maksudku supaya santri yang be lajar di Pesantren jelas kapan dinyatakan tamat. Memang orang ngaji tidak berbatas waktu, namun terlalu ngelantur apabila tidak diberi batas waktu.


***

Ilmu yang aku ajarkan adalah ilmu-ilmu Pesantren tempo dulu yang sekarang mulai pudar, ini apabila kurang etis aku katakan hilang. Aku katakan seperti itu, karena seka rang banyak Pesantren yang sudah tidak lagi mengajar kannya, misalnya Ilmu Balaghoh, Ilmu Hadist, Ilmu Faro idl, Ilmu Falak, Ilmu 'Arudl, Ilmu Mantiq, dan lain-lain. Aku kurang tahu persis sebabnya, mungkin dikarenakan sekarang sudah jarang santri yang lama mondoknya, atau Pengasuh Pesantren itu sendiri memang kurang mengua sainya , atau kedua-duanya. Wallohu a'lam.

Dengan kemampuan yang ada, ilmu-ilmu tersebut aku ajar kan kepada para santri Pondok Pesantren "TADZKIRO TUL IKHWAN", bahkan pada tingkatan kesatu aku ajar kan do'a-do'a shalat.

Pengajian di Pondok yang aku kelola terbagi menjadi -enam tingkatan, meliputi enam belas bidang pelajaran. Yaitu: Nahwu, Shorof, Al-Qur'an, Tajwid, Fiqih, Ushulul -fiqih, Tauhid, Akhlak, Hadist, Mushtholahul hadist, Man thiq, 'Arudl, Balaghoh, Faroidl, Ilmu Falak, dan Ketram pilan Elektronika.
Adapun kecomputeran memang sengaja tidak aku masuk-kan dalam bidang studi, karena untuk praktek memerlu kan dana jutaan rupiah, dan tidak semua santri punya ke mampuan untuk itu. Oleh sebab itu, bidang computer ha nya diperuntukkan bagi santri yang berminat dan punya dana praktek.

Ada dua alasan mengapa Ilmu Nahwu dan Shorof aku tem patkan pada tingkatan utama di Pondok Pesantren yang -aku kelola, meskipun derajatnya di bawah Ilmu Tauhid dan Ilmu Fiqih.
Pertama, karena Ilmu Nahwu dan Shorof adalah sebagai kunci seorang santri dapat membaca kitab-kitab salafi yang berbahasa arab. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Ilmu Nahwu adalah ayah bagi berbagai-bagai ilmu, sedangkan Ilmu Shorof adalah sebagai induknya, artinya orang yang menguasai kedua ilmu itu, dia dapat menguasai berbagai il mu pengetahuan.
Kedua, karena pembawaan . Sejak kecil aku merasa mu dah mempelajari ilmu nahwu.
Hanya dengan mendengarkan sepintas-sepintas saja, aku di beri kemampuan untuk menguasainya. Maka ketika aku –pergi ke Pesantren sudah berbekal ilmu nahwu yang aku dengar dari ayah ketika mengajar Jurumiyah di rumah. Oleh sebab itu, ketika di Pesantren aku terbilang cepat da lam penguasaan membaca kitab-kitab berbahasa arab.
Pembawaan ini secara genetika aku terima dari ayah yang dikenal sebagai ahli nahwu ketika menjadi musa'id -KH.Mursyid di Madrasah Diniyah Al-Huda Sokaraja. Kemudian ketika aku di Pondok Kalijaran bakat itu dipu puk oleh Guruku Roma Kyai Hisyam.
Bakat yang terpupuk inilah yang mendorong aku lebih se nang belajar ilmu nahwu dibanding dengan ilmu-ilmu -yang lain. Maka ketika aku baru mendapat mandat untuk mengasuh Pesantren, aku merencanakan Pesantren khusus lmu Nahwu. Tetapi setelah aku pertimbangkan kembali, rencana itu aku rubah menjadi Pesantren umum yang –mengkaji berbagai-bagai ilmu. Namun demikian, Ilmu Nahwu dan Shorof tetap menjadi kajian utama. Maka da lam setiap minggunya, enam hari untuk pelajaran Nahwu dan Shorof.

Meskipun aku mengutamakan Ilmu Nahwu dan Shorof, -aku tetap mengajarkan Al-Qur'an, yakni bagi santri yang ma sih ada dalam tingkat satu.
Supaya anak santri cepat lancar dalam membaca Al-Qur'an, setiap pagi, tepatnya ba'da shubuh, secara menye luruh dan bersama-sama , anak santri aku ajak untuk mem baca Al-Qur'an. Caranya, aku membaca per-ayat terlebih dahulu, kemudian semua santri menirukan bacaanku, dan setiap sudah satu juz, santri supaya membaca juz itu secara lengkap. Dengan melakukan setiap pagi, maka santri akan semakin lancar dalam membaca Al-Qur'an.
Aku melakukan cara tersebut, karena aku punya cita-cita semua santri yang mondok di pesantren "TADZKIROTUL – IKHWAN" harus lancar dalam membaca Al-Qur'an. Me nurut pikiranku, bacaan Al-Qur'an dan Barzanji itu menja di wajah seorang santri. Artinya, ke'aliman seorang santri oleh masyarakat akan selalu saja diukur dengan baik dan buruknya dia dalam membaca Al-Qur'an dan Barzanji. Mungkin sabab inilah, dalam tradisi jawa ada istilah "midadareni" ketika seseorang akan menikahkan putrinya dengan seorang perjaka. Yaitu suatu acara di mana calon -penganten putra supaya datang (Banyumasan:boyong) ke -rumah calon istri dan supaya membaca Barzanji.

Supaya benar dalam membaca Al-Qur'an, Ilmu Tajwid aku ajarkan kepada para santri. Untuk dapat mempraktekan nya, aku banyak memberi contoh suatu bacaan, khususnya dalam hal makhorijul huruf, yakni cara mengeluarkan hu ruf-huruf Al-Qur'an dari tempatnya.
Orang yang kurang paham dalam bacaan Al-Qur'an ka dang beranggapan apabila sudah mengenal huruf arab, maka dapat membaca Al-Qur'an. Padahal tidaklah demiki an adanya. Membaca Al-Qur'an lebih sukar dari pada mem baca kitab-kitab salafi. Aku sendiri sangat menyadari hal itu. Dulu, ketika aku masih di Pesantren merasa sangat sulit untuk bisa membaca Al-Qur'an dengan benar, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Guruku romo Kyai Hi syam. Aku belajar Al-Qur'an di pondok Kalijaran mema kan waktu tidak kurang dari dua setengah tahun. Padahal waktu itu, aku – menurut kata orang- dibilang sebagai santri yang amat cerdas, belajar kitab Maksud dan 'Imrithi saja , hanya perlu waktu dua puluh lima hari. Ini menun jukkan bahwa belajar membaca Al-Qur'an dengan benar, sesuai dengan Ilmu Tajwid, lebih sulit daripada membaca kitab sesuai dengan Ilmu Nahwu.

Ilmu Fiqih dan Ushululfiqih sangatlah perlu bagi seorang santri. Sebab ketika sudah bermukim di desa sendiri, ia -akan menjadi tumpuhan masyarakatnya dalam hal hukum Islam. Setiap kali ada kejadian, ia akan ditanya bagaimana hukumnya menurut Ilmu Fiqih.
Oleh sebab itu, penguasaan seorang santri dalam bidang fi qih merupakan suatu keharusan, sehingga tidak ada keke cewaan timbul di tengah masyarakatnya apabila mereka menanyakan suatu hukum kepadanya.
Dengan alasan ini, aku punya anggapan bahwa seorang san tri perlu dibekali Ilmu Fiqih.
Pemikiran kaum Fuqoha tempo dulu aku ajarkan kepada -para santri, yaitu dengan cara membaca kitab-kitab Fiqih Standart. Bahkan dasar-dasar pemikiran Ilmu Fiqihpun aku ajarkan. Maksudku , apabila tidak temukan hukum fiqih yang sudah tertulis dalam kitab salafi, seorang santri dapat menggalinya dengan qoidah-qoidah fiqhiyyah. Dengan de mikian, seorang santri ketika sudah mukim di desanya dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakatnya.

Dalam bidang Teologi ( akidah ), santri aku bekali dengan Ilmu Tauhid. Dari tingkat satu sampai tingkat empat aku –mengajarkannya kepada para santri.
Ilmu Tauhid yang aku ajarkan adalah aliran yang gali oleh Imam Asy'ari dan Ma'turidi, ya'ni hasil filtering aliran-aliran Teologi yang ada dalam Islam, yang dikenal dengan istilah akidah Ahlussunah Waljama'ah. Dalam hal-hal yang bersifat mutasyabihat, aku mengajarkannya sesuai dengan apa yang dipahami oleh Ulama Kalam Muta'akhirin, yaitu ta'wiel[72], sebab – menurut pikiranku sendiri - tafwiedl[73] sangat berbahaya untuk diajarkan kepada orang 'awam.

Mas'alah akhlak tidak lepas dari perhatianku. Aku punya –anggapan bahwa setinggi apapun ilmu seorang santri tidak akan bernilai, apabila tidak dibarengi akhlak mulia. Malah mungkin akan lebih berbahaya dari pada anak yang bodoh. Benarlah kata pepatah "Al-adabu fauqol 'ilmi", adab berni lai lebih tinggi dari pada ilmu pengetahuan.
Aku sangat berpengharapan santri yang belajar di Pesan tren yang aku kelola mempunyai akhlak kariemah. Se hingga di kemudian hari mereka dapat diteladani oleh ma syarakat sekitar. Karena di zaman akhir, banyak orang pan dai berkata-kata, tetapi tingkah dan lakunya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan.
Pemikiran seperti ini yang mendorong hatiku untuk menga jarkan " Akhlak". Sejak tingkat satu, santri sudah aku ajari bagaimana cara bersikap kepada Alloh dan RosulNya, ba gaimana bersikap kepada guru, orang tua, dan sesama ma nusia.
Aku juga punya keinginan meningkatkan pemikiran para santri dalam hal ber-taqlid[74] . Maksudku supaya mereka su paya tahu dalil-dalil yang digunakan oleh 'Ulama yang di taqlidi. Meskipun terlalu berlebihan apabila dikatakan se bagai mutabi', tetapi tidak termasuk taqlid buta yang men jadi perdebatan kebolehannya.
Untuk itu, aku mengajarkan kitab-kitab hadist besar semi sal Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Turmudzi, dan lain-lain. Secara berurutan aku mengajarkan kitab-kitab ha dist besar yang dikenal dengan nama Kutub Tis'ah.
Aku ajarkan pula Mushtholahul-Ahadist, ya'ni Ilmu Hadist Diroyah. Dengan ilmu ini seorang santri bisa mengetahui nilai suatu hadist dan dapat membedakannya. Sebab di -kampung-kampung sering saja masyarakat mengamalkan suatu amaliah yang didasarkan pada hadist palsu.
Pelajaran hadist aku ajarkan kepada santri yang sudah ting kat dua, sedangkan Mushtholah Hadist aku ajarkan kepada santri yang sudah tingkat tiga dan empat.

Aku mengajarkan Ilmu Manthiq ( logika ) dengan maksud untuk menjaga para santri dalam berpikir . Sebab tanpa ilmu ini, ada kemungkinan terjadi salah penalaran ketika menganalisis satu mas'alah, dan bisa saja mengalami keke liruan ketika mendeskripsikan sesuatu.
Dengan demikian Ilmu Manthiq perlu sekali untuk dikua sai oleh seorang santri. Sehingga di kemudian hari, ketika ia menjadi tokoh masyarakat tidak menyesatkan umat karena salah penalaran.
Meskipun demikian, aku membatasi dalam mengajarkan Il mu Manthiq . Karena satu sisi ada faidah di dalamnya, te tapi di sisi lain ada kemudlorotan, yaitu timbulnya Jadal atau perdebadan yang tidak sehat.
Inilah sebabnya, mengapa Ilmu Mantiq diperdebadkan ke bolehannya. Nenurut Imam Nawawi dan 'Abdur-Rohman bin Sholah tidak boleh ( haram) mempelajari Ilmu Man thiq, sedangkan menurut Imam Al-Ghozali sayogyanya Il mu Manthiq itu dipelajari, bahkan beliau mengatakan : Barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka keilmuan nya tidak dapat diandalkan.
Dari pendapat-pendapat ini aku berkesimpulan bahwa Il mu Manthiq bolehlah dipelajari selama tidak menjadikan nya sebagai alat untuk berdebad, apalagi untuk memperde badkan masalah 'uluhiyah, misalnya tentang sifat-sifat Tu han.

Sebagai kelengkapan seorang santri aku ajarkan Ilmu 'A-rudl. Yaitu disiplin Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang syair-syair arab.
Ilmu ini aku ajarkan dikarenakan banyaknya syair-syair a rab dalam kitab salafi. Amatlah cacad bagi seorang santri yang tidak dapat melantunkannya.
Dalam mengajarkan Ilmu 'Arudl tidak bisa hanya teoritis -nya saja, tetapi harus dipraktekkan dan diberi contoh . Untuk itu pada setiap kali aku menemukan syair dalam ki-tab yang aku ajarkan dalam pengajian bandongan, semua -santri yang mengikuti supaya ikut melantunkannya ber sama-sama. Methoda ini, di samping untuk memprak tekkan Ilmu 'Arudl yang aku ajarkan, juga dalam rangka -mengikuti jejak guruku ketika ngaji bandongan.
Sungguh sangat menyenangkan hati, ketika melantunkan -syair bersama santri. Rasanya lukisan kenangan ketika aku masih mondok di Kalijaran tersirat kembali dalam jiwaku. Serasa kenangan itu tampak kembali di depan mataku, mes kipun ia sudah jauh dan semakin jauh pergi bersama pere daran waktu.

Ilmu Balaghoh ( Sastra Arab ) aku ajarkan supaya santri da pat mengetahui Keindahan Al-Qur'an dari segi bahasa. Sa ngat disayangkan apabila seorang santri mengatakan bah wa Al-Qur'an sangat indah bahasanya, tetapi tidak dapat menunjukkan di mana keindahannya. Ini terjadi apabila se orang santri tidak menguasai Ilmu Balaghoh.
Dan apabila ada kemampuan, santri akan mampu mengua sai Kesusteraan Indonesia. Karena ada kedekatan antara -susatera Arab dan Indonesia . Misalnya Tasybih dalam Ba laghoh sama dengan Simile dalam Kesusasteraan Indone sia, atau Personofikasi dalam Kesesasteraan Indonesia sa ma artinya dengan Majaz Isti'aroh dalam Balaghoh, dan lain-lain. Oleh sebab itu, tidak jarang orang-orang Pesan tren yang punya kemampuan dalam penulisan Karya Sas tra.
Dengan dibekali Ilmu Balaghoh, aku berpengharapan san tri Pesantren " TADZKIROTUL IKHWAN " berkemam puan untuk menjabarkan kemu'jizatan Al-Qur'an ditilik da ri susastra Arab kepada masyarakat, di samping tinjauan dari segi ilmu yang lain.
Sebab zaman yang terakhir ini, aku kadang mendengar o rang berceramah yang menjelaskan tentang keindahan Al-Qur'an dalam gaya bahasanya, namun tidak mampu untuk menjelaskan keindahan itu, karena tidak menguasai Ilmu Balaghoh.
Aku mengajarkan Ilmu Balaghoh kepada santri yang su-dah mencapai tingkat empat, yaitu mereka yang sudah tam mat kitab Alfiah Ibnu Malik ( Nahwu ), karena terlampau sulit bagi santri yang belum mahir dalam bidang Nahwu ( Tata Bahasa Arab ) untuk mempelajari Ilmu Balaghoh, atau bahkan mungkin tidak nalar.

Ilmu Faroidl, tentang tatacara membagi harta pusaka, aku mengajarkan kepada para santri karena ilmu ini sudah hampir punah, jangankan mengamalkan, yang tahu saja sudah da pat dikatakan – secara humoritis - makhluk langka yang perlu mendapatkan undang-undang perlindungan. Buk tinya di desa-desa tidak pernah aku dengar orang membagi harta pusaka dengan hukum Islam. Mungkin ini adalah sa lah satu keberhasilan kaum penjajah, Belanda, dalam usa hanya menjauhkan masyarakat muslim dari cara membagi harta pusaka secara Islami. Ya'ni dihapuskannya Hukum -Faroidl dari Pengadilan Agama pada tanggal 1 April 1937. Ketika itu Pengadilan Agama hanya boleh mengurusi -mas'alah Nikah , Talak, dan Rujuk. Adapun mas'alah harta pusaka diurus oleh Pengadilan Negeri yang ketika itu dida sarkan pada Hukum Adat. Sejak itu masyarakat semakin -jauh dari Ilmu Faroidl.
Alasan seperti inilah yang mendorong hatiku untuk menga jarkan Ilmu Faroidl kepada para santri. Meskipun mungkin di desa-desa sudah tidak ada lagi yang menggunakannya, paling tidak masih ada orang yang mengerti kebenaran membagi harta pusaka secara Islami.

Sebagaimana Ilmu Faroidl, Ilmu Falak atau Astronomi. Orang yang ahli dalam bidang ini juga sudah dapat dikata kan langka. Padahal ilmu ini sangat penting sekali. Betapa tidak, sedangkan ibadah shalat yang dilakukan setiap hari sangat membutuhkan ilmu ini.
Seseorang dianggap tidak sah shalatnya apabila tidak me ngetahui waktunya, meskipun pelaksanaannya tepat waktu. Demikian ada dikatakan dalam kitab " Fathul Mu'in". Un tuk bisa mengetahui waktu shalat tidak lain harus mengu asai Ilmu Falak, karena waktu shalat itu menggunakan gejala alam seperti terbit fajar, terbit matahari, terge lincirnya matahari, tenggelamnya matahari, hilangnya –mega merah , dan hilangnya mega putih. Gejala alam seperti ini dapat dilihat ketika cuaca langit cerah. Ba gaimana ketika cuaca mendung ?. Pada saat seperti ini, yang punya peranan penting tidak lain Ilmu Falak.
Oleh sebab itu, tempo dulu Ilmu Falak diajarkan hampir di semua Pesantren, bahkan ada yang mengatakan bahwa Il mu Falak di Indonesia munculnya dari Pondok Pesantren. Namun saat sekarang amat sangat jarang Pesantren yang –mengajarkannya, mungkin dikarenakan ahlinya sudah ter amat langka sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Gu ruku.
Dalam rangka menghidup-hidupkan (Jawa: ngurip-urip) Il mu ini, aku mengajarkannya kepada para santri Pesantren "TADZKIROTUL IKHWAN" yang sudah sampai tingkat empat.

Dalam mengajarkan Ilmu Falak aku membatasi hanya -yang terkait dengan waktu shalat dan penentuan awal bulan hijriyah.
Adapun yang berkaitan dengan nasib, aku tidak berani me ngajarkannya, meskipun aku banyak punya sumbernya, se perti kitab " Sayar Sab'ah", " Dalailul Buruj", dan lain-lain. Aku tetap berpegang pada hadist Nabi, " Belajarlah ilmu perbintangan, kemudian berhentilah". Dari hadist ini aku berpendapat bahwa mempelajari Ilmu Falak punya batas tertentu, maksudku meskipun masih dalam ruang lingkup Ilmu Falak, Astrologi tidak boleh dipelajari dan di ajarkan, sebab dapat merusak akidah seseorang.

Ketrampilan Tehnik Elektronika aku ajarkan kepada para –santri bukan bermaksud mereka setelah selesai nyantri lan tas menjadi Tukang Reparasi Radio. Aku punya maksud, -dengan modal ketrampilan elektronika, di kemudian hari seorang santri dapat mandiri. Kehidupannya tidak bergan tung kepada orang lain. Syukurlah apabila sepulang dari Pesantren dapat membantu orang lain semisal menciptakan lapangan kerja dalam dunia perbengkelan. Maka disam ping santri menjadi Tukang Reparasi Moral, ia juga menja di Tukang Reparasi Radio.
Aku memilih ketrampilan ini didasarkan pada pengalaman ketika aku baru pulang dari Pesantren Kalijaran. Aku men cari cara bagaimana supaya aku bisa menghidupi diri sendiri, dan kegiatanku sebagai Pengasuh Pesantren tidak terganggu. Ternyata paling tepat sinambi jadi Tukang Reparasi Radio.
Pelajaran Tehnik Radio aku ajarkan pada santri tingkat satu dan dua.

***
Untuk penguasaan bidang komputer aku masih banyak be lajar. Mas'alahnya bagiku dunia komputer merupakan du nia baru. Aku baru mengenalnya di sekitar tahun 2002. Pa da tahun itu aku kedatangan tamu dari Bandung, namanya Cholid. Dia menawarkan diri ingin membantu aku dalam bidang pengkoputeran. Akupun meng-iyakan, karena yang ia tawarkan sangat cocok bagi dunia pesantren, sehingga orang Pesantren tidak terlalu buta dalam bidang Informati ka, dalam dunia tehnik diistilahkan "GAPTEK", singkatan dari Gagap Tehnologi.
Temanku, Cholid, memberi seperangkat computer leng -kap. Tak bisa dibayangkan kegembiraan hatiku waktu itu. Betapa tidak ?. Karena aku yakin, dengan seperangkat Computer dari temanku itu, mataku akan terbuka lebar untuk memandang dunia Tehnologi yang tak berpangkal -berujung.
Sebagaimana pembawaanku, setiap ada ilmu baru pantang menyerah sebelum bisa menguasainya. Dan setiap mene mui kesulitan, aku tidak segan-segan bertanya, meskipun kepada orang yang lebih muda.
Aku kadang senyum sendiri apabila ingat masa-masa kebo dohanku dalam bidang computer. Dapat dibayangkan, -membuka dan menutup computer saja tidak bisa."Cara membuka dan menutupnya shi bagaimana mas Cholid?", aku bertanya kepada Cholid, meskipun dalam hati ada tim bul tenggelam rasa malu. Tetapi aku singkirkan jauh-jauh perasaan itu. Aku ingat kata Abu Hanifah ketika dipertanya kan kepadanya tentang kesuksesannya dalam menuntut -ilmu, " Aku tidak malu untuk mengambil faidah, dan tidak kikir untuk memberi faidah".
Kemudian Cholid memberi keterangan kepadaku bagai mana cara mulai membuka computer, membuka program, cara edit, cara paste, cara mencetak document, dan cara shut down. Semua aku catat satu persatu dalam buku kom puter. Aku kadang senyum sendiri ketika melihat catatan-catatan itu, dan aku merasa sebagai orang yang teramat ketinggalan dalam bidang Tehnologi. Padahal — ini hanya menurut pikiranku saja yang mungkin salah — kemajuan orang barat tidak akan terlepas dari pemikiran-pemikiran para Ulama tempo dulu, seperti Ibnu Sina ( bidang kedokteran), Ibny Hayyan ( dalam bidang kimia dan fisika), Al-Khowarizmi (dalam bidang matematika), Al Ghozali ( dalam bidang filsafat ), dan beberapa nama yang apabila ditulis satu-satu akan memenuhi ratusan lembaran buku.
Ketika aku membaca Sejarah Kebudayaan Islam, ingin ra sanya aku seperti Ulama-Ulama tempo dulu, mereka seba gai Panutan dan Ilmuwan yang benar-benar mumpuni da lam segala bidang.
Meskipun keinginanku boleh dikata terlalu ngelangut, teta pi ia merupakan pendorong semangatku dalam belajar. –Atas dorongan itu, walau umurku semakin senja, aku tetap semangat belajar sebagaimana anak-anak santri yang ditun tut hapalan Alfiah oleh Kyainya, sebagaimana mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, dan atau sebagaimana calon doktor yang sedang mengadakan penelitian untuk -mempertahankan disertasinya pada waktu munaqosah.
Semangat inilah yang sebagai modal utama dalam mempe lajari ilmu komputer. Siang malam, aku membaca buku-buku computer dan mempraktekannya. Entah berapa juta -dana yang harus aku keluarkan . Tidak pernah kuhitung.
Di samping membaca buku, aku banyak berhubungan de ngan orang-orang komputer.
Pernah suatu malam, temanku, Pak Haji Edy Suratno da tang ke tempatku dengan orang kumputer, namanya Jar manto. Menurut Pak Edi – karena waktu itu aku belum kenal dengan Jarmanto – dia sebagai guru komputer di Indocom Purwokerto.
Hatiku malam itu sangat senang, sebab aku dapat berbin cang-bincang dengan orang yang sudah puluhan tahun mengotak-atik komputer. Sambil makan kacang goreng aku melontarkan berpuluh pertanyaan kekomputeran. Ke terangan dari mas Jarmanto aku catat satu-satu dalam ha tiku, kemudian aku simpulkan. Dari kesimpulan itu ter nyata komputer itu tidak sesulit yang aku bayangkan, ter nyata lebih mudah dari pada belajar Ilmu Nahwu semisal kitab Jurumiyyah. Dengan demikian tidak sampai tahu nan, aku bakal menguasai bidang komputer," Jurumiyah sa ja aku bisa , apa lagi komputer, kecil........", kata hatiku ber besar diri.

Pengalamanku dalam bidang kekomputeran bertambah ke tika aku pergi ke Tulangbawang Lampung, ke rumah ka kangku, Ali Muntahib. Di sana, aku bertemu dengan orang yang cukup pengalaman dalam bidang komputer, namanya Nanang. Tadinya dia terlampau berbelit apabila aku mena nyakan mas'alah kekomputeran kepadanya. Namun akhir nya – setelah melalui proses – dia banyak membeberkan nya kepadaku. Bahkan aku diajak ke Lab. SMK yang ia kelola. Sejak itulah aku baru tahu tentang nama-nama hadwere komputer.
Pada waktu aku mau pulang ke Jawa , aku diberi Diktat Teori Dasar Komputer dan Operasi System Dos. Dari dik tat itu, aku semakin gamblang dalam bidang kekompute ran.

Ada sesuatu yang sangat menarik ketika aku belajar kom puter. Yaitu ketika komputerku sering crash dan tidak dapat diperbaiki lagi, maka tidak ada jalan lain kecuali meng install ulang. Untuk install ulang waktu itu aku harus me ngeluarkan biaya duapululuh lima ribu rupiah. Maka tim bullah pemikiran dalam hatiku " berapa rupiah aku harus mengeluarkan dana" andaikata aku sering mengintalkan computer. Oleh sebab itu aku harus bisa meninstall, Tetapi kepada siapa aku harus belajar, sedangkan orang-orang kumputer pada umumnya selalu tertutup dalam bidang teh nik.
Sebagaimana biasa, ketika aku mengalami kesulitan da lam belajar, berulang-ulang aku menyebut asmaNya yang aku dapatkan ketika mondok di Kalijaran.
Malam Rabu 4 Agustus 2002, jam :03.00 dini hari, aku -mendapat petunjuk bagaimana cara menginstall computer, maka petunjuk itu aku praktekkan, ternyata jadi. Padahal aku sama sekali belum pernah melihat orang menginstall -system ke dalam komputer, apalagi cara memartisi dan mengformat hardisk, sama sekali aku belum pernah meli hat. Dan anehnya , setelah aku tanyakan kepada orang-orang komputer, ternyata aku sudah benar cara memartisi dan meng-format hardisk, juga cara aku menginstall sys tem ke dalam komputer. Subanalloh............ aku bertasbih.

Dengan menguasai komputer, aku merasa banyak penam bahan ilmu pengetahuan. Khususnya dalam bidang Ilmu Falak. Aku sudah tidak repot-repot lagi dalam penentuan awal bulan hijriyah dan pembuatan jadwal shalat. Karena dengan menjalankan Cyber Sky aplication dan Prayer –Time, tidak sampai sepuluh menit sudah beres semua. Padahal ketika aku menhitungnya dengan manual, untuk membuat jadwal shalat selama bulan Ramadlan saja, mem butuhkan waktu lebih dari sepuluh hari.
Demikian halnya dalam bidang ilmu yang lain, misalnya dalam bidang Tafsir, Hadist, Fiqih dan Usulul fiqih, tinggal meng-klik mouse saja, mas'alah yang aku cari langsung da pat ditemukan. Amatlah jauh berbeda apabila diban dingkan dengan cara manual, kadang satu mas'alah baru aku temukan setelah berhari-hari aku membuka kitab selembar-selembar.
Di samping itu, hobyku yang sudah puluhan tahun tertidur lelap bangkit kembali. Misalnya dalam bidang graphis dan tulis menulis. Aku merasa seperti dua puluh lima tahun yang lalu, suka menggambar, membuat kaligrafi, dan me-nulis puisi. Bahkan lebih semangat lagi, karena sekarang lebih mudah, hanya dengan aplikasi Photoshop dan Co relDraw, dalam waktu teramat singkat aku bisa membuat lukisan dan kaligrafi yang enak dipandang. Tidak seperti dulu, jaman sepur lempung, menulis sebuah kaligrafi kadang satu minggu belum selesai, apalagi kalau membe sarkan photo, butuh waktu lumayan lama. Bukan itu saja, aku sekarang juga sudah bisa membuat vidio clip.
Falhasil, dengan menguasai komputer, jiwa seniku dapat -tersalurkan dengan sempurna.
Namun kebisaanku dalam dunia computer tidak aku kait kan dengan uang, maksudku untuk mencari duit alias bis nis. Semua aku lakukan sebagai pengabdian kepada Pesan tren, di samping untuk menghibur diri.

***

Aku memang kurang aktif mengajar anak-anak desa, tetapi ini bukan berarti aku tidak memperhatikan. Aku tetap ber pegang pada apa yang dipesankan oleh Guruku. " sing penting bocah nggone dewek"[75], kata beliau.

Pada tanggal 25 Pebruari 2000, Pondok Pesantren "TADZ KIROTUL IKHWAN" mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA), dan aku kebetulan ditunjuk sebagai pengke lolanya. TPA ini memang sengaja didirikan untuk penga jian anak-anak desa, khususnya anak-anak kecil, anak SMP ke bawah. Ma'lum anak-anak di desaku apabila su dah tamat SMA pada umumnya sudah malas untuk ngaji.
Dalam kegiatan TPA memang aku tidak ikut mengajar, ma'lum karena aku sudah terlalu lelah mengajar anak Pon dok. Oleh sebab itu aku serahkan kepada anak-anak Pon dok. Aku hanya mengawasi saja.

Setiap sore, sekitar jam:16.00, hatiku berbunga mekar me lihat anak-anak kecil berdatangan ke Pondok. Mereka berpakaian ala Pesantren. Sambil menggendong tas mere ka berlarian karena takut ketinggalan.
Setelah masuk, lantunan kalam Ilahi terdengar di sana-sini, di Aula putra, Aula Putri, Jerambah Pondok, dan Serambi Masjid. Sangat menyenangkan.
Terlebih lagi apabila hari Kamis sore, aku lihat mereka baris bersama, maksudku dari semua tingkatan ikut berba ris. Dengan dipimpin oleh ustadz masing-masing, mereka berjalan ke pekuburan untuk berziaroh.
Dengan ziarah kubur aku bermaksud menanamkan Dzikrul - Maut, ingat kematian, dalam jiwa anak sedini -mungkin. Aku berharap, di kemudian hari mereka akan selalu ingat bahwa manusia akan mati, akibatnya hati mereka akan selalu lunak pada waktu menerima wejangan mau'idzhoh hasanah. Sebab ingat kematian itu salah satu sarana meluruhkan hati yang membatu. Pemikiran seperti ini timbul dalam hatiku ketika melihat tidak membekas nya wejangan-wejangan religi di hati masyarakat. Banyak pengajian diadakan , tetapi tak pernah merobah keadaan. Sampai kadang aku berpikir - mungkin pikiranku ini keliru - pengajian yang memakan biaya banyak, memanggil Mubaligh dari jauh, seolah kurang ada manfa'atnya, karena pendengarnya biasa-biasa saja. Sama dengan sebelum mendengarkan pengajian. Menurut pikiranku, ini disebabkan karena hati yang sudah terlalu keras membatu, yang diakibatkan karena sudah jarang-jarang, atau mungkin tidak pernah lagi ingat kematian ( Dzikrul maut).
Di samping itu, aku bermaksud supaya mereka di kemu dian hari suka melakukan ziarah kubur yang merupakan sunah Nabi.

***

Sejak didirikan Taman Pendidikan Al-Qur'an, kegiatan Pon dok Pesantren setiap bulan Robi'ul awal ditambah satu -acara lagi, yaitu Acara Wisuda.
Acara Wisuda ini diperuntukkan bagi anak-anak yang su dah selesai belajar " Iqro", dan lulus ujian. Bagi yang -tidak lulus dengan amat terpaksa, wisuda harus ditunda -tahun depan.
Acara ini nampaknya disambut oleh masyarakat dengan ta ngan terbuka lebar-lebar, mereka tidak keberatan untuk membantu acara ini yang sengaja aku gabung dengan aca ra mauludan dan hari jadi Pondok Pesantren "TADZKIRO TUL IKHWAN".
Di samping membantu dengan uang, mereka juga mem bantu tenaga, bahkan setiap tahunnya mesti ada yang membantu beberapa ekor kambing untuk dipotong.

Sebagai contoh, Acara Wisuda yang diadakan pada tahun 2006. Tepatnya pada tanggal 23 April 2006. Waktu itu yang diwisuda berjumlah 40 wisudawan / wisudawati.
Acara tersebut aku anggap cukup meriah, sebab di sam ping acara wisuda, juga acara khitanan masal yang dipan degani oleh IDI cabang Banyumas bekerja sama dengan organisasi sosial " Simpang Tiga" dan Pondok Pesantren "Tadzkirotul Ikhwan".
Memang, yang dikhitanmasalkan tidak banyak, tetapi –bagiku cukup menarik.
Yang menarik bagiku adalah bagaimana antusias masyara kat dalam penyambutan acara yang diadakan oleh Pondok, khususnya generasi muda. Dengan segala keikhlasan yang dimiliki, mereka mengiring anak yang akan dikhitan de ngan kendaraan yang dihias menurut selera masing-masing.
Padahal cuaca sedang hujan gerimis . Tetapi nampaknya mereka tidak ambil pusing, mereka tetap saja mengiring.
Akupun banyak ber-alhamdulillah kepada Rabbku, meski pun belum sesuai dengan harapanku, tetapi paling tidak, tidak seperti 26 tahun yang lalu. Harapanku selalu ada dalam hati, mudah-mudahan ketika aku telah pulang ke pangkuan Nya , kesadaran masyarakat semakin meningkat dalam menyambut kegiatan yang diadakan oleh pondok. Dan yang lebih penting mereka mau menjunjung tinggi ajaran Agama yang difatwakan oleh Pengasuh Pesantren sesudah aku.





PENUTUP
I


tulah Potretku. Potret Bocah Pesantren. Potret bocah yang terlukis di atas bentangan selembar waktu panjang. Potret yang dilukis pada kanvas derita sepanjang hirupan nafas yang tersendat-sendat. Potret yang tidak pernah ada mata memandang , dikarenakan pinggir-pinggirnya tak pernah dibingkai.
Namun demikian aku banyak bersyukur kepadaNya, kare na potretku sebagai symbol cita-cita para leluhur desaku. Cita-cita perjuangan yang muncul 73 tahun yang lalu. Cita cita mendirikan Pondok Pesantren di atas hamparan tanah gersang nan tandus .

Itulah potretku. Potret Bocah Pesantren. Potret bocah yang selama sembilan setengah tahun diasuh oleh seorang -Ulama Besar di pondoknya , Pondok Pesantren " SUKAWARAH" Kalijaran. Selama beliau mengasuhnya, setiap malam selalu saja beliau nyanyikan kidung do'a mustajab yang mampu tembusi kepekatan malam berwar na hitam. Kidung do'a yang menghantarkan kehadiran seorang malaikat untuk ikut membantu dalam menggores kan tinta di atas kanvas lukisannya. Sehingga dalam wak tu yang teramat singkat , potretku harus terpajang di sudut tembok Pondok Pesantren.

Itulah Potretku. Potret Bocah Pesantren. Potret bocah yang kehabisan air mata ketika awal kemukimannya. Potret -yang pernah diam membisu selama lima belas tahun, tak pernah bertutur kata , karena kesia-sian selalu menyumbat mulutnya, dan caci-maki selalu menjarum kedua bibirnya dengan benang hinaan yang tiada pernah henti walau hanya setengah kerdipan mata.

Itulah Potretku. Potret Bocah Pesantren. Potret bocah yang selalu berdiri dengan kaki sendiri. Meski tertatih-tatih, langkah kakinya pelan tapi pasti. Tangannya selalu meng genggam kepada sesama, tak pernah tertengadah, kecuali kepada Sang Pencipta jagad raya ini. Meskipun kemis kinan membalut sekujur tubuhnya , senyum simpul selalu ada di tengah bibirnya, dan tiada henti senandungkan ki dung puji kepada Yang Mahasuci.

Itulah Potretku. Potret Bocah Pesantren. Potret bocah yang kakinya di bumi, tetapi kepalanya ada di bintang Tsuroya. Meskipun semua telinga disumbat kejumudan, kepada orang-orang Pesantren selalu saja berkata :
Marilah jendela kamar kita selalu dibuka, biar pergantian udara selalu ada, biar kamar kita tidak lembab. Marilah kita bersama menghirup udara luar sambil menghapal pi wulang-piwulang yang pernah Romo Kyai ajarkan, alham du utawi kabeh puji kang patang perkara, rupane puji qodim 'alal qodim, qodim 'alal hudust, hudust 'alal qodim, hudust 'alal hudust, iku lillahi tetep kagungane Gusti Alloh,sifate Alloh,robbil 'alamiena, kang mangerani wong ngalam kabeh.
Itulah Potretku. Potret Bocah Pesantren. Potret seorang -bocah yang selalu berbaju kebodohan, meskipun setiap harinya selalu menyelam di tengah lautan ilmu untuk men cari mutiara hikmah yang ada di kedalamannya . Namun tak pernah putus asa , keinginannya untuk menanggalkan baju kebodohan dan menggantikannya dengan baju ilmu nafi selalu ada, sehingga tak pernah tahu sudah sampai di mana perjalanan hidupnya. Bahkan sampai ke dua mata ini buta , tiada pernah melihat permata duniawi yang gemerlapan. Sampai kapan…….?. Hatiku belum mampu menjawab per tanyaan ini.

Itulah Potretku.Potret Bocah Pesantren. Potret bocah yang kepada generasi mudanya selalu bertaushiah :
Wahai adik-adikku, generasi muda…….bukalah kedua mata kalian. Lihatlah….bangunan yang ada di depan mas jid. Itu adalah satu moment para leluhur kita. Itu adalah cita-cita yang mereka rintis pada tahun 1933. Ada dosa di pundak kalian, ketika kalian merobohkannya waktu aku -tertidur lelap dalam kamar gelap di bawah tanah. Kalian adalah generasi yang bertanggung jawab untuk merawat bangunan itu. Oleh sebab itu kalian, sejak mendengarkan taushiah ini, harus mempersiapkan diri.
Wahai adik-adikku, perlu kalian ketahui bahwa tulang – tulangku semakin rapuh, pandangan mataku semakin me mendek dan kabur, urat-uratku semakin melunak . Sema kin hari selalu saja terlampau berat untuk berdiri tegak. Tidak seperti dulu ketika dagingku menggumpal di setiap ruas jemariku.

Itulah Potretku.Potret Bocah Pesantren. Potret bocah yang menimba ilmu dari Pesantren, dan ia mengembangkannya untuk Pesantren.



TAMAT
























































































































































































































































































































[1] Maksudnya kasidah Burdah
[2] Saya dengar dari sumber lain , namanya Kyai Nachrowi . Menurut - hemat saya mungkin nama beliau dua,nama muda dan nama tua.Tradisi di Banyumas biasanya seorang pemuda ketika sudah menikah , nama
nya diganti . Wallohu a'lam .
* Ada kemungkinan kata ayah ini disesuaikan dengan waktu bercerita kepada saya.Sebab kalau saya perhitungkan waktu ayah menikah mara sepuhnya(yang dikatakan Pak Lurah) masih menjadi carik.Mesthinya ayah mengatakan “putri Pak Carik”.
[3] Jelantah ( Istilah Banyumas) adalah minyak kelapa yang sudah digu
nakan untuk menggoreng semacam ikan asin.
[4] Kitab Gundulan (Istilah Pesantren) adalah kitab yang tidak mengu-
nakan harokat / syakl.
[5] Maksudnya : Kembang randu yang sudah kering,kemudian diberi ka
pas dan dicelupkan ke dalam minyak tanah dan dinyalakan.
[6] Ada keraguan dalam hati saya tentang riwayat ini,sebab saya mende
ngarnya sesudah saya mengasuh Pesantren ( baca: tidak sejak dulu )
Wallohu A'lam.
[7] Harapan ayah ini dikatakan kepada Pak De Bahrudin.
[8] Riwayat ini di samping saya mendengar sendiri dari ayah,saya juga
mendengar dari beberapa sumber yang dapat saya percaya.
[9] Rindu
[10] Nama kecil ayahku.
[11] Lampu minyak kecil
[12] Hingga buku ini ditulis saya tidak tahu nama asli ibu Ridwan
(Bu Lurah Kalijaran )
[13] Sebutan rumah Pengasuh Pesantren di Jawa.
[14] Dari mana ya ?
[15] Dari Sokaraja
[16] Begini Romo
[17] Saya sowan,pertama silaturahim,adapun yang kedua saya akan meni
tipkan anak supaya belajar kepada Anda.
[18] Siapa namanya ?
[19] Nama perkakas terbuat dari anyaman bambu
[20] Sejenis tutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu .
[21] diperintah.
[22] Tidak lancar (Bahasa Jawa Banyumasan)
[23] Jadi anak Pondok
[24] Apabila pergi pergi harus berpeci
[25] Kecuali saya,saya ini menantu Kyai
[26] Hai anak yang jelek jelek keluar,bersih bersih,yang ganteng ganteng
di kamar saja.
[27] Saya tidak tahu persis asal muasal istilah ‘Kitab Kuning’. Saya per
nah mendengar bahwa yang membuat istilah ini adalah kaum pen
jajah dalam rangka meremehkan karya para Ulama.Kitab Kuning ar-
tinya kitab yang sudah layu (?).
[28] Sejenis parang besar yang biasa untuk memotong kambing ( Baha
sa Banyumasan)
[29] Ruangan untuk tempat shalat kaum ibu.
[30] Saya mengatakan ini bukan pengkultusan seorang murid kepda gu
runya.Insya Alloh.
[31] Tidak makan,tidak minum,dan tidak tidur sehari semalam.
[32] Kepada para pembaca saya mohon maaf , saya tidak menyebut na
ma surat maupun ayat yang dimaksud.Karena tidaklah dibenarkan
membeberkan ‘sirrul asror’
[33] Suatu acara di Pondok Kalijaran yang dilaksanakan setiap hari Rabu
terakhir bulan Shofar.Sebelum minum air rajah dilaksanakan Shalat
Hajat dengan bacaan bacaan tertentu sebagai dijelaskan dalam kitab
Mujarrobat Al-Kabier.
[34] Ubi goreng ( Istilah: Kalijaran )
[35] Yang penting kamu meneruskan mondok
[36] Beliau adalah alumni Pondok Kalijaran.Hanya saja saya tidak tahu
tahun berapa beliau ada di sana.Ketika buku ini ditulis beliau sudah
wafat.
[37] Sambal serba mentah (baca: bumbu bumbunya tanpa dimasak lebih
dulu )
[38] Sul.....yang penting anak desa sendiri , dari pada kamu hidup di sana
sana namun pada akhirnya kembali ke desa sendiri,kan lebih malu.
[39] Mengakar.Artinya sudah puluhan tahun di Pesantren.( Istilah : Pesan
tren Kalijaran ) .
[40] Sul.......sekarang sudah jarang sekali orang ahli hisab,makanya entah
dengan cara apa,kamu harus bisa.

[41] Sul kamu adalah muridku , tapi apabila kamu punya pendapat yang
lebih kuat dan baik , tinggalkan pendapatku.
[42] Sul......kamu akan mukim , ya.....didoakan mudah mudahan ada san
tri yang seperti kamu lagi.
[43] Sejenis tumbuh-tumbuhan daunnya seperti daun talas , banyak tum
buh di lereng-lereng.Di Sokawera Kalijaran banyak tumbuh di le –
reng Pekuburan Barat.
[44] Artinya bertutur kata penuh kebohongan . Seperti pelangi , dari jauh
terlihat indah , padahal kalau didekati hanyalah refraksi matahari yg
terkena kelembutan tetesan hujan gerimis . Kata "berpelangi " adalah
kata tempaan yang saya buat , dan mungkin tidak pernah digunakan
oleh pengguna bahasa .
[45] Sul....sul, kamu disuruh pulang supaya memperbaiki ( moral ) anak
bukan memperbaiki radio .
[46] Apabila kamu menerima hidup apa adanya , maka hidup penuh ni'
mat , dan apabila kamu tidak hidup apa adanya , maka hidupmu akan
selalu susah .
[47] Nama tempat yang biasa diberi sesaji oleh sebagian masyarakat de-
saku .
[48] Pengajian supaya di[pindah ke Masjid , maksudku supaya guru-guru
Agama ikut ngaji , di sini banyak guru Agama , tetapi tidak pandai -
membaca Al-Qur'an , tidak pandai membaca Al-Qur'an.
[49] Turbi ... saya sering-seringlah ditengok , karena apabila saya melihat
kamu , jadi mudah mengingat Gusti Alloh .
[50] Tempat untuk menyimpan bahan-bahan rokok, tembakau, keme
nyan, dan kertas papir. ( Istilah Banyumas.)
[51] Terimalah.......terimalah.
[52] Ya sudah saya terima.
[53] Begini sul.......Gurumu, Kyai Hisyam datang dengan membawa ki –
tab bertumpuk-tumpuk,kitab itu diberikan kepada saya,supaya dibe
rikan kepada kamu.
[54] Tidak apa-apa.
[55] Kursi-kursi ditata,saya dikeluarkan dari kamar, besok akan banyak ta
mu.
[56] sul.....ambilkan kertas dan pensil.
[57] sudah dimusyawarahkan ?
[58] belum.....
[59] Lho.....bagaimana si sul ...supaya dirembug !
[60] Mencabut rerumputan yang ada di sekitar pohon padi.
[61] Kamu shi dari mana ?
[62] Tidak dari mana-mana, saya tidur terus sejak sore.
[63] Mungkin bukan saya.
[64] Jelas kamu kho, masa saya pangling.
[65] Apakah rama memanggil saya ?
[66] Tidak.......
[67] Data ini saya ambil dari Kartu PWRI milik beliau, namun ada sum-
ber yang mengatakan bahwa data itu tidak benar. Sementara saya –
menggunakan data ini, karena saya beranggapan data tersebut ada
kemungkinan langsung dari beliau (?). Wallohi A'lam.
[68] Rodad adalah kesenian yang alat musiknya menggunakan genjring
( Banyumas), dan dibarengi tarian silat yang dilakukan oleh bebera
pa remaja. Ada sebagian daerah yang menamakan jenis tarian ini de
ngan nama"Angguk", di desaku namanya "Aksi Muda".
[69] Kiai.....ini rokok dua batang sebagai pengganti iuran anak saya.
[70] Tidak-tidak.....iuran anak-anak bukanlah untuk saya.
[71] Syamsul.....akan cari uang lima belas juta, apa bisa !?.
[72] Menggunakan makna yang jauh, karena tidak mungkin mengguna
kan makna yang dekat. Misalnya lafadz "Yad" diartikan kekuasaan.
[73] Menggunakan makna apa adanya., misalnya lafadz " Yad" diartikan
tangan.
[74] Taqlid ialah mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalil
nya.
[75] Yang penting anak desa sendiri.